PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN PDF

Title PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN
Author Rensi Tamara
Pages 11
File Size 1.2 MB
File Type PDF
Total Downloads 257
Total Views 365

Summary

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN Didi Ardi Suriadikarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 ABSTRAK Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40 juta h...


Description

Accelerat ing t he world's research.

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN rensi tamara

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Buku Panduan Pert anian di Lahan Gambut .pdf Sarwant o Sarwant o LAPORAN KUNJUNGAN KEPEMULUTAN Ade Irma Winsih T UGAS MAKALAH MATA KULIAH PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN (T SL60B) Disusun Oleh: GILANG … Gilang Sukma Put ra

PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM UNTUK USAHA PERTANIAN Didi Ardi Suriadikarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

ABSTRAK Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40 juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6,70 juta ha. Lahan sulfat masam dapat diklasifikasikan menurut letak dan posisi bahan sulfidik di dalam pedon tanah. Kunci keberhasilan usaha pertanian di lahan pasang surut atau rawa adalah pengelolaan tanah dan air baik tingkat makro maupun mikro. Tata air makro meliputi pengaturan tata air pada saluran primer, sekunder dan tersier, sedangkan tata air mikro adalah pengelolaan tata air di lahan petani mulai dari saluran tersier, kuarter hingga ke lahan petani. Pengaturan tata air mikro bertujuan untuk mencuci lahan dari unsur yang beracun seperti Fe, Al, dan SO4. Pengelolaan tata air ini berkaitan dengan tipologi lahan dan tipe luapan. Lahan sulfat masam sesuai untuk sawah tergenang karena dengan penggenangan bahan sulfidik atau pirit akan stabil. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A atau B sesuai untuk sawah dengan sistem aliran satu arah, dan bila tipe luapannya C atau D maka saluran air perlu ditabat. Ameliorasi dan pengapuran diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Bahan amelioran yang diperlukan adalah kaptan dengan takaran untuk tanah sulfat masam potensial 2 t/ha, sedangkan untuk tanah sulfat masam aktual 4−8 t/ha bergantung pada kadar pirit dalam tanah. Semakin tinggi kadar pirit maka kebutuhan kapur untuk meningkatkan pH tanah semakin tinggi pula. Rock Phospate (RP) dapat digunakan pada tanah sulfat masam sebagai pengganti pupuk SP-36 dengan takaran 200 kg RP/ha setara dengan 125 kg SP-36/ha. Pupuk kalium umumnya cukup diberikan 100 kg KCl/ha. Pada lahan sulfat masam yang tersedia sumber air tawar dapat digunakan untuk tambak udang atau bandeng. Kata kunci: Tanah sulfat masam, pengelolaan lahan, pembangunan pertanian

ABSTRACT Management of acid sulphate soil for agricultural development The development of swampland in Indonesia is relatively slow due to low production of food crops caused by high input of agriculture materials. The area of swampland in Indonesia is about 33.40 million ha, and consists of 20 million ha of tidal land and 13.40 million ha of nontidal land. The acid sulphate soil is a part of tidal land and occupied about 6.70 million ha, and it is associated with peat soil and salin soil. Soil and water management is the success key to reclaim swampland for agricultural development. Soil and water management aimed to leach out toxic materials from the land like iron, aluminum, and sulphate. The design of water management on farming land is correlated with soil type and neap tide. If the soil type is actual acid sulphate soil and the type of neap tide is A, the design of soil and water management should be the one for lowland rice since in anaerobic condition pyrite will be stable. Soil ameliorant such as lime is required to increase soil pH and acid sulphate soil productivity. The general rate of lime for potential acid sulphate soil is about 2 t/ha, while for actual acid sulphate soil is 4–8 t/ha depends on the pyrite content of the soil. Furthermore, rock phosphate (RP) can replace SP-36 use; 200 kg RP/ha is required to replace 125 kg SP-36/ha. The use of adapted rice variety on acid sulphate soil is recommended to obtain high yield. Fisheries can also be done on acid sulphate soil if the surrounding areas have a source of fresh water. Keywords: Acid sulphate soil, soil management, agricultural development

L

ahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), luas lahan rawa Indonesia sekitar 33,40 juta ha, yang terdiri atas rawa pasang surut 20 juta ha dan rawa lebak 13,40 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program

36

transmigrasi yang dimulai tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis untuk mengimbangi penciutan lahan produktif di Jawa akibat alih fungsi ke sektor nonpertanian, seperti perumahan dan industri. Menurut Suriadikarta et al. (1999), lahan rawa yang telah dibuka mencapai 2,40 juta ha, yaitu 1,50

juta ha di Kalimantan dan 0,90 ha di Sumatera. Lahan rawa di Papua sampai saat ini belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa dapat menjadi lahan pertanian yang produktif, Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi 1995a; 1995b). Pengembangan lahan rawa yang dimulai dengan P4S tahun 1970-an dan dilanjutkan dengan proyek Swamp I, Swamp II, kerja sama dengan Belanda (LAWOO) tahun 1980-an, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun 1990-an, telah menghasilkan berbagai teknologi pengelolaan lahan (Suriadikarta dan Abdurachman 1999). Teknologi itu antara lain adalah pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, pengendalian hama dan penyakit, dan model usaha tani. Namun, umumnya teknologi tersebut tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan karena adanya berbagai kendala, seperti modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang kurang berkembang, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro. Berbagai kegagalan dan keberhasilan telah mewarnai kegiatan pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor misalnya, yaitu lahan yang ditinggalkan petani karena telah mengalami oksidasi pirit sehingga produksinya sangat rendah, merupakan akibat dari reklamasi yang kurang tepat. Kegagalan ini dapat menjadi pelajaran dalam pengembangan lahan sulfat masam di masa yang akan datang. Potensi lahan rawa yang demikian besar dapat dimanfaatkan untuk menunjang pogram peningkatan ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian (Departemen Pertanian 1999), lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun lebak dapat menjadi basis pengembangan ketahanan pangan untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Oleh karena itu, investasi pemerintah dan swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogianya dapat lebih ditingkatkan.

tidak dapat digunakan untuk pertanian. Tanah sulfat masam mempunyai pH rendah, kandungan yang bersifat toksis H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan hara-hara lainnya (Andriesse dan Sukardi 1990). Reaksi oksidasi pirit menurut Boyd (1982) adalah sebagai berikut: 1) FeS2 + H2O + 3,5 O2 → FeSO4 + H2SO4 2) 2 FeSO4 + ½ O2 + H2SO4 → Fe2(SO4)3 + H2O 3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O → 15 FeSO4 + 8 H2SO4 Produksi ferri sulfat dari ferro sulfat sangat besar karena proses pembentukannya dipercepat oleh aktivitas bakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2), dan pada kondisi yang masam reaksi pirit dengan ferri sulfat (No. 3) berlangsung sangat cepat. Ferri sulfat juga dapat terhidrolisis sehingga menambah kemasaman seperti diperlihatkan reaksi berikut: Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4 Asam sulfat akan melarutkan sejumlah besar logam-logam berat antara lain Al, Mn, Zn, dan Cu. Dengan demikian aliran permukaan (run off) atau air rembesan (sepage) dari galian tanah berpirit mencapai kemasaman sangat tinggi dan berisi ion-ion yang berpotensi sebagai racun. Menurut Widjaja-Adhi (1986), di dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak membahayakan karena stabil, tetapi bila lumpur itu mengering, potensi redok (Eh) meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Pirit diubah menjadi asam sulfat oleh bakteri Thiobacillus thiooxidans. Pada keadaan agak masam sampai netral terjadi reaksi: FeS2 + 3 H2O

Ferri hidroksida yang terjadi dicirikan oleh warna cokelat dan terlihat pada bahan galian baru dari lapisan yang mengandung pirit. Dalam keadaan masam (pH kurang dari 3), pirit berdisosiasi menjadi ion ferro dan sulfur: FeS2

SIFAT TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit yang bila terbuka ke udara akan terjadi reaksi oksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi sehingga tanah Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

→ Fe(OH)3 + S2 + 3 H

+

→ Fe2+ + S2 + 2 e

Sulfur yang dilepas dari reaksi di atas oleh bakteri T. thiooxidans diubah menjadi asam sulfat: S2 + 8 H2O

→ 2 SO42- + 16 H+ + 12 e

Ion H+ yang terbentuk cukup banyak ketika pirit terkena udara. Menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974),

penurunan pH dihalangi oleh tanah itu sendiri melalui beberapa cara, yaitu: 1) pembentukan jarosit, 2) penetralan oleh hasil disosiasi beberapa mineral hijau seperti khlorit, chamosit, dan glaukonit, 3) reaksi pertukaran dengan kation pada kompleks adsorpsi, dan 4) penetralan bahan kapur seperti kulit kering. Selanjutnya van Breemen (1976) mengemukakan bahwa Fe2+, H+, dan SO42yang dihasilkan selama oksidasi pirit biasanya mengalami berbagai reaksi lanjut di dalam tanah. Fe2+ dioksidasi menjadi Fe 3+, yang akan mengendap sebagai jarosit, goethite atau amorphous ferri oksida. Sejumlah besar sulfat dihasilkan selama pembentukan pirit, tetapi tetap tinggal dalam larutan dan hilang dari tanah melalui pencucian dan difusi ke permukaan air. Sulfat yang tersisa sebagian mengendap sebagai jarosit atau sebagai Al sulfat (AlOHSO4), dan sebagian diadsorpsi terutama oleh ferri oksida. Dalam kondisi relatif kering, gipsum (CaSO 4 .2H 2 O) akan terbentuk, sedangkan bila terjadi penguapan hebat, pada retakan permukaan terdapat sulfat yang masih dapat larut seperti sodium alum (NaAl(SO4)2.12H2O), tamarugit (Na Al(SO 4) 2.6H2O), pickeringite (MgAl 2 (SO4). 22 H2O) dan rezenite (Fe SO4 .4 H2O). Penggenangan akan mengurangi kemasaman, membuat tanah menjadi anaerob, serta memudahkan penguraian ulang bahan organik, reduksi besi (III), sulfat dan oksida lainnya oleh bakteri anaerob. 1) SO42- + 2 H+ + 2 CH2O H2O + 2 CO2 2) Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O + 1¼ H2O + ¼ CO2

H2S + 2 Fe2+

Dalam kondisi anaerob (tergenang), asam sulfat tidak terbentuk tetapi sulfat dapat direduksi lagi menjadi sulfida oleh bakteri Desulfovibrio sp., yang mungkin sementara terikat sebagai FeS. Pada tanah sulfat masam yang sangat muda yang masih di bawah pengaruh pasang surut, sulfida mungkin kembali membentuk pirit.

TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH SULFAT MASAM Pengelolaan Tanah dan Air Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di 37

1234567890 1234567890 1234567890

Flapgate (inlet)

A

Flapgate (outlet)

1234567890 1234567890 1234567890

Saluran sekunder pengeluaran

Flapgate (inlet)

123 123 123 123 123 123 123 123 123 123

Saluran tersier pemasukan

A

A s

38

Pada sistem aliran satu arah, saluran irigasi dan saluran drainase dirancang secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi, pintu klep membuka ke arah dalam sedangkan pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar sehingga pencucian lahan berlangsung efektif. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (Gambar 1), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat (disekat) dengan stoplog (Gambar 2) untuk menjaga permukaan air sesuai dengan kebutuhan

Saluran primer (jalur)

Saluran kuarter pengeluaran 123 Flapgate (outlet)123 123 123 123 123 123 123 123 123

Saluran tersier pengeluaran

A

Gambar 1. Jaringan tata air sistem saluran satu arah pada lahan pasang surut.

A

Saluran primer (jalur) Stoplog

Stoplog

Saluran cacing

Saluran keliling Saluran tersier pemasukan s

123412345 1234 123412345 12345 1234 12345 1234 123412345 12345 1234 123412345 12345 1234 12345 1234 123412345 12345 123412345 s

123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123

123456789 123456789 123456789

Saluran dangkal intensif Saluran tersier pengeluaran Stoplog

Saluran tersier pengeluaran

123 123 123 123 123 123 123 123 123

Saluran sekunder pengeluaran

Stoplog

s

1234567890 1234567890 1234567890 1234567890

s

Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2) mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi sawah, 3) mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran. Untuk memperlancar keluarmasuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun, Widjaja-Adhi (1995a) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Menurut Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan saluran cacing di dalam petakan dengan jarak 3−12 m serta di sekeliling petakan, bergantung pada kondisi lahan. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak saluran cacing tersebut. Subagyono et al. (1999) menyatakan, pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Pencucian akan berjalan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Pengelolaan air pada saluran tersier bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air pada saluran dan petakan, dan 3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro bergantung pada tipe luapan air pasang dan tingkat keracunan.

Saluran sekunder

Tata air mikro

Pada lahan sulfat masam aktual, sistem pengairannya harus ditabat dan tidak disurjan agar besi dan pirit tidak meracuni tanaman. Penataan air di lahan petani dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran bolak-balik (two-way flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al. 1999). Penerapan aliran satu arah hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.

Saluran sekunder

lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Dalam tulisan ini tata air makro tidak dibahas karena merupakan kewenangan dari Departemen Pekerjaan Umum.

A

Gambar 2.

Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D pada lahan pasang surut. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Tata air ini memerlukan pintu-pintu yang berfungsi sebagai pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). Di Karang Agung Ulu, penerapan pengelolaan tata air mikro pada lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan dapat meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman (Djayusman et al. 1995). Penerapan pengelolaan tata air dengan sistem tabat dan aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan tanah dengan traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam (50 ha), dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman padi dan palawija (ISDP 1997). Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,20 sebelum pengolahan tanah menjadi 4,80 pada saat penanaman dan 5,40 pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah 1998). Kandungan Fe++ juga menurun dari 160 ppm pada saat tanam menjadi 72 ppm pada panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha sedangkan varietas Cisanggarung 9,44 t/ha.

logi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, penataan lahan sebaiknya untuk sawah (Tabel 1), karena pirit akan lebih stabil (tidak mengalami oksidasi) dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Pada tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan dilakukan dengan sistem surjan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial, pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tanah untuk guludan diambil dari lapisan atas untuk menghindari oksidasi pirit.

Sistem surjan merupakan salah satu contoh penataan lahan rawa melalui diversifikasi tanaman. Lebar guludan dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m, sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap hektar lahan dapat dibuat 6−10 guludan dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa (Gambar 3).

Ameliorasi dan pemupukan Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah, kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta

Penataan lahan Penataan lahan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi lahan agar sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Penataan lahan perlu memperhatikan hubungan antara tipo-

Gambar 3. Penampang tanah sulfat masam aktual.

Tabel 1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang surut. Tipologi lahan Kode SMP-1 SMP-2 SMP-3/A SMA-1 SMA-2 SMA-3 HSM G-1 G-2 G-3

Pemanfaatan lahan pada tipe luapan air

Tipologi Aluvial bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam Aluvial bersulfat 1 Aluvial bersulfat 2 Aluvial bersulfat 3 Aluvial bersulfida dangkal bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam

A

B

Sawah Sawah -

Sawah Sawah (surjan) Sawah (surjan)

-

C

D Sawah (tegalan, kebun) Tegalan (kebun)

Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah

Sawah Sawah (surjan) Sawah (tegalan, kebun) Sawah (surjan) Sawah (surjan) Sawah (kebun) Sawah (tegalan)

Sawah -

Sawah (tegalan) Kebun (kebun) Kebun (kebun)

Tegalan (kebun) Kehutanan Konservasi

Sawah (tegalan, kebun) Sawah (tegalan, kebun) Tegalan (kebun) Tegalan (kebun)

SMP = sulfat masam potensial, SMA = sulfat masam aktual, HSM = histosol sulfat masam, G = gambut. Sumber: Widjaja-Adhi (1995a).

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005

39

ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa rendah (Dent 1986). Oleh karena itu, diperlukan bahan pembenah tanah (a...


Similar Free PDFs