Mengapa Allah SWT Menggunakan "Kami"? Full Respons IV untuk Menachem Ali PDF

Title Mengapa Allah SWT Menggunakan "Kami"? Full Respons IV untuk Menachem Ali
Author D. Nggadas
Pages 12
File Size 210.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 125
Total Views 161

Summary

1 Mengapa Allah SWT Menggunakan “Kami”? Verbum Veritatis Respons untuk Menachem Ali (IV): “Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, Kristen, Islam?” Pengantar dan Disclaimer Ini adalah naskah full response II untuk Sesi Live dari Dondy Tan dan Menachem Ali, bertajuk: “Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, ...


Description

1

Mengapa Allah SWT Menggunakan “Kami”? Verbum Veritatis Respons untuk Menachem Ali (IV): “Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, Kristen, Islam?”

Pengantar dan Disclaimer Ini adalah naskah full response II untuk Sesi Live dari Dondy Tan dan Menachem Ali, bertajuk: “Pseudo-Abrahamic Religions: Yahudi, Kristen, atau Islam” (Channel Youtube Dondy Tan; 25/11/2021). Beberapa disclaimers sebelum membahas topik ini: a. Pembahasan ini bukan inisiatif melainkan responsif, penggunaan hak jawab, tanggapan apologetik dari seorang Kristen yang berkompeten, memiliki kualifikasi akademik, dan berhak meluruskan termasuk menggunakan standar yang sama untuk memberikan counterattack karena iman dan Kitab Suci saya dikomentari secara tidak berdasar oleh Dondy Tan dan Menachem Ali sebagai narasumbernya. Itu dilakukan secara publik, pada sebuah sesi Live, maka saya pun wajib memberikan respons secara publik, melalui sebuah sesi Live. b. Bagi Anda Muslims, yang kebetulan membuka video ini, atau mengikuti presentasi ini secara Live, lalu sadar diri berbatok kepala kosong, otak Anda sudah berlumut dan berkarat, atau tidak mampu bersikap rasional, bersumbu pendek dan suka meledak-ledak, silakan tutup video ini sekarang. Video ini hanya dikhususkan bagi mereka yang punya otak, mampu menggunakan otaknya, mampu berargumentasi, dan berpikiran terbuka untuk mendengar kontra-perspektif dari pihak lain. c. Menachem Ali, di dalam Sesi Live tersebut, mengklaim bahwa YHWH di dalam Kitab Suci saya adalah sosok yang sama dengan Allah SWT yang diajarkan dalam Islam (Qur’an dan hadis-hadis). Karena itu, sebagai seorang Kristen, saya wajib menguji klaim ini, tentu saja berdasarkan Qur’an dan hadis-hadis sahih, melalui sebuah kajian akademik yang berbasis sumber-sumber yang kredibel. Cara paling utama menguji Menachem Ali adalah dengan melakukan riset tentang Konsep Ketuhanan Islam, Tauhid, dan sosok Allah SWT menurut Qur’an dan hadis-hadis. Dengan demikian, kita dapat tiba pada kesimpulan tertentu mengenai klaim yang ditelorkan Menachem Ali. d. Dalam Program Deen Show, sebuah acara televisi di Kanada, pembawa acaranya yang sedang menyiarkan Islam, menyatakan bahwa Doktrin Tauhid adalah doktrin yang sangat sederhana sehingga bahkan dapat dimengerti oleh anak-anak kecil sekalipun. Akan dibuktikan bahwa klaim ini hanya propaganda gelembungan sabun belaka. Doktrin Tauhid tidak sederhana, bahkan sebaliknya sangat berbahaya. Para ulama Muslim masih berdebat hingga saat ini: Apakah Allah Mahahadir (Qs. 50:16; 2:249; 9:40; 20:46; 57:4; 58:7) atau duduk di atas arshy-nya (QS. 7:54; 10:3; 13:2; 20:5; 25:59; 32:4; 57:4; 69:17; 39:75; 40:7). Allah tidak punya multiplisitas atribut (tidak dapat dikenal)? Memilikinya, namun terbatas hanya pada atribut metafisik (pengetahuan, kemurahan, hidup, kuasa)? Termasuk juga atribut anatomis (1 betis, jari, dua tangan kanan, wajah)? e. Ketika saya membahas tentang Doktrin Tritunggal dalam kaitan dengan bidat-bidat Kristen, Muslims sering datang ke Channel saya dan berkomentar: “Urusasn Tuhan Kristen kok belum selesai.” Mereka berkomentar dengan asumsi (yang ignoran) bahwa Tauhid adalah doktrin konsensus dalam Islam. Saya menyebutnya ignoran, karena Muhammad ibn Khalifah alTamimi, menyatakan: “The realm of Names and Attributes [of Allah] is regarded to be one of the most dangerous areas because of the fact that it has been subject of severe and complex

2 differences.” Termasuk akan saya buktikan dalam presentasi ini bahwa sejarah Islamik adalah sejarah pertikaian mengenai Tauhid. f. Qur’an sendiri berisi serangan demi serangan bukan hanya terhadap Ketuhanan Yesus, melainkan juga terhadap Doktrin Tritunggal (QS. 4:171; 5:17, 72-75, 116), termasuk menyerang persis pada jantung Injil Kristus, kematian Yesus melalui penyaliban (QS. 4:157). 1 Karena data Qur’anik semacam ini dan karena Doktrin Tauhid, Kekristenan dalam ajaran Islam tidak lebih dari sebuah penyembahan berhala dan Politheisme. Seorang penulis Muslim, pengkhotbah, yang meraih gelar Ph.D., dari University of Wales, Abu Ameenah Bilal Philips, menyatakan: “Yet, according to Islamic Unitarian concept (Tawhid), Christianity is classified as Polytheism and Judaism is considered a subtle form of idolatry.”2 Jadi ini adalah sebuah serangan teologis dan tuduhan yang sangat serius terhadap Kekristenan dari Qur’an sendiri. g. Penggunaan bentuk plural “Kami” oleh Allah SWT untuk bicara tentang diri-Nya dalam Qur’an, merupakan salah satu titik kelemahan terbesar dari Tauhid yang membuktikan klaim saya bahwa the Achilles Heel dari Islam adalah Tauhid itu sendiri. Dalam presentasi ini, saya akan membahas tiga jawaban paling popular dari Muslims di dalam sejarah Islamik. Setiap jawaban ini akan langsung saya berikan argumentasi kontrasnya. Namun di bagian terakhirnya, ada sebuah argumentasi yang mencakup semua jawaban itu termasuk jawaban alternatif apa pun yang belum saya sebutkan yang coba dikemukakan oleh Muslims dalam menjelaskan problem ini. A. Tritunggal dan Bentuk Plural dalam Alkitab Salah satu respons dari Muslims ketika ditanyai dengan pertanyaan di atas adalah di dalam Alkitab juga ada kata “Kita” digunakan untuk YHWH (Kej. 1:26-27; Kej. 3:22; 11:7; Yes. 6:8). Saya bahkan bisa menambahkan bahwa penggunaan bentuk plural itu muncul dalam bentuk: a. Kata kerja jamak (Kej. 20:13; 35:1, 7; 2Sam. 7:23); b. Partisipel jamak (Pkh. 12:1; Mzm. 149:2; Yes. 54:5); dan c. Kata sifat jamak (Yos. 24:19; Ams. 10:9; 30:2-4). Apakah bentuk-bentuk plural di atas menimbulkan masalah bagi Kekristenan? Sama sekali tidak. Rumusan doktrin Tritunggal yang akurat, terdiri atas tiga proposisi: a. Allah itu Esa; b. Ada Tiga Pribadi yang berbeda namun tidak terpisah: Bapa, Anak, dan Roh Kudus; dan c. Ketiga Pribadi itu memiliki hakikat (esensi) yang satu, sama, dan setara. Jadi, ada pluralitas Pribadi di dalam Diri Allah yang Esa tersebut (Monotheisme Trinitarian). Itu berarti, Doktrin Tritunggal tidak sama dengan Doktrin Tritheisme yang percaya akan tiga keberadaan ilahi yang bukan hanya berbeda dan terpisah pribadi-pribadinya, melainkan juga terpisah secara esensi (hakikat) – Politheisme. Juga tidak sama dengan Oneness Pentecostalisme (Modalisme atau Sabelianisme) yang menegaskan keesaan Allah namun memblender Ketiga Pribadi tersebut menjadi Satu Pribadi dengan tiga peran yang berbeda. Itulah sebabnya, baik penggunaan bentuk plural maupun bentuk tunggal ketika digunakan dengan referen kepada Allah dalam Alkitab diaminkan tanpa problem sama sekali oleh orang-orang Kristen. 1

Belum lagi tentang pembumbuan-pembumbuan dan penyimpangan narasi-narasi di sekitar Yesus. Misalnya, Maria diklaim sebagai saudari Harun, Isa lahir di bawah pohon korma, dsb. 2 Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamentals of Tawheed (Riyadh, Saudi Arabia: International Islamic Publishing House, Inc., 2005), 11.

3 B. Doktrin Tauhid dan “Kami” Di sisi lain, Muslims mendefinisikan konsep ketuhanan Islalm, Tauhid, dengan meniadakan sama sekali pluralitas apa pun dari diri Allah SWT. Allah SWT itu mutlak tunggal (soliter), tanpa pluralitas apa pun. Mereka menyebut ini sebagai sebuah Monotheisme yang paling murni dan paling tinggi derajatnya. Karena itu, mereka bahkan sulit untuk menerima bahwa Doktrin Tritunggal itu Monotheis, meski sebenarnya perbedaan Tauhid (menurut definisi Muslims) dan Doktrin Tritunggal bukan terletak pada Monotheisme versus Politheisme. Perbedaan itu terletak pada Monotheisme Unitarian (Tauhid) dan Monotheisme Trinitarian (Kekristenan). Meski demikian, Muslims tetap bersikeras mengkontraskan Doktrin Tauhid dengan Doktrin Tritunggal. Misalnya, Zulfiqar Ali Shah, dalam tulisan kesarjanaannya yang sangat masif, berkomentar demikian: In Islam God stands alone: transcendent and majestic. The faith is marked by a strict and uncompromising ethical monotheism, signifying the absolute Oneness, Unity, Uniqueness and Transcendence of God, in its highest and purest sense, and which formally and unequivocally eliminates all notions of polytheism, pantheism, dualism, monolatry, henotheism, tritheism, trinitarianism, and indeed any postulation or conception of the participation of persons in the divinity of God.3 Atau lebih eksplisit lagi, Abu Ameenah Bilal Philips, menyatakan: “Yet, according to Islamic Unitarian concept (Tawhid), Christianity is classified as Polytheism and Judaism is considered a subtle form of idolatry.”4 Mari kita kesampingkan kesalahpahaman kekal terhadap Doktrin Tritunggal tersebut. Sebab yang paling menarik sekarang adalah, jika Allah SWT itu mutlak tunggal (satu) dan tanpa pluralitas di dalam diri-Nya, mengapa di dalam Qur’an berulang kali, sangat banyak, ada di mana-mana, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad dengan menggunakan kata “kami”? C. “Kami” dan Beragam Jawaban Muslims – Respons Saya Sejak saya memosting pertanyaan saya: “Mengapa Allah dalam Qur’an menggunakan kata ‘kami’?,” mayoritas Muslims hanya datang dan berkomentar sampah (sangat tipikal), namun ada beberapa di antaranya yang mencoba keberuntungan mereka dengan beragam jawaban. 1. Allah SWT dan Malaikat-Nya Jawaban ini berasal dari Rollyantoro (saya tidak tahu beliau Muslim atau bukan), namun isi komentarnya menarik (Saya copas persis aslinya): Pandangan dari salaf (generasi awal) ummat ini dan imam dan generasi kemudian adalah bahwa Nabi SAW mendengar Al-Qur'an dari Jibril, dan Jibril mendengarnya dari Allah . Penggunaan bentuk jamak dalam frasa tersebut adalah gaya bicara bahasa Arab yang digunakan untuk merujuk kepada orang yang di posisi tinggi DAN PUNYA PEMBANTU YANG MENAATINYA. Jadi ketika pembantunya melakukan sesuatu atas perintahnya, katanya, "KAMI 3

Zulfiqar Ali Shah, Antrophomorphic Depiction of God: The Concept of God in Judaic, Christian and Islamic Traditions – Representing the Unrepresentable (Herndon, VA.: International Institute of Islamic Thought, 2012), 48. 4 Abu Ameenah Bilal Philips, The Fundamentals of Tawheed (Riyadh, Saudi Arabia: International Islamic Publishing House, Inc., 2005), 11.

4 MELAKUKANNYA" . Ini seperti ketika seorang raja berkata, "Kami menaklukkan negeri ini, kami mengalahkan tentara ini" dan seterusnya . Karena Ia melakukan itu melalui tindakan para pembantunya. Allah adalah tuan dari para malaikat dan mereka tidak berbicara sampai Ia telah bicara, dan mereka bertindak sesuai dengan perintah-Nya, mereka tidak melanggar perintah Allah, kecuali mereka lakukan apa yang Ia perintahkan. Selain itu Ia adalah Pencipta mereka dan pencipta perbuatan mereka dan kekuatan mereka. Tetapi Dia tidak membutuhkan mereka, Dia tidak seperti raja yang pembantunya melakukan hal-hal dengan kekuatan mereka sendiri. Jadi apa yang Ia katakan ketika Ia melakukan sesuatu melalui malaikat-Nya adalah, "KAMI MELAKUKANNYA" , ini lebih tepat dan Ia lebih punya hak mengatakan itu dari para raja (fatwa no.12713). Isi komentar di atas sebenarnya merupakan terjemahan dari pandangan Ibn Taymiyyah. Pandangan serupa juga berasal dari Seikh Hamza Karamali: One of the earliest and most authoritative Quranic lexicologists, al-Raghib al-Asfahani (d. 425 A.H.), explained that nahnu (Arabic for we) is normally a pronominal reference that a speaker makes to himself when speaking of himself along with others. When Allah Most High uses nahnu to refer to Himself [sic] the Quran, He may either be using it solely for Himself, or, if the He speaks of an action that He creates at the hands of His angels, for example, He may be referring to the [sic] Himself along with His angels. Pandangan ini, akan benar secara konsisten, jika dan hanya jika seluruh data Qur’anik mengenai penggunaan kata “Kami” untuk Allah SWT ada dalam konteks tindakan Allah SWT yang melibatkan para malaikat. Bahkan pandangan Ibn Taymiyyah di atas mengindikasikan bukan hanya para malaikat, melainkan juga Muhammad sebagai rasul Allah pun termasuk dalam penggunaan kata “Kami”. Dan justru itu masalahnya. Data Qur’anik tersebut tidak konsisten bicara demikian. Keberatan-keberatan Ada empat observasi argumentatif yang membantah pandangan tersebut dari dalam Qur’an dan dari dalam teologi Islam itu sendiri. Pertama, saya hanya akan memperlihatkan tiga saja ayat Qur’anik saja yang sama sekali tidak mungkin penggunaan kata “Kami” di situ merujuk kepada Allah SWT dan Muhammad. Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS. 2:23). Sungguh, Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS. 2:119). Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. 2:144).

5 Sangat gampang untuk membuat daftar di atas menjadi sangat panjang. Namun poinnya jelas, “Kami” pada ayat-ayat Qur’anik tersebut pasti tidak termasuk juga di dalamnya Muhammad. Kedua, Saya akan memperlihatkan tiga saja ayat Qur’anik yang membuktikan bahwa Ketika Allah SWT menggunakan kata “Kami,” pasti juga tidak termasuk di dalamnya para malaikat (atau lebih spesifik, Jibril). Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS. 2:34). Dan Dialah Penguasa mutlak atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikatmalaikat penjaga, sehingga apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami (our angels) mencabut nyawanya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. (QS. 6:61). Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan kebenaran (untuk membawa azab) dan mereka ketika itu tidak diberikan penangguhan (QS. 15:8). Menurut ayat-ayat Qur’aink di atas, dan sekali lagi daftarnya bisa sangat panjang, kata “Kami” yang Allah SWT gunakan pasti tidak termasuk di dalamnya para malaikat (juga tidak termasuk Jibril). Ketiga, yang lebih aneh lagi adalah isi QS. 2:30-35. Dalam ayat 30-33, Allah SWT berbicara dengan kata-kata ganti orang pertama tunggal kepada Adam dan para malaikat, namun mendadak Ia berbicara kepada Adam dan para malaikat dengan menggunakan kata “Kami” (ay. 34-35). Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Dia (Allah) berfirman, “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka namanama itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!” (QS. 2:30-35). Ayat-ayat Qur’anik di atas adalah bukti absolut bahwa pandangan ini tidak mencakup secara konsisten seluruh data Qur’anik. Dan karena itu, tidak benar! Dan Keempat, tolong ingatkan saya akan definisi shirk (dosa terbesar dan tak terampuni dalam Islam), sebab kelihatannya Muslims berargumentasi sambil mengidap pikun level turbo. Shirk

6 berarti mengasosiasikan sesuatu atau seseorang sebagai partner bagi Allah SWT. Jika pandangan ini benar,5 maka secara implikasi, Muslims baru saja menyatakan bahwa Allah SWT telah melakukan shirk, dosa tak terampuni yang layak untuk membuat-Nya dibakar di dalam neraka. Saya kira akan banyak orang yang setuju dengan implikasi ini! Sampai di sini, pertanyaan saya tetap stand dan belum terjawab: Jika Tauhid benar bahwa tidak ada pluralitas sama sekali dalam diri Allah SWT, lalu mengapa Allah SWT menggunakan “Kami”? 2. Jamak Kemuliaan (Plural of Majesty) Ibn Taymiyyah yang pandangannya sudah dikutip sebelumnya, juga mempertimbangkan sebuah alternatif lain, yaitu pandangan “Jamak Kemuliaan” (Plural of Majesty atau Plural of Respect). Allaah, may He be glorified and exalted, sometimes refers to Himself in the singular, by name or by use of a pronoun, and sometimes by use of the plural, as in the phrase (interpretation of the meaning): ‘Verily, We have given you a manifest victory’ [al-Fath 48:1], and other similar phrases. But Allaah never refers to Himself by use of the dual, because the plural refers to the respect that He deserves, and may refer to His names and attributes, whereas the dual refers to a specific number (and nothing else), and He is far above that. Sheikh Karamali yang juga sudah saya kutip sebelumnya, menyatakan: When He uses nahnu [“We”] to refer to Himself, nahnu is the royal we, and connotes majesty. Someone steeped in the Quranic language will feel humbled before the divine majesty when reciting such verses. This humbleness is the essence of worship, which defines the relationship between servant and Master. Verses that speak of resurrection and judgment, for example, have a powerful aura of divine majesty. Pandangan ini biasanya mengambil contoh dari seorang raja atau seorang ratu yang berbicara mengenai dirinya sendiri dalam kata ganti orang pertama jamak (Royal We). Keberatan-keberatan Ada beberapa problem yang sangat serius untuk pandangan ini. Pertama, di dalam Qur’an dan Sunnah tidak satu kalipun Allah dan Muhammad berupaya menjelaskan penggunaan “Kami” tersebut secara demikian. Meskipun problem ini pernah dimunculkan kepada Muhammad sendiri seperti yang akan saya bahas nanti. Mengapa kita expect ada penjelasan itu dari Allah SWT dan Muhammad? Jawaban untuk pertanyaan ini mengantar kita kepada poin berikutnya. Kedua, dalam literatur-literatur berbahasa Arabik sebelum maupun yang sejaman dengan Muhammad, penggunaan “Kami” sebagai idiom kemuliaan (Plural of Majesty) sama sekali tidak dikenal. Hal ini diakui oleh seorang sarjana Muslim, M.A.S. Abdel Haleem: It should be pointed out that in pre-Islamic literature, and during the time of the revelation of the Qur'an, pronouns do not appear to have been used as indicative of status; they did not change with social status, and the plural of majesty, in particular, does not appear to have been used by, or for addressing or referring to, kings or chiefs. The Prophet and his early 5

Bahkan ada Muslims di kolom komentar sebuah video tanggapan terhadap pertanyaan saya bahwa “Kami” dalam Qur’an mencakup juga manusia. Misalnya, dalam hal penciptaan, laki-laki juga ikut terlibat karena melakukan prokreasi.

7 successors did not use it for themselves nor in their letters to address kings or governors. It was clearly in the Qur'an that such usage was introduced, as has been shown, on the basis of a highly sophisticated application of the concept of plurality. 6 Jadi, seperti yang diakui oleh Haleem, penggunaan “Kami” dalam kategori Plural of Majesty adalah sesuatu yang sepenuhnya asing dalam literasi dan kultur Arabik sebelum dan pada masa hidup Muhammad. Meski demikian, Haleem berpandangan bahwa penggunaan Plural of Majesty itu pertama kali diperkenalkan di dalam Qur’an. Jika pertama kali diperkenalkan dalam Qur’an, dan itu berarti audiens original dari Qur’an belum aware akan maksud tersebut, mengapa Allah SWT dan Muhammad sama sekali tid...


Similar Free PDFs