LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA MODUL 1 - REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN PDF

Title LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA MODUL 1 - REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN
Author Adam Syach
Pages 17
File Size 724.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 16
Total Views 96

Summary

PRAKTIKUM BIOKIMIA Reaksi Uji Protein dan Penentuan Kadar Protein Modul 1 Oleh: Adam Muhammad Syach : 11217009 . Asisten : Naomi F. Silaban Tanggal Percobaan : 08 Februari 2019 Tanggal Pengumpulan : 15 Februari 2019 PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI B...


Description

PRAKTIKUM BIOKIMIA Reaksi Uji Protein dan Penentuan Kadar Protein Modul 1

Oleh: Adam Muhammad Syach

: 11217009

Asisten

: Naomi F. Silaban

Tanggal Percobaan

: 08 Februari 2019

Tanggal Pengumpulan

: 15 Februari 2019

.

PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2018

I.

Tujuan Percobaan 1. Menentukan keberadaan protein pada sampel dengan uji Biuret 2. Menentukan pengaruh pH terhadap protein 3. Menentukan pengendapan protein dengan logam berat pada larutan albumin telur (1:5) 4. Menentukan fraksinasi protein dengen pengendapan Amonium Sulfat 5. Menentukan Kadar protein pada larutan dengan menggunakan metode Lowry

II.

Teori Dasar Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam amino yang

tersusun dari atom nitrogen, karbon, dan oksigen yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Protein merupakan senyawa polimer yang tersusun atas asam-asam amino sebagai monomernya. Asam amino terdiri dari 20 jenis dan kumpulan asam amino ini terikat satu sama lain melalui ikatan peptida, yaitu ikatan antara gugus karboksil (-COOH) asam amino yang satu dengangugus amino (-NH2) dari asam amino yang lain dengan melepaskan satu molekul air (Nelson & Cox, 2004). Protein memiliki empat struktur yaitu: primer, sekunder, tersier dan kuartener. Primer terdiri dari satu jenis ikatan, yaitu ikatan kovalen yang menghubungkan gugus karbonil dan gugus asam amino antar asam amino atau disebut iktana peptida. Struktu sekunder adalah ikatan pada struktur primer (kovalen) dan ikatan hidrogen antara oksigen karbi\onil dan hidrogen amida. Struktur tersier merupakan gabungan dari struktur primer dan sekunder. Struktur kuertener merupakan gabungan dari struktur tersier (Nelson & Cox, 2004). Denaturasi protein adalah proses perubahan struktur lengkap dan karakteristik bentuk protein akibat dari gangguan interaksi sekunder, tersier, dan kuartener struktural. Karena fungsi biokimia protein tergantung pada tiga dimensi bentuknya atau susunan senyawa yang terdapat pada asam amino. Hasil denaturasi adalah hilangnya aktivitas biokimia yang terjadi didalam

senyawa protein itu sendiri. Protein yang terdenaturasi biasanya mengalami pembukaan lipatan pada bagian-bagian tertentu. Denaturasi protein diakibatkan beberapa faktor yaitu: suhu, pH, logam berat, dan alkohol (Nelson & Cox, 2004). Uji Biuret digunakan unuk menentukan adanya ikatan peptida dalam suatu zat yang diuji. Adanya ikatan peptida mengindikasikan adanya protein, karena asam amino berikatan dengan asam amino yang lain melalui ikatan peptida membentuk protein. Ikatan peptida merupakan ikatan yang terbentuk ketika atom karbon dari gugus karboksil suatu molekul berikatan dengan atom nitrogen dari gugus amina molekul lain. Reaksi tersebut melepaskan molekul air sehingga disebut reaksi kondensasi. Ikatan peptida yang bereaksi dengan reagen biuret menghasilkan perubahan warna. Reaksi positif uji biuret ditunjukkan dengan munculnya warna ungu atau merah muda akibat adanya persenyawaan antara Cu++ dari reagen biuret dengan NH dari ikatan peptida dan O dari air. Semakin panjang ikatan peptida (banyak asam amino yang berikatan) akan memunculkan warna ungu, semakin pendek ikatan peptida (sedikit asam amino yang berikatan) akan memunculkan warna merah muda. Reagen Biuret terdiri atas NaOH dan CuSO4. Uji biuret akan menunjukkan hasil negatif pada asam amino bebas karena tidak memiliki ikatan peptide (Poedjadi, 2006). Suatu protein memiliki titik isoelektrik. Titik isoelektrik merupakan titik dimana saat jumah ion positif = jumlah ion negatif pada suatu protein. Pada pH diatas titik isoelektrik protein bermuatan negatif, sedangkan di bawah titik isolektrik protein bermuatan positif. Kelarutan suatu protein dapat berubah akibat berubahnya pH. Kelarutan akan bertambah jika pH menjauhi titik isoelektrik (Wilson & Walker, 1994). Protein yang tercampur dengan senyawa logam akan mengalami pengendapan. Hal ini terjadi karena protein yang tercampur dengan senyawa logam berat akan terdenaturasi. Pengendapan protein dengan ion logam positif diperlukan

pH

larutan

di

atas

titik

isoelektrik,

untuk pengendapan protein dengan ion negatif memerlukan

pH

sedangkan larutan

di

bawah titik isoelektrik. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah Ag+, Ca2+, Zn2+, Hg2+, Pb2+, Cu2+, dan Fe2+. Sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah ion salisilat, trikloroasetat, pikrat, tanat dan sulfosalisilat (Plummer, 1987). Pengendapan dengan Garam, Pembentukan senyawa tak larut antara protein dengan ammonium sulfat. Apabila terdapat garam-garam anorganik dalam konsentrasi tinggi dalam larutan protein (albumin dan gelatin), maka kelarutan protein akan berkurang sehingga terjadi pengendapan protein. Teori menyebutkan bahwa sifat tersebut terjadi karena ion garam mampu mengikat air (terhidrasi) sehingga berkompetisi dengan molekul protein dalam mengikat air sehingga terjadi pengendapan pada protein (Poedjadi, 2006). Uji Lowry bertujuan untuk menentukan kadar protein suatu bahan. Dalam keadaan basa, ion tembaga divalen (Cu2+) membentuk suatu komplek dengan ikatan peptida yang mereduksi Cu2+ menjadi tembaga mobovalen (Cu2+), ion Cu2+ bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocallteau membentuk senyawa kompleks yang bewarna. Pembentukan warna tersebut disebabkan adanya reaksi anatara basa tembaga dengan sampel protein yang diuji. Intensitas warna yang terbentuk tergantung pada jumlah asam aromatik yang berbeda untuk setiap jenis protein (Plummer, 1987). Presipitasi protein adalah pengendapan yang terjadi karena penggumpalan yang parsial. presipitasi disebabkan oleh berkurangnya kelarutan protein (perubahan fisik) yang terjadi karenan perubahan kimia, pengembangan molekul protein akibat unfolding atau membukanya heliks-heliks protein, dan terganggunya kesetabilan koloid yang disebabkan oleh menurunnya muatan elektrostatik protein sehingga gaya gravitasi akan lebih dominan dibandingkan gaya tolak-menolak antar molekul (Elly, 2009). Salting Out adalah Peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang mempunyai kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan menyebabkan penurunan kelarutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi kimia. Contohnya : kelarutan minyak atsiri dalam air akan turun bila kedalam air tersebut ditambahkan larutan NaCl jenuh (Elly, 2009).

Salting in adalah adanya zat terlarut tertentu yang menyebabkan kelarutan zat utama dalam solvent menjadi lebih besar. Contohnya : Riboflavin tidak larut dalam air tetapi larut dalam larutan yang mengandung Nicotinamida (Elly, 2009).

III. Pengolahan Data Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan pada Uji Biuret Sampel

Sebelum

Sesudah

Keterangan

Larutan

Perubahan

Albumin

warna menjadi

(1:4)

ungu Gambar 3.1 Sebelum uji Biuret

Gambar 3.2 Setelah uji Biuret

Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan pada Uji Pengaruh pH pada larutan albumin Perlakuan

Sebelum

Sesudah

Keterangan

Penambahan

Larutan keruh dan

HCl 0.1 M

terbentuk sedikit

(Asam)

endapan Gambar 3.3 Sebelum penambahan HCl

Gambar 3.4 Setelah penambahan HCl

Larutan tidak

Penambahan

berwarna (bening)

NaOH 0.1 M

dan tidak terbentuk

(Basa)

endapan Gambar 3.5 Sebelum penambahan NaOH

Gambar 3.6 Setelah penambahan NaOH

Penambahan

Larutan keruh dan

Buffer Asetat

terbentuk edapan

pH=4.7 Gambar 3.7 Sebelum penambahan buffer asetat

Gambar 3.8 Setelah penambahan buffer asetat

Tabel 3.3 Data Hasil Pengamatan pada Uji pengendapan protein dengan logam berat Sampel

Sebelum

Sesudah

Larutan

Keterangan

Terbentuk

Albumin

endapan putih

(1:4) Gambar 3.9 Sebelum penambahan Pbasetat

Gambar 3.10 Setelah penambahan Pbasetat

Tabel 3.4 Data Hasil Pengamatan Fraksinasi Protein dengan Pengendapan Ammonium Sulfat Perlakuan

Sebelum

Sesudah

Keterangan

Larutan sampel

Hasil positif

ditambahkan (NH4)2SO4 20%

Terbentuk endapan Gambar 3.11 Sebelum penambahan (NH4)2SO4 20%

Gambar 3.12 Setelah penambahan (NH4)2SO4 20%

Larutan sampel

Hasil positif

ditambahkan (NH4)2SO4 50%

Terbentuk endapan Gambar 3.13 Sebelum penambahan (NH4)2SO4 50%

Gambar 3.14 Setelah penambahan (NH4)2SO4 50%

Uji supernatan

Hasil negatif

dengan reagen biuret

Gambar 3.15 Sebelum uji Biuret

Gambar 3.16 Sebelum uji Biuret

Tabel 3.5 Data Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Protein dengan Metode Lowry Tabung

A700nm

Konsentrasi (µM)

1

246

0

2

328

40

3

410

80

4

504

120

5

606

160

6

693

200

7

400

-

IV.

Pengolahan Data

Grafik Nilai A700nm 800

y = 2.2593x + 238.57 R² = 0.9985

Nilai A700nm

700 600 500 400 300 200 100 0

0

50

100

150

200

250

Konsentrasi sampel protein (M) Gambar 4.1 Grafik nilai absorbansi terhadap konsentrasi protein sampel Dari regeresi linear diperoleh hasil sebagai berikut. a = 2,259 b = 238,5 y = ax+b y = 2,259x + 238,5 (1) Dari persamaan (1), dapat dihitung kadar protein pada sampel. y = 400 400 = 2,259x + 238,5 x = 71.49 µM

V.

Pembahasan Pada percobaan ini, dilakukan berbagai macam uji kualitatif dan

kuantitatif untuk protein. Uji kualitatif protein pada percobaan ini antara lain uji biuret, pengaruh pH terhadap protein, pengaruh penambahan logam berat, serta fraksinasi pengendapan ammonium sulfat. Uji kuantitatif protein pada percobaan ini yaitu pengujian kadar protein sampel dengan metode Lowry. Pada percobaan pertama, dilakukan uji biuret untuk sampel larutan albumin telur (1:4). Uji biuret digunakan untuk mengetahui adanya ikatan

peptide pada protein. Reagen biuret terdiri dari larutan NaOH dan CuSO4 (Poedjadi, 2006).

Gambar 5.1 Struktur Biuret (Sumber: Poedjadi, 2006) Prinsip dari uji biuret adalah ion Cu2+ (dari pereaksi Biuret) dalam suasana basa bereaksi dengan polipeptida atau ikatan-ikatan peptida yang menyusun protein sehingga membentuk senyawa kompleks berwarna ungu (violet) (Poedjadi, 2006). Gambar 5.2 menunjukkan reaksi antara ion Cu2+ dengan polipeptida.

Gambar 5.2 Reaksi biuret dengan polipeptida (Sumber: Poedjadi, 2006) Reaksi ini positif untuk dua atau lebih ikatan peptida dan negativf untuk asam amino bebas (Poedjadi, 2006). Penambahan NaOH bertujuan untuk membentuk suasana basa dalam reaksi dengan CuSO4 yang bersifat asam sehingga ion OH- dari basa kuat dapat mengikat H+ dari garam CuSO4 dan tidak mengganggu ikatan antara ion Cu2+ dengan ikatan peptida. Merujuk pada Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan pada Uji Biuret, albumin telur berubah warna menjadi ungu setelah di tetesi reagen biuret. Hal ini menindikasi bahwa albumin telur merupakan protein yang memiliki ikatan

peptida. Reaksi dapat terjadi akibat terbentuknya ikatan koordinasi antara atom nitrogen pada kerangka protein dengan ion ion Cu2+. Protein berperan sebagai ligan. Kompleks terbentuk karena atom nitrogen pada kerangka protein memiliki pasangan elektron bebas yang bisa didonasikan ke ion tembaga. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi asam-basa lewis dimana ligan sebagai basa lewis (pemberi pasangan elektron bebas) sedangkan ion tembaga sebagai asam lewis (penerima pasangan elektron bebas) (Jespersen et al, 2012). Penambahan CuSO4 berlebih harus dihindari dikarenakan CuSO4 dapat membuat protein terdenaturasi sehingga protein mengendap dilarutan. CuSO4 merupakan logam jika terus ditambahkan dapat menyebabkan protein mengendap sehingga tidak terbentuk kompleks Cu-protein. Selain itu penambahan garam amonium dapat menggangu uji biuret. Hal ini dikarenakan CuSO4 akan bereaksi dengan garam amonium dimana garam amonium sebagai ligan. Garam amonium yang memiliki nitrogen membentuk ikatan koordinasi lain dengan ion Cu2+, sehingga ion Cu2+ tidak berikatan dengan protein dan warna yang tebentuk bukan warna ungu (Jespersen et al, 2012). Selain pada protein, biuret dapat bereaksi pada senyawa yang memiliki atom nitrogen dan memiliki PEB seperi garam amonium dan melamin (Jespersen et al, 2012). Pada percobaan kedua, dilakukan uji pengaruh pH terhadap protein dengan penambahan HCl 0.1 M 1 mL (asam), NaOH 0.1 M 1 mL (basa), dan buffer asetat 1M (pH = 4.7) 1 mL. Merujuk pada Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan pada Uji Pengaruh pH pada larutan albumin, penambahan HCl (asam) ke larutan albumin telur larutan berubah warna menjadi keruh. Pada penambahan NaOH (basa) ke larutan albumin telur larutan berubah warna dari keruh menjadi bening. Sedangkan pada penambahan buffer larutan berubah warna menjadi lebih keruh. Endapan putih yang terbentuk pada tabung reaksi menandakan bahwa albumin mengalami denaturasi. Denaturasi terjadi karena kerusakan struktur sekunder, tersier dan struktur kuarterner, tetapi struktur primer (ikatan peptida) masih utuh. Pada struktur tersier, terdapat jenis interaksi jembatan garam. Jembatan garam merupakan

ikatan ionik antara muatan positif dan negatif pada rantai samping asam amino (Ophardt, 2003). Sebagai contoh adalaha interaksi antara ion -COO- dari glysine dan ion -NH+3 asam glutamat. Penambahan asam atau basa dapat merusak jembatan garam yang tergabung oleh muatan ionik. Hal tersebut menyebabkan ikatan jembatan garam pada protein terputus dan struktur tersier protein rusak. Jembatan garam terputus karena rusaknya ikatan hidrogen pada ikatan non polar yang terjadi pada struktur berlipat dari protein (Ophardt, 2003). Dapat dilihat reaksi pemutusan jembatan garam akibat asam pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Reaksi pemutusan jembatan garam protein (Sumber: Ophardt, 2003) Setiap asam amino mempunyai titik isoelektrik yang berbeda-beda. Titik isoelektrik adalah titik dimana muatan pada senyawa protein tersebut adalah nol (tidak bermuatan). Pada pH 4,8–6,3 (pH isoelektris), protein berada dalam bentuk dipolar atau ion zwitter yang bersifat amfoter. Dapat dilihat pada Gambar 5.4 (b) bentuk ion zwitter. Keadaan ini mudah berubah oleh keadaan sekitar atau pH lingkungan (Plummer, 1987). Pada pH rendah (suasana asam), asam amino akan bermuatan positif seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4 (a), sedangkan pada pH tinggi (suasana basa) akan bermuatan negatif seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4 (c).

(a) (b) (c) Gambar 5.4 Bentuk dan muatan protein pada (a) suasana asam; (b) titik isoelektrik; (c) suasana basa Berdasarkan

percobaan

yang

dilakukan,

ketika

larutan

albumin

ditambahkan buffer asetat dengan (pH 4.7), warna larutan menjadi keruh. Hal ini dikarenakan penambahan buffer asetat pH 4.7 menyebabkan larutan sampel albumin berada dalam titik isoelektriknya. Titik isoelektrik merupakan titik dimana kelarutan protein minimum dikarenakan jumlah ion positif dan ion negatif sama sehingga cenderung menurunkan kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, protein akan berikatan antara muatannya sendiri membentuk lipatan ke dalam sehingga terjadi pengendapan yang relatif cepat (Bohme & Scheler, 2006). Pada penambahan HCl, larutan albumin menjadi keruh juga karena pH masih dekat dengan titik isoelektrik sehingga kelarutan protein masih rendah. Warna keruh merupakan hasil endapan dari protein (Bohme & Scheler, 2006). Pada penambahan NaOH, larutan albumin berubah warna menjadi bening. Hal ini dikarenakan pH pada larutan menjadi tinggi dan menjauhi titik isoelektrik. Jika suatu larutan protein menjauhi titik isoelektrik mengakibatkan kelarutan protein meningkat sehingga endapan protein menjadi sedikit. Kelarutan protein meningkat akibat menigkatnya afinitis protein terhadap air. Dikarenakan banyaknya ion OH - terlarut, gugus-gugus mempunyai muatan negativf lebih banyak yang mengakibatkan meningkatnya afinitas protein terhadap air (Bohme & Scheler, 2006). Pada percobaan ketiga, dilakukan pengujian pengaruh logam berat terhadap protein. Larutan albumin (1:4) ditambahkan dengan larutan Pb(CH3COOH)2 dan membentuk endapan seperti diperoleh pada Tabel 3.3 Data Hasil Pengamatan pada Uji pengendapan protein dengan logam berat. Hal ini terjadi karena protein mengalami denaturasi akibat adanya logam berat

termasuk timbal. Timbal memiliki kemampun berbagi elektron. Karena memiliki elektron berlebih mengindikasi terbentuknya ikatan kovalen dengan gugus sulfohidril atau gugus fungsional lain pada albumin sehingga membentuk kompleks dengan protein. Timbal dapat menginduksi produksi spesies oksigen reaktif secara berlebih dan menyerang gugus sulfohidril yang awalnya memiliki jembatan garam sesama, sehingga terbentuk ikatan disulfida. Hal ini dapat mempengaruhi konformasi dan stabilitas protein sehingga denaturasi protein dapat terjadi (Zavodszky ea al, 2001).

Gambar 5.5 Reaksi timbal asetat dengan protein (Sumber: Elly, 2009) Putih telur dapat menjadi penawar keracunan Pb karena Pb akan bereaksi pada gugus sulfohidril pada putih telur membentuk ikatan disulfida. Pb tidak meracuni tubuh karena sudah terbentuk ikatan Pb-disulfida yang lebih tidak beracun dari pada logam Pb itu sendiri (Zavodszky ea al, 2001). Pada percobaan keempat, dilakukan pengujian fraksinasi protein dengan (NH4)2SO4 (garam ammonium sulfat). Penambahan (NH4)2SO4 pada protein akan menurunkan kelarutan protein dan terjadi pembentukan senyawa tak larut antara protein dengan ammonium sulfat (protein mengalami pengendapan) seperti diperoleh pada Tabel 3.3 Data Hasil Pengamatan Fraksinasi Protein dengan Pengendapan Ammonium Sulfat. (NH4)2SO4 dapat mempengaruhi protein dengan mekanisme salting-out atau salting-in. Pada konsentrasi rendah garam akan membuat kelarutan protein berkurang (salting-in) sedangkan pada konsentrasi tinggi akan meningkatkan kelarutan protein (salting-out) (Elly, 2009). seperti pada Gambar 5.6

Gambar 5.6 Salting-out dan Salting-in Dalam percobaan ini amonium sulfat lebih banyak mengendapkan albumin pada konsentrasi 50% dibanding konsentrasi 20% dikarenakan pada konsentrasi rendah counterion menyediakan efek shielding sehingga kelarutan protein bertambah sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dikarenakan efek antar muka dari anion yang terhidrasi kuat yang dekat dengan permukaan protein sehingga dapat mengeluarkan molekul air dari solvasi protein dan mendehidrasi permukaan protein mengakibatkan presipitasi (Elly, 2009). Dalam percobaan ini juga supernatan dari (NH4)2SO4 50% yang sudah di sentrifugasi di uji millon. Uji millon merupakan uji yang digunakan untuk mendeteksi adanya gugus hidroksi fenolik pada suatu protein. Reagen millon terdiri dari larutan merkuri (Hg) dalam HNO3. Apabila uji positif maka akan terbentuk endapan garam merkuri yang bewarna putih dan jika dipanaskan maka akan berubah warna menjadi merah (Poedjadi, 2006). Hasil percobaan mennjukan hasil negatif (tidak bewarna merah) yang mengindikasi seluruh protein mengendap saat di sentrifugasi Percobaan terakhir merupakan uji kuantitatif protein. Metode yang digunakan untuk uji kunatitatif protein yaitu dengan uji lowry. Metode lowry merupakan penentuan kadar protein pada suatu sampel reagen Folin-Ciocalteu. Sampel ya...


Similar Free PDFs