MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN BADAN OTORITA PARIWISATA WAKATOBI 1 Oleh PDF

Title MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN BADAN OTORITA PARIWISATA WAKATOBI 1 Oleh
Author Sumiman Udu
Pages 14
File Size 256.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 149
Total Views 306

Summary

MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN BADAN OTORITA PARIWISATA WAKATOBI1 Oleh: Sumiman Udu2 Abstrak Wakatobi merupakan salah satu destinasi unggulan Indonesia. Saat ini sedang dikembangan kelembagaannya menjadi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Namun di sisi yang lain, pengembangan pariw...


Description

MODAL BUDAYA DAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN BADAN OTORITA PARIWISATA WAKATOBI1 Oleh: Sumiman Udu2 Abstrak Wakatobi merupakan salah satu destinasi unggulan Indonesia. Saat ini sedang dikembangan kelembagaannya menjadi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Namun di sisi yang lain, pengembangan pariwisata Wakatobi masih terkendala dengan kurangnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Wakatobi hendaknya di tunjang oleh Modal budaya dan modal sosial sehingga partisipasi publik dapat menjadi kekuatan pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan etnografi sehingga dapat memahami cara pandang masyarakat, pemerintah dan para pihak dalam pengembangan Badan Otorita pariwisata Wakatobi. Pendekatan ini akan dikombinasikan dengan teori Pierre Bordieau untuk melihat bagaimana peran modal budaya dan modal sosial dalam pengembangan masyarakat di kawasan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pengembangan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Wakatobi harus melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Untuk itu, keterlibatan masyarakat dalam industry pariwisata Wakatobi hendaknya ditunjang oleh modal budaya dan modal sosial sebagai kekuatan cultural mereka. Oleh karena itu, tuiyang dibingkai dalam konsep pobhinci-bhonciki kuli yang kemudian diimplementasikan dalam (a) pomeamaeka (saling menakutkan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai. Dengan modal budaya dan modal sosial tersebut, diharapkan partisipasi publik dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dapat lebih maksimal. Kata kunci: Modal budaya, Modal sosial, Badan Otorita, Pariwisata, Wakatobi

1

Disampaikan dalam Konferensi Internasional Bahasa, Sastra dan Budaya Daerah Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17-19 September 2017 2 Dosen FKIP Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, HP. 081245935975, email: [email protected]

1

A. Pengantar Wakatobi merupakan salah satu destinasi unggulan Indonesia3. Saat ini sedang dikembangan kelembagaannya menjadi Badan Otorita Pariwisata Wakatobi untuk mendukung pembangunan infrastruktur pariwisata. Namun di sisi yang lain, pengembangan pariwisata Wakatobi masih terkendala dengan kurangnya partisipasi masyarakat khususnya masyarakat yang ada di desa-desa. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata Wakatobi hendaknya ditunjang oleh modal budaya dan modal sosial sehingga partisipasi publik dapat menjadi bagian dari pariwisata di bawah koordinasi Badan Otorita Pariwisata (BOP) Wakatobi. Setelah Wakatobi salah satu dari sepuluh destinasi Bali baru, maka pemerintah pusat mendorong Badan Otorita Pariwisata yang berada di bawah koodinasi Menteri Koordinator Kemaritiman untuk mendukung pengembangan infrastuktur di Wakatobi. Berbagai langkah telah dilakukan, namun masalah tetap muncul terutama ketika panitia melakukan langkah-langkah persiapan lahan untuk Badan Otorita Pariwisata dengan memberikan zona hampir seluruh wilayah padangkuku4 di pulau Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia yang notabene adalah milik masyarakat adat. Isu itupun merebak di tengah masyarakat Wakatobi. Tentunya, banyak pertimbangkan yang perlu dilakukan oleh pihak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat di satu sisi, dan pihak masyarakat (Lembaga Adat) yang ada di beberapa wilayah kadhia5 dan kawati6 di Wakatobi di pihak yang lain. Ini disebabkan karena adanya masalah tanah adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat adat Wakatobi (Udu, 2012. 877), sementara pemerintah daerah ingin memanfaatkan tanah tersebut sebagai lahan yang akan dikelola oleh Badan Otorita Pariwisata. Sementara Badan Otorita Pariwisata akan memberikan kepada investor untuk mengolah tanah tersebut. Di sini letak kekhawatiran masyarakat adat khususnya kadhia Wanse. Namun, masalah muncul kemudian setelah Badan Otorita Pariwisata Wakatobi membutuhkan tanah yang cukup luas. Dimana pemerintah daerah mengkapling hampir seluruh tanah adat yang berbentuk padangkuku7 (padang alang-alang). Masyarakat adat melakukan rapat darurat, sementara politik 3

http://travel.kompas.com/read/2016/04/04/080300227/Pembentukan.Badan.Otorita.Pariwisat a.Wakatobi.Dipercepat diakses pada tanggal 29 Agust 2017 4 Padangkuku merupakan wilayah tanah adat yang pengelolaannya tidak dapat dimiliki tetapi siapapun berhak untuk mengolah, termasuk pendatang (Udu, 2012: 880) 5 Kadhia merupakan salah satu wilayah otonom setingkat desa di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton (Arafah, 2015: 49). 6 Kawati merupakan salah satu wilayah otonom yang setingkat desa, tetapi tidak sebesar desa yang ada di dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton. 7 Padangkuku merupakan tanah desa yang merupakan lumbung tanah bagi para pendatang atau masyarakat lokal yang tidak mempunyai tanah (Arafah, 2015: 70).

2

Wakatobi yang masih memanas pasca Pemilihan Kepala Daerah tahun 2015 silam. Berbagai kepentingan masuk dalam urusan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi akhirnya bermuara pada demosntrasi penolakan yang dimotori oleh tim bupati penang pilkada. Namun, belakangan pemerintah kabupaten Wakatobi kembali memikirkan untuk menerima program pemerintah pusat untuk menerima Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. Di sisi yang lain, melalui hasil rapat Sara Wanse dan kepala-kepala desa sekecamatan Wangi-Wangi menyepakati untuk tidak menghibahkan tanah adat ke Badan Otorita Pariwisata, melainkan menawarkan kontrak dengan beberapa persyaratan lainnya. Beberapa syarat yang diinginkan oleh masyarakat adat kadhia Wanse adalah (1) Badan Otorita Pariwisata harus mengontrak tanah yang ada di wilayah kadhia Wanse, (2) Badan Otorita Pariwisata harus membina desa-desa wisata yang ada di kadhia Wanse, (3) Badan Otorita Pariwisata harus memberdayakan masyarakat lokal, baik sebagai tenaga kerja, maupun sebagai pemasok bahan baku yang ada di kawasan, (4) Badan Otorita Pariwisata harus memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat yang ada di kadhia Wanse untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia. Ini dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa tanah adat bukan milik generasi yang telah lewat dan hari ini, tetapi tanah adat merupakan titipan generasi yang akan datang. Oleh karena itu, bagi masyarakat kadhia Wanse tanah adat merupakan modal kultural dan modal sosial yang harus tetap dirawat untuk generasi kadhia Wanse di masa yang akan datang. Di sisi yang lain, soft structure dari pembangunan adalah nilai-nilai budaya dan nilai sosial yang mendasari sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Di sini, Badan Otorita Pariwisata Wakatobi berhadapan dengan suatu kenyataan bahwa masyarakat Wakatobi mengalami masalah budaya, terutama adanya pergeseran cara pandang masyarakat yang melihat tanah adat sebagai properti komunal yang harus dijaga dan dilindungi (lihat, Arafah, 2015: 70) yang harus dialihkan kepada kepemilikan individu. Di sana dijelaskan bahwa baik motika maupun padangkuku tidak dapat dibagi atau diperjualbelikan oleh masyarakat setempat, karena itu adalah titipan generasi massa depan yang harus dirawat dan dilestarikan. Kalau kita merujuk pada pemikiran Pierre Bourdieu tentang modal yang harus dimiliki oleh masyarakat modern, maka ia mengatakana bahwa ada empat modal yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat, yaitu : (1) modal budaya, (2) Modal sosial, (3) Modal simbolik dan (4) modal finansial. Dari empat modal itu, modal budaya dan modal sosial merupakan dua modal yang dapat menjadi landasan dalam pembangunan masyarakat8. Ia mengatakan bahwa konsep habitus dipakai untuk 8

http://kbm.pasca.ugm.ac.id/index.php/2016/02/26/habitus-kapital-arena-pierre-bourdieu/ diakses pada tanggal 18 Jun. 17

3

membongkar mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan -yang selama ini diamati melulu dari akibat-akibat di luar individu.Sementara konsep kapital (modal atau sumber daya), kepemilikan atau komposisinya, kerap dipakai untuk menguasai atau mendominasi suatu masyarakat9. Bourdieu mengatakan bahwa modal kultural bertindak sebagai bagian penting dari hubungan sosial, terutama dalam konteks hubungan timbal balik. Ia menambahkan bahwa modal budaya berhubungan dengan semua hal termasuk pada hal-hal yang sifatnya simbolik (bdk. Harker, 1990: 13) dan modal budaya bertindak sebagai hubungan sosial dalam sistem pertukaran yang termasuk pengetahuan budaya yang memberikan kuasa dan status (Udu, dkk. 2017: 4). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa modal budaya merujuk kepada aset bukan fiskal yang melibatkan ilmu pendidikan, sosial dan intelektual yang diberikan kepada anak-anak yang tumbuh dan besar di dalam keluarga intelektual modern. Bagi dia, budaya kelas dominan adalah budaya yang disebarkan dan diberi melalui dunia pendidikan, karena budaya ini akan memberikan pengaruh pada kesuksesan seseorang baik dalam bidang akademik, maupun dalam bidang sosial ekonomi. Bourdieu (1973:80) mengatakan bahwa: “By doing away with giving explicitly to everyone what it implicitly demands of everyone, the educational system demands of everyone alike that they have what it does not give. This consists mainly of linguistic and cultural competence and that relationship of familiarity with culture which can only be produced by family upbringing when it transmits the dominant culture.” Menurut Bourdieu, budaya yang dimiliki oleh mereka yang memiliki kuasa akan berfungsi sebagai budaya yang sah yang dapat menguasai berbagai perbedaan kultur yang berbeda di dalam suatu kebudayaan. Mereka yang didik dengan kebudayaan yang luhur sejak masih kecil, mempunyai kemungkinan untuk dapat sukses dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, modal budaya adalah berbentuk simbolik tidak seperti modal ekonomi yang berbentuk material (finansial). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan adalah modal budaya. Modal budaya mentakrifkan bagaimana manusia melibatkan diri antara satu sama lain dan sumber-sumber ekonomi. Ada budaya organisasi yang baik atau buruk, modal budaya dicipta apabila nilai, tradisi, kepercayaan dan bahasa menjadi mata uang yang dapat memanfaatkan modal lain. Modal budaya mempunyai tiga sub-jenis yaitu “embodied”, “objectified” and “institutionalized” (Bourdieu, 1986: 47). Modal budaya “embodied” modal yang didapatkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, misalnya bahasa. Modal bahasa dapat 9

http://kbm.pasca.ugm.ac.id/index.php/2016/02/26/habitus-kapital-arena-pierre-bourdieu/ di akses pada 29 Agustus 2017

4

dijelaskan sebagai satu kemampuan untuk menguasai bahasa atau yang berkaitan dengan bahasa (Bourdieu, 1990: 114). Modal bahasa dianggap sebagai satu bentuk modal budaya ‘embodied’ kerana kemampuan berkomunikasi dibangun oleh budaya dan lingkungan sekitar seseorang. Sedangkan modal budaya “objectified” merupakan modal yang bersifat benda, seperti hasil-hasil karya teknologi dan karya-karya seni. Benda-benda budaya ini dapat diperjualbelikan secara ekonomi. Selanjutnya modal budaya “institutionalized” merupakan modal yang disyaratkan oleh suatu lembaga, dimana modal budaya yang paling diperhatikan adalah pendidikan yang dihasilkan dari dunia akademik. Konsep ini memainkan peranan yang paling penting dalam pasar tenaga kerja, karena modal akademik ini dapat memenuhi ukuran kualitatif dan kuantitatif. Modal ini sangat penting dalam upaya penguatan kelembagaan, karena modal ini dapat memiliki hubungan yang erat dengan kemampuan untuk mendapatkan modal ekonomi. Menurut kerangka kerja Bourdieu, kunci kesuksesan suatu terletak dari modal sosial yang dimilikinya, mereka yang berasal dari lingkungan kerja yang disiplin akan menghasilkan tenaga kerja yang juga disiplin. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan etnografi sehingga dapat memahami cara pandang masyarakat, pemerintah dan para pihak dalam pengembangan Badan Otorita pariwisata Wakatobi. Pendekatan etnografi merupakan suatu pendekatan dalam kajian-kajian sosial yang berupaya untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 1997: 3). Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Malinowski (1922: 52) yang mengatakan bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupannya, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (Udu, 2012: 878). Pendekatan ini akan dikombinasikan dengan teori Pierre Bordieau untuk melihat bagaimana peran modal budaya dan modal sosial dalam pengembangan masyarakat di kawasan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi. B. Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi Hasil penelitian ini menunjukan bahwa modal budaya dan modal sosial yang dibutuhkan dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata (BOP) Wakatobi harus melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Untuk itu, keterlibatan masyarakat dalam industry pariwisata Wakatobi hendaknya ditunjang oleh modal budaya dan modal sosial sebagai kekuatan cultural mereka. Oleh karena itu, modal budaya yang dapat kita temukan dalam masyarakat Wakatobi adalah modal budaya seperti sistem nilai, kelembagaan adat, hingga berbagai properti seperti tanah dan lain sebagainya. Kalau kita merujuk lebih jauh, masyarakat Wakatobi memiliki bahasa tersendiri sebagai modal budaya mereka, sebagai sesuatu yang unik. Namun, 5

untuk menghadapi perkembangan pariwisata Wakatobi khususnya setelah masuknya Badan Otorita Pariwisata, maka bahasa Wakatobi, Indonesia dan Inggiris sudah harus dikuasi sebagai modal budaya masyarakat Wakatobi. Selanjutnya, nilai-nilai budaya yang selama ini dimiliki oleh masyarakat Wakatobi merupakan modal budaya yang terus menerus harus dikembangkan. Sebagai contoh, modal budaya yang perlu dikebangkan dalam konteks Badan Otorita Pariwisata Wakatobi adalah konsep tradisi kangkilo (kesucian) yang meliputi : (a) kangkilo awal, (b) kangkilo akhiri harus kembali dihidupkan sebagai modal budaya dalam pembentukan integritas individu yang kemudian dapat menunjang pengembangan integritas sosial yang dibingkai dalam konsep pobhincibhonciki kuli yang kemudian diimplementasikan dalam (a) pomaamaeka (saling segan), (b) popia-piaraka (saling memelihara), (c) pomamasiaka (saling mengasihi), dan (d) poangka-angkataka (saling menghargai (bdk, Udu, 2016: 888). Dengan modal budaya dan modal sosial tersebut, diharapkan partisipasi publik dalam pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi dapat lebih maksimal. C. Modal Budaya dalam Pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi Pengembangan pariwisata Wakatobi hendaknya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena hanya dengan mengangkat isu pariwisata masyarakat Wakatobi dapat terlepas dari kemiskinan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Oka A. Yoeti (2008: 14-15) yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan salah satu alternatif pembangunan ekonomi masyarakat. Karena pariwisata mampu menggalakkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Bahkan Prof. Subroto mengatakan bahwa “Pariwisata merupakan suatu sektor ekonomi yang mampu mengentaskan kemiskinan pada suatu daerah. Dan Pembangunan pariwisata yang dapat mengentaskan kemiskinan adalah pembangunan pariwisata yang mempunyai trickle down effect bagi masyarakat setempat (Republika, 15/9/1993 dalam Yoeti, 2008: 15). Pengembangan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi harus ditunjang oleh modal budaya yang kuat. Modal budaya tersebut, seperti tetap aktifnya lembaga adat sebagai lembaga yang mengelola tata nilai, maupun lembaga adat yang memiliki atau mengelola aset-aset adat berupa tanah, nilai-nilai budaya, tradisi, kesenian, pola hidup. Semua itu harus dihidupkan kembali. Karena tanpa modal budaya yang kuat, akan melahirkan suatu kesenjangan yang besar antara perilaku masyarakat yang sudah tidak peduli dengan kepemilikan masyarakat adat yang selama ini telah mewariwisi masyarakat Wakatobi dengan tanah dan sistem adat yang mengelola tanah-tanah tersebut. Melalui kelembagaan adat yang kuat, nenek moyang masyarakat Wakatobi telah menitipkan tanah adat untuk generasinya di masa yang akan datang. 6

Perjalanan Badan Otorita Pariwisata Wakatobi yang berbenturan dengan masalah pengelolaan tanah yang merupakan modal budaya masyarakat Wakatobi sampai kini masih terus bekerja untuk mendapatkan tanah di Wakatobi. Namun, setelah berjalan hampir dua tahun, Badan Otorita Pariwisata Wakatobi sudah mengalami perubahan skema peralihan lahan, karena pihak Badan Otorita Pariwisata tidak berpikir untuk melakukan kontrak terhadap tanah-tanah adat, melainkan menugaskan orang-orang untuk membeli tanah-tanah tersebut dari orang perorang yang tidak peduli dengan tanah-tanah adat tersebut. Bahkan di daerah Matahora, tanah-tanah adat tersebut sudah diperjualbelikan oleh masyarakat setempat10. Pada hal, selama ini fungsi tanah adat tersebut berfungsi sebagai tanah komunal tempat mereka menanam ubi kayu dan jagung. Pergeseran makna tanah yang ada di dalam masyarakat Wakatobi telah menggeser nilai-nilai budaya mereka yang selama ini menjaga prinsip bhara dhi pobhela-bhela akone na togo (jangan kalian buatkan kongsi-kongsi atau persekongkolan jahat kampung ini). Konsep budaya tersebut sudah terbukti mampu menjaga nilai-nilai budaya, baik yang melekat pada properti seperti tanah, maupun nilai-nilai budaya yang melakat pada sistem hidup, bagi mereka tanah adalah harga diri (Udu, 2012: 880). Perkembangan masyarakat Wakatobi yang disebabkan oleh banyak faktor, telah membentuk masyartakat hedonis yang hanya memandang segala sesuatunya dari segi uang. Beberapa nilai budaya sudah mulai tergeser oleh nilai-nilai materialisme, hingga mereka mampu menggeser konsep mereka tentang tanah. Ini disebabkan oleh semakin melemahnya nilai-nilai dasar dari kebudayaan Wakatobi Buton. Beberapa nilai dasar tersebut, selama ini sudah menjadi modal kultural masyarakat Wakatobi di dalam berbagai ranah kehidupan mereka. Bahkan setelah mereka menjual tanah mereka sebagai modal budaya mereka, masyarakat Wakatobi akhirnya menjadi pekerja pemecah batu pada tanah-tanah yang mereka sudah jual (Udu, 2012: 879). Pergeseran makna tanah, dari tanah sara11 atau komunal yang harus dilindungi, berubah kepada tanah pribadi yang dapat dijual, merupakan bukti dari melunturnya nilai-nilai kangkilo sekaligus modal budaya dan modal sosial yang melekat pada seseorang dan sara. Pada zaman dahulu, masyarakat Wakatobi akan tetap berpegang teguh pada pemikiran bahwa lebih baik kita mati karena kelaparan dari pada kita makan makanan yang bukan hak kita. Prinsip ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai kangkilo yang selama ini telah menjadi modal budaya masyarakat Wakatobi. 10

La Rumadi mengatakan bahwa dalam setiap hari, rata-rata lima sampai enam orang yang datang mencari tanah di sekitar bandara Matahora (Udu, 2012: 881). 11 Sara merupakan lembaga pemerintah adat yang ada dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton (Udu, 2012: 877)

7

Kalau merujuk kepada konsep kangkilo yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatobi, maka kita menemukan bahwa kangkilo merupakan konsep yang menjadi modal budaya dalam pembangunan masyartakat Buton. Kalau kita merujuk pada konsep kangkilo, maka kita menemukan konsep untuk dapat dijadikan sebagai suprastruktur pembangunan kebudayaan Wakatobi Buton, terutama dalam hubungannya dengan pengelolaan tanah. Melalui dua jenis kangkilo yaitu (a) kangkilo awal, (b) kangkilo akhiri sebagai modal budaya dan modal sosial masyarakat Wakatobi dapat bersaing dengan siapa pun, termasuk ketika mereka memasuki Badan Otorita Pariwisata pariwisata Wakatobi. Karena modal budaya tersebut akan menghidupkan integritas individu dan integritas sosial yang baik. Melemahnya nilai-nilai kangkilo dalam masyarakat Wakatobi telah berdampak pada adanya keinginan beberapa orang untuk menjual tanah adat ke para cukong yang mencari tanah untuk kepentingan Badan Otorita Pariwisata. Mereka sudah tidak takut lagi untuk mengotori dirinya, anak-anaknya dengan uang haram yaitu harga tanah adat yang terlebih dahulu diklaimnya. Mereka sudah tidak peduli dengan masa depan generasinya, yang mereka pentingkan adalah hawa nafsu mereka dari pada mereka berjuang untuk tetap berpihak kepada kebenaran sesuai dengan nilai-nilai kangkilo yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatob...


Similar Free PDFs