MAKALAH FARMAKOTERAPI EPILEPSI PDF

Title MAKALAH FARMAKOTERAPI EPILEPSI
Author Achmad Al Baihaqi
Pages 26
File Size 687.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 152
Total Views 430

Summary

MAKALAH FARMAKOTERAPI EPILEPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri Dosen pengajar : Gofara Wilar, M.si.,Apt Disusun Oleh : Shift A 2018 Achmad Al Baihaqi – 260110180045 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2020 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panj...


Description

MAKALAH FARMAKOTERAPI EPILEPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri

Dosen pengajar : Gofara Wilar, M.si.,Apt Disusun Oleh : Shift A 2018 Achmad Al Baihaqi – 260110180045

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2020

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkat, rahmat, dan ridho-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Farmakoterapi Epilepsi”. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah ini disusun untuk mengetahui farmakologi dan farmakoterapi epilepsi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktu untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini. Penulis berharap semoga proposal usulan penelitian ini dapat bermanfaat, memberikan pengetahuan, dan wawasan, bagi penulis, dan pembaca terkait pengetahuan tentang farmakologi dan farmakoterapi epilepsi. Jatinangor, 17 Maret 2020

Tim Penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.2

Latar Belakang................................................................................................ 1

1.2

Identifikasi Masalah ....................................................................................... 3

1.3

Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3

1.4

Kegunaan Penelitian ....................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4 2.1

Definisi Epilepsi ............................................................................................. 4

2.2

Epidemiologi Epilepsi .................................................................................... 4

2.3

Etiologi Epilepsi ............................................................................................. 5

2.4

Klasifikasi Epilepsi......................................................................................... 6

2.5

Patofisiologi Epilepsi...................................................................................... 7

2.6

Diagnosis Epilepsi .......................................................................................... 8

2.7

Penanganan Epilepsi....................................................................................... 9

2.8

Farmakoterapi Epilepsi................................................................................. 12 2.8.1 Terapi Farmakologi ................................................................................ 12 2.8.2 Terapi Non Farmakologi ........................................................................ 18 2.8.3 Interaksi Obat Epilepsi ........................................................................... 19

2.9

Evaluasi Terapi Epilepsi ............................................................................... 20

BAB III KESIMPULAN .......................................................................................... 21 3.1

Kesimpulan ................................................................................................... 21

3.2

Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 22

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang dapat ditemui pada semua umur dan dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Populasi epilepsi aktif (sering terjadi kejang dan membutuhkan pengobatan) di negara dengan pendapatan perkapita menengah dan rendah diperkirakan antara 714 per 1000 penduduk. Hal ini lebih tinggi dari kisaran rata-rata global yang diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk. Secara umum diperkirakan terdapat 2,4 juta pasien yang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya. Diperkirakan terdapat 50 juta orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi (WHO, 2016). Epilepsi merupakan penyakit yang memiliki ciri khas berupa kejangkejang yang seringnya muncul tanpa pencetus dan bersifat kronis. Di dalam otak manusia terdapat neuron yang saling berkomunikasi dengan menggunakan impuls listrik. Kejang epilepsi terjadi karena adanya pola aktivitas listrik otak yang berlebihan pada saat komunikasi sel yang menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat. Gangguan ini terjadi karena adanya kelainan pada jaringan otak, ketidakseimbangan zat kimia dalam otak, ataupun kombinasi dari beberapa faktor penyebab tersebut. Kerusakan atau perubahan ini diketahui sebagai penyebab pada sebagian kecil kasus epilepsi. Akibat dari gangguan tersebut menyebabkan kejang, sensasi dan perilaku yang tidak biasa, hingga hilang kesadaran (Ardhini, 2019).

1

Kejang bagian dari gejala utama penyakit epilepsi. Umumnya, seseorang terindikasi mengidap epilepsi jika ia pernah mengalami dua kali kejang atau lebih dalam waktu 24 jam kejang tanpa alasan jelas. Beberapa orang bisa sangat jarang mengalami kejang epilepsi atau bahkan bisa mengalami kejang hingga ratusan kali dalam sehari. Kondisi ini dapat ditangani dengan mengurangi faktor-faktor risiko (Ardhini, 2019). Angka prevalensi dan insiden epilepsi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan penelitian kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia di beberapa RS di 5 pulau besar di Indonesia (2013) didapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3% merupakan pasien baru. Dari hasil ini, didapatkan rerata usia pasien yang terkena epilepsi adalah usia produktif. Breikut etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), stroke, dan tumor otak. Riwayat kejang demam didapatkan 29% pasien. Sebagian besar (83,17%) adalah epilepsi parsial dengan aura yang tersering adalah sensasi epigastrium dan gejala aura autonomi (60,1%) (Fitrina, 2018). Dengan latar belakang tersebut, maka dilakukan penyusunan makalah berjudul “Farmakoterapi Epilepsi. Dari hasil penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah informasi mengenai penyakit epilepsi serta farmakoterapi yang digunakan.

2

1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang dapat diidentifikasi yaitu : 1. Apa yang dimaksud dengan epilepsi dan bagaimana penyebabnya ?

2. Apa aja klasifikasi epilepsi dan bagaimana terapinya ?

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui definisi dan penyebab penyakit epilepsi 2. Mengetahui klasifikasi dan terapi penyakit epilepsi

1.4 Kegunaan Penelitian Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah informasi mengenai penyakit epilepsi serta farmakoterapi yang digunakan.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Definisi Epilepsi Epilepsi adalah gangguan yang paling baik dilihat sebagai gejala aktivitas listrik yang terganggu di otak, yang mungkin memiliki banyak etiologi. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2004; Swaiman dan Ashwal, 2012).

Ini adalah kumpulan dari berbagai jenis kejang yang

sangat bervariasi dalam tingkat keparahan, penampilan, penyebab, konsekuensi, dan manajemen. Kejang yang berkepanjangan atau berulang bisa mengancam jiwa. Epilepsi didefinisikan ketika terjadinya setidaknya dua kejang tanpa sebab yang dipisahkan selama 24 jam. 1 Efek epilepsi terhadap kehidupan pasien bisa sangat signifikan dan membuat frustrasi. Penting juga untuk mengenali bahwa kejang bisa menjadi satu gejala dari gangguan epilepsi. Tidak jarang, pasien memiliki gangguan komorbid lain seperti depresi, kecemasan, dan gangguan neuroendokrin yang berpotensi. Pasien

dengan

epilepsi

juga

dapat

menunjukkan

keterlambatan

perkembangan saraf, masalah memori, dan/atau gangguan kognitif. Meskipun dengan konvensi fokus pengobatan adalah pada penghapusan kejang, dokter juga harus mencoba untuk mengatasi komorbiditas umum ini (Dipiro et al., 2011).

2.2

Epidemiologi Epilepsi Setiap tahun, 120 per 100.000 orang di Amerika Serikat datang ke perawatan medis karena kejang yang baru dikenal. 1 Setidaknya 8% dari populasi umum akan mengalami setidaknya satu kali kejang seumur hidup. Namun, kejang biasa terjadi dan tidak menderita epilepsi. Tingkat kekambuhan kejang tidak beralasan pertama dalam 5 tahun berkisar antara 23% dan 80%. Anak-anak dengan kejang pertama idiopatik dan elektro 4

ensefalogram normal (EEG) memiliki prognosis yang sangat baik. Beberapa kejang terjadi sebagai peristiwa tunggal yang dihasilkan dari penarikan depresan sistem saraf pusat (mis., Alkohol, barbiturat, dan obatobatan lain) atau selama penyakit neurologis akut atau kondisi toksik sistemik (mis. Uremia atau eklampsia). Beberapa pasien akan mengalami kejang hanya terkait dengan demam. Kejang demam ini bukan merupakan epilepsi. 1 Kejadian epilepsi yang disesuaikan dengan usia adalah 44 per 100.000 orang-tahun. Setiap tahun, sekitar 125.000 kasus epilepsi baru terjadi di Amerika Serikat; hanya 30% pada orang yang lebih muda dari 18 tahun pada saat diagnosis. Ada distribusi bimodal dalam terjadinya kejang pertama, dengan satu puncak terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak dan puncak kedua terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Frekuensi epilepsi yang relatif tinggi pada lansia sekarang sedang dikenali (Dipiro et al., 2011).

2.3

Etiologi Epilepsi Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal melepaskan secara abnormal dalam sinkron. Apa pun yang mengganggu homeostasis normal atau stabilitas neuron dapat memicu hipereksitabilitas dan kejang. Ribuan kondisi medis dapat menyebabkan epilepsi, dari mutasi genetik hingga cedera otak traumatis. Predisposisi genetik terhadap kejang telah diamati dalam banyak bentuk epilepsi umum primer. Pasien dengan retardasi mental, cerebral palsy, cedera kepala, atau stroke berisiko lebih tinggi untuk kejang dan epilepsi. Semakin dalam tingkat keterbelakangan mental yang diukur dengan intelligence quotient (IQ), semakin besar kejadian epilepsi. Pada orang tua, timbulnya kejang biasanya dikaitkan dengan cedera neuron fokal yang disebabkan oleh stroke, gangguan neurodegeneratif (mis., Penyakit Alzheimer), dan kondisi lainnya (Dipiro et al., 2011).

5

Dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang dapat diidentifikasi dan diperbaiki, pasien mungkin tidak memerlukan perawatan obat antiepilepsi kronis (AED). Pasien juga dapat datang dengan kejang tidak beralasan yang tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dengan demikian memiliki epilepsi idiopatik atau kriptogenik. Etiologi idiopatik adalah istilah yang digunakan untuk dugaan penyebab genetik, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan jika tidak ada penyebab yang jelas ditemukan untuk kejang onset fokal. Banyak faktor yang terbukti memicu kejang pada individu yang rentan (Dipiro et al., 2011). Hiperventilasi dapat memicu kejang absen. Tidur berlebihan, kurang tidur, rangsangan sensorik, stres emosional, dan perubahan hormon yang terjadi sekitar waktu menstruasi, pubertas, atau kehamilan telah dikaitkan dengan timbulnya atau peningkatan frekuensi kejang. Riwayat obat yang cermat harus diperoleh dari pasien yang mengalami kejang karena teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan penggunaan obat jalanan telah dikaitkan dengan kejang yang memprovokasi. Cedera perinatal dan berat kehamilan kecil saat lahir juga merupakan faktor risiko untuk pengembangan kejang parsialonset. Imunisasi belum dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi (Dipiro et al., 2011).

2.4

Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan pada tipe kejang, penyebab dan sindrom epilepsi. International league againts epilepsy (ILAE) pada tahun 2010 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang berdasarkan semiologi kejang dan gambaran elektroensefalografi (EEG), yaitu epilepsi fokal (parsial) dan epilepsi umum. Epilepsi fokal adalah kejang dimulai dari fokus tertentu yang terlokalisir di otak dan kejang muncul pada satu sisi tubuh saja. Epilepsi fokal bisa menjadi umum jika terjadi perjalanan listrik otak ke hemisfer kontralateral. Epilepsi

6

umum adalah kejang pada daerah lebih luas di kedua hemisfer otak dan manifestasi kejang pada kedua sisi tubuh (Berg et al., 2010). Berdasarkan penyebabnya, epilepsi digolongkan menjadi idiopatik, simtomatik dan kriptogenik. Epilepsi idiopatik yaitu epilepsi yang tidak jelas ditemukan penyebabnya dan sering dihubungkan dengan faktor genetik. Epilepsi simtomatik jika penyakit yang mendasari jelas ditemukan, sedangkan epilepsi kriptogenik, diduga ada penyebab yang mendasari tetapi belum bisa dibuktikan. Penyebab epilepsi pada bayi dan anak di Finlandia adalah idiopatik (64%), masalah prenatal (15%), perinatal (9%), dan post natal (12%) (Sillanpaa dan Schmidt, 2011). Sindrom epilepsi menurut ILAE tahun 2010 dibagi menjadi 2 yaitu, sindrom epilepsi umum yang sering pada bayi dan anak adalah sindrom Ohtahara, sindrom West, sindrom Lennox Gastaut, epilepsi mioklonik juvenile, sedangkan sindrom epilepsi fokal antara lain epilepsi Rolandic, epilepsi lobus temporal, epilepsi oksipital benigna (Stafstorm et al., 2014; Berg et al., 2010).

2.5

Patofisiologi Epilepsi Kejang disebabkan oleh eksitasi yang berlebihan, atau dalam kasus kejang yang tidak ada, akibat penghambatan gangguan pada sejumlah besar neuron kortikal. Ini tercermin pada EEG sebagai gelombang atau lonjakan yang tajam. Awalnya, sejumlah kecil neuron terbakar secara tidak normal. Konduktansi membran normal dan penghambatan arus sinaptik rusak, dan rangsangan berlebih menyebar, baik secara lokal untuk menghasilkan kejang fokus atau lebih luas untuk menghasilkan kejang umum. Onset ini menyebar melalui jalur fisiologis untuk melibatkan daerah yang berdekatan atau terpencil. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi fokus, tingkat lekas marah pada area sekitar otak, dan intensitas impuls (Dipiro et al., 2011). Ada beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi pada hyperexcitability sinkron, termasuk : (1) perubahan dalam distribusi, 7

jumlah, jenis, dan sifat biofisik saluran ion dalam membran neuron ; (2) modifikasi biokimia dari reseptor; (3) modulasi sistem pesan kedua dan ekspresi gen ; (4) perubahan konsentrasi ion ekstraseluler ; (5) perubahan dalam pengambilan neurotransmitter dan metabolisme dalam sel glial ; dan (6) modifikasi dalam rasio dan fungsi sirkuit penghambat. Selain itu, ketidakseimbangan neurotransmitter lokal bisa menjadi mekanisme potensial untuk epileptogenesis fokal. Ketidakseimbangan transitory antara mainneurotransmitter, glutamate (rangsang) dan γ-aminobutyricacid (GABA) (penghambatan), dan neuromodulator (mis., Asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin) mungkin berperan dalam kejang endapan pada pasien yang rentan (Dipiro et al., 2011). Kontrol aktivitas neuron abnormal dengan AED dicapai dengan menaikkan ambang neuron ke rangsangan listrik atau kimia atau dengan membatasi penyebaran debit kejang dari asalnya. Meningkatkan ambang batas kemungkinan besar melibatkan stabilisasi membran neuron, sedangkan membatasi propagasi melibatkan depresi transmisi sinaptik dan pengurangan konduksi saraf (Dipiro et al., 2011). Kejang yang berkepanjangan dan paparan glutamat yang terusmenerus dapat menyebabkan cedera saraf pada populasi neuron yang rentan yang mengakibatkan defisit fungsional, terutama dalam ingatan, dan dalam perubahan permanen pada kabel sirkuit neuron. Berkecambah dan reorganisasi proyeksi neuron dapat menyebabkan kerentanan kronik terhadap kejang, kerusakan neuron, dan kerusakan otak. Namun, tingkat neurogeneisis yang terbatas pada jalur hippocampal telah diinduksi oleh kejang epilepsi. Peran neuron yang baru lahir ini tidak dipahami dengan baik (Dipiro et al., 2011).

2.6

Diagnosis Epilepsi Gejala kejang tertentu akan tergantung pada jenis kejang. Meskipun kejang dapat bervariasi di antara pasien, mereka cenderung stereotip dalam diri seseorang. Kejang CP (complex partial) dapat 8

mencakup fitur motorik somatosensori atau fokus.

Kejang CP

berhubungan dengan kesadaran yang berubah. Kejang absen dapat hampir tidak terdeteksi dengan periode kesadaran berubah yang sangat singkat. Kejang GTC (generalized tonic clonic) adalah episode kejang utama dan selalu dikaitkan dengan hilangnya kesadaran. Secara interiktif (antara episode

kejang),

biasanya

tidak

ada

tanda-tanda

objektif

atau

patognomonik (Dipiro et al., 2011). Saat ini tidak ada tes laboratorium diagnostik untuk epilepsi. Dalam beberapa kasus, terutama setelah kejang GTC atau mungkin CP, kadar

prolaktin

serum

dapat

meningkat

secara

sementara.

Tes

laboratorium dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab kejang yang dapat diobati (mis., Hipoglikemia, perubahan konsentrasi elektrolit, infeksi, dll.) Yang tidak mewakili epilepsi. Tes Diagnostik Lainnya : -

EEG sangat berguna dalam diagnosis berbagai gangguan kejang.

-

EEG epileptiform ditemukan hanya sekitar 50% dari pasien yang memiliki epilepsi.

-

Kadar serum prolaktin yang diperoleh dalam waktu 10 hingga 20 menit kejang tonik-klonik dapat berguna dalam membedakan aktivitas kejang dari aktivitas kejang pseudose tetapi tidak dari sinkop.

-

Meskipun magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna (terutama pencitraan lobus temporal), pemindaian computed tomography (CT) biasanya tidak membantu kecuali dalam evaluasi awal untuk tumor otak atau pendarahan otak (dipiro et al., 2011).

2.7

Penanganan Epilepsi Tujuan ideal pengobatan epilepsi adalah menghilangkan kejang total dan tidak ada efek samping dengan QOL (quality of life). QOL terbaik dikaitkan dengan keadaan bebas kejang. Namun, sering kali keseimbangan antara kemanjuran dan efek samping harus diterima.

9

Dengan AED yang lebih tua digunakan sebagai monoterapi, kurang dari 50% pasien menjadi bebas kejang (dipiro et al., 2011). Karena terapi dilanjutkan selama bertahun-tahun bahkan seumur hidup, efek samping kronis harus dipertimbangkan. Jika pasien terlalu dibius atau mengembangkan efek samping signifikan lainnya, beberapa kontrol kejang mungkin harus dikorbankan untuk meningkatkan fungsi. Pasien harus dilibatkan dalam memutuskan keseimbangan antara frekuensi kejang dan kejadian efek samping yang paling tepat. AED yang lebih baru menawarkan alternatif untuk menyeimbangkan frekuensi kejang dan efek samping obat (dipiro et al., 2011). Pasien dengan epilepsi juga dapat memiliki komorbiditas neuropsikiatrik lain seperti depresi, kecemasan, dan gangguan tidur yang memerlukan perawatan. Depresi telah terbukti memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pada pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan (Vikrey et al., 199...


Similar Free PDFs