Politik Dinasti Pada Era Otonomi PDF

Title Politik Dinasti Pada Era Otonomi
Author Diky Setiawan
Pages 39
File Size 233.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 241
Total Views 722

Summary

MAKALAH PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI POLITIK DINASTI PADA ERA OTONOMI Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi Disusun oleh : Diky Setiawan 15416241057 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ...


Description

MAKALAH PENDIDIKAN POLITIK DAN DEMOKRASI POLITIK DINASTI PADA ERA OTONOMI Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi

Disusun oleh : Diky Setiawan 15416241057

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Politik Dinasti Pada Era Otonomi dengan baik. makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Nasiwan, M.Si selaku dosen Mata Kuliah Pendidikan Politik dan Demokrasi yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat memperbaiki makalah kami kedepannya. Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca.

Yogyakarta, 31 Mei 2017

Penulis

ii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1 C. Tujuan .......................................................................................................... 1 D. Manfaat ........................................................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3 A. Otonomi Daerah ............................................................................................. 3 1. Pengertian Otonomi Daerah......................................................................... 3 2. Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah................................................ 4 3. Tujuan Otonomi Daerah .............................................................................. 5 4. Pelayanan Publik.......................................................................................... 5 B. Politik Dinasti ................................................................................................. 7 1. Pengertian Politik Dinasti ............................................................................ 7 2. Faktor-faktor Terbentuknya Politik Dinasti ................................................. 7 3. Cara Membatasi Politik Dinasti ................................................................. 10 4. Dampak Politik Dinasti.............................................................................. 10 C. Politik Dinasti Dalam Demokrasi Indonesia ................................................ 11 BAB III PENUTUP ............................................................................................. 34 A. Kesimpulan ................................................................................................ 34 B. Saran ........................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah untuk dapat mengatur daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini menimbulkan penyimpangan, yakni maraknya kasus korupsi di daerah hingga penyalahgunaan kekusaan dari kepala daerah untuk dapat menempatkan banyak anggota keluarganya dalam sistem pemerintahan atau yang lebih kita kenal sebagai politik dinasti. Politik dinasti merupakan penempatan anggota keluarga pada sistem pemerintahan oleh kepala daerah suatu wilayah yang masih aktif ataupun yang sudah non aktif. Untuk kepala daerah yang sudah non-aktif sendiri biasanya menempatkan anggota keluarga dalam sistem pemerintahan adalah untuk melanjutkan pemerintahan dari anggota keluarga lain sebelumnya. Di Indonesia sendiri sudah banyak pelaksanaan dari politik dinasti yakni politik dinasti yang terjadi di propinsi Banten yang menyangkut keluarga dari mantan gubernur Banten Ratu Atut Choisiyah dan di propinsi Sulawesi Selatan. Dari politik dinasti ini akan memiliki dampak yang sangat penting untuk dapat diberantas. Pelaksanaan politik dinasti pada era otonomi saat ini juga memunculkan berbagai kontroversi. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud Otonomi Daerah? 2. Apa yang dimaksud dengan Politik Dinasti? 3. Bagaimana dampak dari Politik Dinasti? 4. Bagaimana pelaksanaan politik dinasti pada era otonomi di Indonesia? C. Tujuan 1. Mengetahui Otonomi Daerah. 2. Mengetahui Politik Dinasti. 3. Mengetahui dampak dari Politik Dinasti. 4. Menganalisis pelaksanaan politik dinasti pada era otonomi di Indonesia. D. Manfaat 1. Bagi penulis, yaitu memperkaya pengetahuan tentang otonomi daerah dan politik dinasti di Indonesia.

1

2. Bagi masyarakat, yaitu memberi informasi mengenai pelaksanaan politik dinasti pada era otonomi daerah di Indonesia

3. Meningkatkan semangat penulis untuk terus menciptakan karya yang baik dan bermutu.

2

BAB II PEMBAHASAN A. Otonomi Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:992), otonomi adalah pola pemerintahan sendiri. Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat

setempat

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan”. Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007:30). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh (Hanif Nurcholis, 2007:29). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik

3

kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masingmasing dan mengacu kepada kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya. 2. Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (HAW. Widjaja, 2007:133). Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah (HAW. Widjaja, 2007:7-8). Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut: a. Prinsip Otonomi Luas Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. b. Prinsip Otonomi Nyata Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing. c. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab

4

Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Rozali Abdullah, 2007:5). 3. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002:46) adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Menurut Deddy S.B. & Dadang Solihin (2004:32), tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian pada intinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. 4. Pelayanan Publik Pelayanan publik merupakan aspek yang sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara

Nomor

63

Tahun

2003

tentang

Pedoman

Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik menjelaskan definisi pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan

penerima pelayanan maupun

pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Adapun implementasi pelayanan publik mendasarkan asas-asas berikut ini: 1. Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

5

2. Akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Kondisional, yaitu sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima layanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas. 4.

Partisipatif,

penyelenggaraan

yaitu

mendorong

pelayanan

publik

peran dengan

serta

masyarakat

memperhatikan

dalam aspirasi,

kebutuhan dan harapan masyarakat. 5. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. 6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pelayanan

masyarakat

adalah

pelayanan

yang

diberikan

kepada

masyarakat sebagai tugas dan kewajiban pemerintah daerah dengan penuh tanggung jawab berdasarkan peraturan yang berlaku. Menurut Fernandez (2002:2), layanan publik adalah benda dan jasa yang diserahkan selalu bersifat milik umum (common goods) yang biaya produksinya sering kali tidak efisien secara finansial, bahkan benda dan jasa yang diteransaksikan sukar diukur (intangible).

Pelayanan

publik

yang bermutu

sangat

diperlukan

untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat tercapai dengan kebijakankebijakan pemerintah yang tidak merugikan rakyat. Untuk itu pemerintah daerah harus menegakkan prinsip keadilan porposional dalam memberikan pelayanan. Ini berarti bahwa disatu sisi sumber daya yang menjadi esensi atau substansi pelayanan masyarakat itu sejauh mungkin dapat di distribusikan berdasarkan atas tingkat kemampuan dan kebutuhan publik yang dilayani, bukan lagi sekedar kebutuhan birokrasi yang memberikan pelayanan. Seperti kita ketahui, pemberian wewenang dari Pusat ke Daerah atau yang lazim disebut sebagai otonomi daerah adalah salah satu faktor pendorong mengemukanya ide pemilihan langsung Bupati/Walikota. Namun harus diakui bahwa setelah pelaksanaannya selama lebih dari dua tahun, terdapat lebih banyak permasalahan yang membutuhkan penyempurnaan perundang-undangan dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri. Dan kita tidak dapat mengatakan disini

6

bahwa seluruh permasalahan tersebut akan selesai atau diatasi dengan cara mengubah mekanisme pemilihan Bupati/Walikota dari yang tidak langsung menjadi langsung (Kastorius Sinaga, 2006:229). Undang-undang No.22 tahun 1999, tidak secara tegas dan jelas serta rinci dalam membagi kekuasaan atau kewenangan antar unit-unit pemerintah. Salah satu penyebabnya antara lain adalah karena adanya inkonsistensi antar pasal, disamping terdapatnya pasal-pasal yang multi tafsir. “Celah-celah” hukum ini dalam pelaksanaannya menimbulkan konflik dan tarik-menarik kewenangan yang jarang sekali terjadi (Tri Ratnawati, 2006:133). B. Politik Dinasti 1. Pengertian Politik Dinasti Secara harfiah, dinasti merupakan sistem reproduksi kekuasaan di era primitif karena hanya mengandalkan satu darah atau keturunan untuk menguasai kekuasaan. Secara tersirat dari pengertian harfiahnya politik dinasti sebenarnya adalah musuh dari demokrasi. Karena hakekatnya demokrasi mengandung pengertian rakyat sebagai suara mutlak dalam memilih penguasa. Artinya suara rakyat dalam dinasti politik tidak terakomodir. Dinasti politik mematikan suara rakyat dalam hal memilih pemimpin. Sementara itu Soemiarno (2010: 20) memaknai politik dinasti sebagai upaya seorang penguasa atau pemimpin baik di tingkat presiden/bupati/walikota yang telah habis masa jabatannya, untuk menempatkan keluarganya sebagai calon penggantinya atau penerus penguasa sebelumnya untuk periode berikutnya. Dengan kata lain, politik dinasti mengarah kepada suatu proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (misalnya keluarga elite) yang bertujuan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan. Politik dinasti muncul dalam dimensi yang lebih alami, berupa upaya mendorong sanak keluarga elite-elite incumbent untuk terus memegang kekuasaan di pemerintahan yang telah diwariskan oleh pendahulu mereka. 2. Faktor-faktor Terbentuknya Politik Dinasti Politik dinasti yang muncul di Indonesia menunjukkan beberapa asumsi bahwa dengan berkembangnya dinasti politik, maka kemungkinan besar, rakyat

7

hanya akan disuguhkan aktor-aktor politik yang itu-itu saja yang berasal dari satu keluarga dan tidak jarang, aktor-aktor tersebut menerapkan pola kelakuan politik yang sama mengingat berasal dari sebuah keluarga yang sama. Dinasti politik itu sendiri tidak sepenuhnya dipenuhi oleh hal-hal yang negative, ada pula dinasti politik yang positif dengan melakukan perbaikan kesalahan-kesalahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dari pada generasi dinasti politik yang sebelumnya. Clubok, Wilensky dan Berghorn dalam Pasan (2013, 16) mengemukakan bahwa politik dinasti dalam konteks politik kontemporer muncul dalam berbagai bentuk, termasuk bentuk yang lebih halus dengan cara mendorong sanak saudara keluarga elit-elit lama untuk terus memegang kekuasaan yang diturunkan ‘secara demokratis’ oleh para pendahulu mereka. Ada juga dalam bentuk politik dinasti yang disesuaikan dengan etika demokrasi modern, yakni dengan cara mempersiapkan sanak anggota keluarga mereka dalam sistem pendidikan dan rekrutment politik secara dini. Kemunculan anggota-anggota keluarga pada periode berikutnya seolah-oleh bukan diakibatkan oleh faktor darah dan keluarga, melainkan karena faktor-faktor kepolitikan yang wajar dan rasional. Bentuk lain politik dinasti muncul secara terbuka dan identik dengan otoriterisme. Politik dinasti seperti ini muncul dari suatu sistem politik modern yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga rakyat melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga penguasa lama. Politik dinasti yang demikian menunjukkan bahwa orang yang dipilih bukan karena atas dasar sukarela, tetapi secara represif. Sistem pemerintahan yang berdasar pada kuasi-otoritarian merupakan dasar munculnya politik dinasti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Rossi yang berjudul The Causes of Political Dynasties in Democratic Countries dalam Pasan (2013: 9) faktor-faktor yang menyebabkan politik dinasti antara lain adanya saluran tertentu, saluran dalam hal ini adalah keluarga. Pengenalan nama keluarga dapat membentuk politik dinasti dalam suatu lembaga pemerintahan. Dengan mengenal nama keluarga ada kecenderungan untuk membentuk sebuah dinasti keluarga pada sebuah lembaga pemerintahan. Bukti-bukti ini disajikan dalam penelitian Rossi mengenai adanya pengaruh positif variabel independen masa jabatan kekuasaan

8

politik terhadap pembentukan politik dinasti menunjukkan masa jabatan memiliki efek jangka panjang dalam terbentuknya politik dinasti. Penelitian dari Ronald Mendoza dkk dengan judul An Empirical Analysis of Philippine Political Dynasties in the 15th Philippine Congres dalam Pasan (2013: 11) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara dinasti politik dan aspek sosial ekonomi. Rata-rata, dinasti politik tersebar di usia yang berada di daerah tingkat kemiskinan yang relatif tinggi serta kesenjangan dan pendapatan rata-rata lebih rendah. Kondisi sosial ekonomi yang lebih baik memberikan peluang lebih besar terbentuknya politik dinasti. Sementara kondisi ekonomi lemah memiliki peluang lebih rendah untuk membentuk politik dinasti. Dilihat dari kondisi sosial, bahwa hubungan yang baik dengan sejumlah pejabat memberi peluang atau kesempatan untuk membentuk politik dinasti. Ernesto Dal Bo dkk melakukan penelitian dengan judul Political Dynasties yang dilakukan di Amerika Serikat dan Argentina mengenai terjadinya politik dinasti di kedua negara tersebut. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa calon pemimpin dengan periode yang lebih lama dan relatif memiliki kerabat di masa depan yang lebih banyak. Penelitian memperlihatkan secara substansial adanya perbedaan signifikan dari terbentuknya politik dinasti pada pemimpin yang hanya menjabat satu periode dengan pemimpin ya...


Similar Free PDFs