MAKALAH. Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance). Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan PDF

Title MAKALAH. Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance). Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Author Oswar Mungkasa
Pages 89
File Size 3.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 42
Total Views 168

Summary

Tata Kelola Kolaboratif : (Collaborative Governance) Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan Oswar Mungkasa1 When collaborating, “the government sometimes needs to play the role of participant rather than leader and learner rather than teacher” (Smith, 2004)2. I. Sejarah Tata Kelola Kolaboratif Istil...


Description

Tata Kelola Kolaboratif : (Collaborative Governance) Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan Oswar Mungkasa1 When collaborating, “the government sometimes needs to play the role of participant rather than leader and learner rather than teacher” (Smith, 2004)2.

I.

Sejarah Tata Kelola Kolaboratif

Istilah Collaborative Governance yang diterjemahkan menjadi Tata Kelola Kolaboratif muncul ketika terjadi pergeseran dari Old Public Administration (OPA) ke paradigma baru yaitu New Public Management (NPM). Penyebutan government kemudian berganti menjadi governance. Perubahan istilah ini bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik, karena ketika menggunakan istilah government penekanannya lebih kepada institusi pemerintah, berbeda ketika bergeser menjadi governance terdapat penekanan adanya keterlibatan non-pemerintah, yaitu kelompok kepentingan dan masyarakat (Sari, 2014). Tabel. 1 Perbandingan Government dan Governance No 1

Unsur Pengertian

2

Sifat hubungan

3

Komponen yang terlibat

4

Pemegang peran dominan. Efek yang diharapkan Hasil akhir yang diharapkan.

5 6

Government badan/lembaga/fungsi yang dijalankan oleh suatu organ tertinggi dalam suatu negara. Hirarki, dalam arti yang memerintah berada di atas, sedangkan warga yang diperintah berada di bawah. Sebagai subjek hanya ada satu yaitu institusi pemerintah. Pemerintah. Kepatuhan warga negara Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara.

Governance cara penggunaan atau pelaksanaan. Heterarki, dalam arti terdapat kesetaraan dan hanya berbeda dalam fungsi. Tiga komponen yang terlibat, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Semua memegang peran sesuai fungsinya masing-masing. Keterlibatan warga negara Pencapaian tujuan negara dan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat.

Sumber : Wasistiono (2009) dalam Febrian (2018).

Perkembangan paradigma ilmu Administrasi Publik setidaknya mengalami 4 (empat) tahapan, sebagaimana dikutip dari Chemma (2003), yaitu 1

Bekerja di Bappenas Ralph Smith, Part 1: Lessons from the Homelessness Initiative in Policy Development and Implementation in Complex Files. Ottawa: Canada School of Public Service.2004. 2

1

(i) Administrasi Publik Tradisional (Traditional Public Administration), berorientasi hirarki, keberlanjutan, ketidakberpihakan, standarisasi, rasional-legal, otoritas, dan profesionalitas (ii) Manajemen Publik (Public Management), terfokus pada efisiensi pemakaian sumberdaya, efektivitas, berorientasi pelanggan dan kekuatan pasar dan lebih peduli kepentingan masyarakat, serta memberi peran swasta. (iii) Manajemen Publik Baru (New Public Management), terfokus pada fleksibilitas, pemberdayaan, inovasi, berorientasi hasil, out-sourcing dan contract out, promosi etika profesi, serta manajemen berbasis kinerja. Menekankan pada peran institusi negara menuju pengelolaan layanan pubik yang lebih pro pasar. Pada paradigma NPM terjadi pergeseran dari kebijakan dan administrasi menuju pengelolaan bergaya swasta. Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan dan pemerintah berperan mengarahkan (Mutiarin dan Arif (2014) dalam Jahro (2019)). (iv) Tata Kelola (Governance), suatu sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dengan pengelolaan urusan ekonomi, sosial dan politik melalui kerjasama masyarakat, pemerintah dan swasta. Paradigma ini memromosikan people center development (pembangunan berbasis masyarakat), yang mengutamakan proses masyarakat dapat mengungkapkan kepentingannya, mempertemukan perbedaan, dan menjalankan hak serta kewajibannya. Pemerintah memainkan peran penciptaan kondisi politik dan hukum yang mendukung, swasta menyediakan lapangan kerja, serta masyarakat madani menyelenggarakan hubungan sosial dan politik secara sehat (Harmawan, 2016). II.

Tata Kelola (Governance)

Jika dilihat awal kemunculannya, istilah governance pertama kali dihadirkan pada tahun 1980 oleh World Bank untuk menganalisis reformasi kelembagaan dan pentingnya keberadaan pemerintah yang lebih baik dan efesien di negara-negara Afrika (Maldonado, 2010). Sejak kemunculan pertama, diskusi mengenai governance terus berkembang dengan pesat (Febrian, 2018). Sedarmayanti (2009) menjelaskan bahwa istilah governance mengandung makna tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan, yang berarti bahwa governance adalah suatu kegiatan (proses). Istilah governance tidak hanya bermakna sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan (Jahro, 2019). Dwipayana dkk. (2003) menjelaskan bahwa governance tidak sama dengan goverment (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Kalau goverment dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”. Goverment mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita: adalah penerima yang pasif”. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang “diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance (Dewi, 2012) Lebih lanjut Sedarmayati (2009) mengartikan governance sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, yang mencakup 3 (tiga) ranah yaitu state (negara atau pemerintahan), private sectors (swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Selanjutnya, Rochman dalam Sedarmayanti (2009) menyatakan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh pemerintah dan non2

pemerintah dalam satu usaha bersama (Jahro, 2019). Dengan demikian, Kooiman, 1993 dalam Sedarmayanti (2009), mengartikan governance sebagai serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan tersebut (Jahro, 2019). Sedarmayanti (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasar definisi United Nation Development Program (UNDP) dijelaskan Governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga pihak yaitu negara atau pemerintah (state), swasta atau dunia usaha (private sector) dan masyarakat (society) yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing (Dewi, 2012). Sementara Sumarto (2004) menegaskan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu pelaku dan tidak selalu menjadi yang paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memasilitasi pelaku lain dari komunitas dan swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut (Dewi, 2012). Sehingga menurut Dwiyanto (2005), governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi lain yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan swasta maupun warga negara. Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, pemerintah sebagai institusi tidak bisa ditinggalkan begitu saja (Dewi, 2012). Secara khusus Kooiman dkk (2005) menambahkan 3 (tiga) pilar tata kelola yakni koordinasi, kolaborasi dan konsultasi (Bowo, 2009). Dengan demikian, menurut Bevir (2006) pada dasarnya governance merupakan transformasi sistem tata kelola yang mencakup (i) Perubahan dari sistem hirarki dan pasar menjadi sistem jaringan dan kemitraan (ii) Menjalin keterhubungan administrasi negara dengan masyarakat sipil (iii) Perubahan sistem administrasi yang mengandalkan campur tangan dan pengendalian menjadi pengarahan dan koordinasi (iv) Perubahan kegiatan pemerintahan dari pengaturan dan perintah ke negosiasi dan diplomasi. (v) Pelibatan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan dan pelayanan publik. Lebih lanjut Chotary dan Stoker (2009) mendefinisikan governance adalah tentang aturan main penyusunan keputusan bersama diantara keberagaman pelaku dan organsiasi, dan tidak terdapat sistem kendali formal yang mampu mendikte pola hubungan antara pelaku dan organisasi. Berdasarkan pada definisi Chotary dan Stoker, dapat disimpulkan bahwa governance memiliki 4 (empat) elemen utama. Pertama, elemen aturan (rule). Kedua, elemen kebersamaan. Ketiga, elemen pembuat keputusan. Keempat, tidak terdapat sistem kendali formal yang bisa mendikte pola kerjasama dan dampak yang diperoleh (Febrian, 2018). Secara umum, definisi tata kelola kemudian dijabarkan dalam setidaknya 6 (enam) prinsip dasar, yaitu (i) Negara (baca: pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang 3

memiliki kapasitas untuk mengoordinasi (bukan mobilisasi) pelaku pada institusi semi nonpemerintah untuk mencapai tujuan publik 
 (ii) Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula dipahami sebagai “kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan untuk” menyelenggarakan kepentingan, serta memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik. 
 (iii) Negara, LSM, swasta dan masyarakat lokal merupakan pelaku yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan – untuk tidak menyebut setara. 
 (iv) Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis (v) Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pemberian layanan publik 
 (vi) Negara harus mampu meningkatkan kualitas tanggapan, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik (Dewi, 2012). Pemaknaan senada tentang tata kelola disampaikan oleh Nurhaeni (2010), yang dirangkum dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: (i) kelembagaan, yang menjelaskan bahwa tata kelola merupakan sebuah sistem yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (multistakeholders), baik dari pemerintah maupun nonpemerintah dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan untuk menanggapi masalah dan kebutuhan publik. (ii) nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Nilai administrasi publik yang tradisional seperti efisiensi dan efektifitas telah bergeser menjadi nilai keadilan sosial, kebebasan dan kemanusiaan. (iii) proses yang mencoba menjelaskan berbagai unsur dan lembaga pemerintah menaggapi berbagai masalah publik yang muncul di lingkungannya (Dewi, 2012). Ditambahkan oleh Peters dan Pierre (1998), tata kelola setidaknya memiliki 4 (empat) elemen dasar, yaitu: (i) Dominasi jaringan (the domination of network). Didalam kebijakan formal, pemerintahan didominasi oleh pelaku yang memiliki pengaruh, terkait proses produksi barang dan jasa publik. (ii) Kapasitas negara yang semakin menurun untuk melakukan kendali langsung (the state’s declining capaciy for direct control). Meskipun pemerintah tidak lagi melakukan kendali terpusat atas kebijakan publik tetapi tetap memiliki kekuatan untuk memengaruhi. Kekuatan negara kini dikaitkan dengan kemampuan berunding dengan para pelaku dalam jejaring kebijakan. Para anggota jejaring semakin diterima sebagai mitra setara dalam proses penyusunan kebijakan. (iii) Memadukan sumberdaya publik dan swasta (the blending of public and private resources). Pemangku kepentingan publik dan swasta bekerjasama untuk memperoleh sumberdaya. Sebagai contoh, menggunakan perusahaan swasta untuk implementasi kebijakan memungkinkan pemerintah untuk menghindari beberapa masalah prosedural dan akuntabilitas 4

yang mahal serta memakan waktu. Perusahaan swasta dapat bernegosiasi dengan pemerintah untuk membiayai kegiatan yang menguntungkan kepentingan publik tapi tidak mungkin untuk dibiayai oleh swasta sendiri. (iv) Penggunaan beberapa instrumen (use of multiple instrument). Ini berarti peningkatan keinginan untuk mengembangkan dan menggunakan metode non-tradisional untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan publik. Hal ini juga diterapkan melalui perangkat tidak langsung, seperti insentif pajak untuk memengaruhi perilaku (Febrian, 2018). Rangkuman mengenai definisi tata kelola juga disebutkan oleh Bovaird dan Loffler (2003) sebagai berikut: (i) Mengasumsikan bahwa masalah bersama tidak lagi dapat diselesaikan hanya oleh pemilik kewenangan publik tetapi memerlukan kerja sama dengan pihak lain. (ii) Berkaitan dengan aturan formal (konstitusi, undang-undang, peraturan) dan aturan informal (kode etik, adat istiadat, tradisi), tetapi mengasumsikan bahwa negosiasi antara para pemangku kepentingan, yang ingin menggunakan kekuasaannya, dapat mengubah pentingnya aturan tersebut. (iii) Tidak lagi hanya berfokus pada struktur pasar sebagai upaya kendali, seperti dalam pendekatan new public management konvensional. Hirarki (seperti birokrasi) dan jaringan kerja sama juga dipertimbangkan dalam situasi yang tepat. (iv) Mengakui bahwa ciri dalam interaksi sosial (misalnya transparansi, integritas, kejujuran) cenderung berasal dalam diri mereka, bukan sekedar sebuah logika input dan output semata. (v) Secara inheren bersifat politis, berkaitan dengan hubungan para pemangku kepentingan yang berusaha untuk menjalankan kekuasaan atas satu sama lain sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada para pembuat keputusan (Hadi, 2018). Adapun tata kelola (governance) yang baik menurut UNDP (United Nations Development Programme) mempunyai karakteristik sebagai berikut (Rondinelli, 2007): a. Keterlibatan (participation), semua orang memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui institusi perantara yang mewakili kepentingannya. b. Aturan Hukum (rule of law), harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu, terutama menyangkut hukum hak asasi manusia. c. Keterbukaan (transparency) didasarkan pada informasi yang terbuka. Proses, institusi, dan informasi harus dapat diakses secara langsung bagi mereka yang berkepentingan. d. Tanggapan (responsiveness). Institusi dan proses yang ada harus diarahkan untuk melayani kepentingan pemangku kepentingan. e. Orientasi Konsensus (consensus orientation). Perlu adanya proses mediasi untuk mencapai kesepakatan luas yang dianggap terbaik menurut kelompok, dan sedapat mungkin sesuai kebijakan dan prosedur. f. Kesetaraan (equity). Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraannya. g. Keberhasilgunaan dan Keberdayagunaan (effectiveness and efficiency). Proses dan institusi yang ada perlu memenuhi kebutuhan yang sedapat mungkin sesuai dengan kebutuhan serta berusaha memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. 5

h. Pertanggungjawaban (accountability). Para pengambil keputusan di institusi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus mampu mempertanggungjawabkan keputusan termasuk kepada para pemangku kepentingan. i. Visi Strategis (strategic vision). Para pemimpin dan masyarakat memiliki pandangan yang luas dan berjangka panjang menyangkut tata kelola yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), dengan memerhatikan sejarah, budaya, dan kerumitan sosial budaya yang melatarbelakanginya (Sari, 2014). Melengkapi karakteristik tata kelola yang baik dari UNDP, Suwandi (2006) menampilkan dari sudut pandang yang sedikit berbeda,, yaitu: i) Interaksi, mencakup tiga mitra yaitu; pemerintah, swasta dan masyarakat dengan model pemerintahan (governing models); co-managing, costeering, dan co-guiding of actors dalam pengaturan kehidupan sosial politik dan sosial-ekonomi. ii) Komunikasi, menyangkut jaringan multi-sistem (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang melakukan sinerji untuk menghasilkan keluaran yang berkualitas. iii) Proses Pemaksaaan Sendiri (self enforcing processes), yang menjelaskan bahwa sistem pemerintahan mandiri (self governing) adalah kunci untuk mengatasi kerumitan dalam keadaan perubahan lingkungan dan dinamika masyarakat yang tinggi. iv) Keseimbangan Kekuatan (balance of forces), menyangkut konsep tata kelola yang menciptakan dinamika, kesatuan dalam kerumitan, keseimbangan dan kerjasama untuk menciptakan pertumbuhan berkelanjutan, perdamaian dan keadilan. v) Kebergantungan (interdependence), ketika tata kelola menciptakan saling ketergantungan yang dinamis antara pemerintah, swasta dan masyarakat melalui koordinasi, fasilitasi dan peningkatan proses tata kelola (Sari, 2014). III.

Kolaborasi

Secara epistemologi, sebagaimana dikutip dari Wanna (2008), kata kolaborasi berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘co-labour’ yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks. Divisi sebagai bagian struktur organisasi mulai dibentuk untuk memudahkan pembagian tugas bagi tenaga kerja. Kerumitan organisasi menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi dalam berbagai organisasi (Arrozaaq, 2017). Tentunya menjadi penting mengetahui manfaat sekaligus alasan dari upaya kolaborasi sebagaimana dijelaskan oleh Fendt (2010) bahwa terdapat 3 (tiga) alasan mengapa organisasi melakukan kolaborasi, yaitu: (i) Sebuah organisasi tidak dapat menyelesaikan tugas tertentu tanpa bantuan pihak lain (ii) Manfaat bagi organisasi dapat lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri (iii) biaya produksi dapat menjadi lebih rendah sehingga produk menjadi lebih murah dan memiliki daya saing pasar (Arrozaaq, 2017). Keban (2007) dalam Mutiarin dan Arif (2014) menyebutkan bahwa manajemen kolaboratif mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusi yang menjalankannya mendapat manfaat antara lain. (a) Terbentuk kekuatan yang lebih besar, sehingga memiliki kemampuan yang lebih besar pula 6

dalam mengatasi permasalahan yang rumit. 
 (b) Tercapai kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi, pengetahuan dan technical know-how. (c) Menjadi lebih berdaya. (d) Mengurangi dan mencegah konflik. 
 (e) Menumbuhkan rasa keadilan dan saling percaya. 
 (f) Mendorong upaya keberlanjutan pemecahan masalah secara bersama. (g) Mengikis ego daerah dan sektoral (Jahro, 2019). Secara umum kolaborasi adalah hubungan antarorganisasi yang saling berpartisipasi dan saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi informasi, berbagi sumberdaya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai masalah (Lai, 2011). Morse dan Stephens (2012) menekankan bahwa kolaborasi merupakan pendukung pelaksanaan tata kelola yang menekankan kealamian proses kesepakatan dari berbagai pemangku kepentingan yang tidak hanya dari pemerintah tetapi juga melibatkan masyarakat maupun lembaga non-pemerintah dalam tindakan bersama dan kerjasama (Jahro, 2019). Sementara O’Flynn dan Wanna (2008) menekankan sisi deskriptif/pragmatis yang berfokus pada realitas praktis untuk bekerja dengan atau melalui orang lain, atau sisi normatif/intrinsik yang menekankan usaha partisipatif dan pengembangan hubungan kepercayaan. Ditambahkan juga bahwa kolaborasi biasanya dipandang sebagai sesuatu yang positif karena bersifat kreatif, transformasional, dan melibatkan hasil yang bermanfaat (Hadi, 2018). Ditambahkan pula oleh Barbara Gray (Emerson dan Nabatchi, 2015) bahwa upaya berkolaborasi berfokus menyelesaikan serangkaian masalah yang tidak dapat diselesaikan secara individual. Selain itu, Richard Margerum (Emerson dan Nabatchi 2015) menyatakan melalui kolaborasi para pemangku kepentingan berupaya untuk membangun konsensus dan mengembangkan jejaring sehingga tujuan bersama dapat terwujud (Hadi, 2018) Dwiyanto (2010) menjelaskan konsep kolaborasi sebagai kerjasama yang bersifat kolaboratif melibatkan kerjasama yang intensif, termasuk adanya upaya secara sadar untuk melakukan penyesuaian dalam tujuan, strategi, agenda, sumberdaya dan aktivitas. Kedua institusi yang pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda membangun visi bersama (shared vision) dan berusaha mewuju...


Similar Free PDFs