PSIKOTERAPI ISLAM: PENDEKATAN KOGNITIF DAN TINGKAH LAKU DALAM MENANGANI PENYAKIT LGBT PDF

Title PSIKOTERAPI ISLAM: PENDEKATAN KOGNITIF DAN TINGKAH LAKU DALAM MENANGANI PENYAKIT LGBT
Author Warlan Sukandar
Pages 11
File Size 161.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 204
Total Views 614

Summary

ISBN : 978-602-6377-00-5 PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016 PSIKOTERAPI ISLAM: PENDEKATAN KOGNITIF DAN TINGKAH LAKU DALAM MENANGANI PENYAKIT LGBT Warlan Sukandar, MA1 ([email protected]) Abstract Sexual deviation diseases such as LGBT (Lesbian, Gay, B...


Description

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

PSIKOTERAPI ISLAM: PENDEKATAN KOGNITIF DAN TINGKAH LAKU DALAM MENANGANI PENYAKIT LGBT Warlan Sukandar, MA1 ([email protected]) Abstract Sexual deviation diseases such as LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) is not a new disease in the history of Islam. The Muslim holy book, Qur`an has been reported that the disease had ever happened the people of Prophet Lut (pbuh). Lately, the disease of LGBT resurfaced in the world, including in Indonesia. Some of neurologist experts argue that the disease of LGBT could never be cured. However, Islam has a different concept that every disease can be cured. This article attempts to examine the Islamic psychotherapy of approach cognitive and behavior in handling the disease of LGBT. The assessment methodology that I use is content analysis to analyze the data obtained from various sources related to the study that is being done. This study is focused on the treatment of cognitive and behavior aspect in Islam. From the results of the study is found that the disease of LGBT can be cured. And this proved that many of LGBT persons who had recovered and returned to natural tendency (fitrah) through their spritual experiences. Simultaneously, it has broken the opinion of some neurologist who say that the disease of LGBT could never be cured. And this, has proved the truth of hadits of the Prophet Muhammad SAW., which states that every disease is curable. Key Word: Islamic Psychotherapy, Cognitive and Behavioral Approaches, LGBT A. Pendahuluan Persoalan penyakit LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) baru-baru ini kembali menyita perhatian masyarakat. Hal ini juga turut mendapat perhatian dari kalangan pakar, baik ilmu neurologi, medis, psikolog, dan juga termasuk di kalangan agama. Dalam perkembangannya, banyak perbedaan pandangan pakar mengenai LGBT, baik dari segi statusnya (apakah termasuk penyakit mental atau tidak), faktor penyebab, maupun dari segi bisa atau tidaknya penyakit ini disembuhkan. Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London pada tahun 1970.2 Gerakan ini terinspirasi dari gerakan pembebasan sebelumnya di Amerika Serikat pada tahun 1969 yang terjadi di Stonewall.3 Upaya-upaya yang dilakukan oleh gerakan ini adalah menyadarkan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta masyarakat banyak bahwa perilaku LGBT bukanlah perilaku penyimpangan. Hal ini memberikan hak kepada mereka untuk mendapatkan hak-hak seksual seperti orang lain. Perkembangan gerakan mengkampanyekan LGBT juga terjadi di Indonesia. Gerakan ini menuntut supaya LGBT dilegalkan. Ironisnya gerakan ini juga mendapat dukungan dari pihak akademisi dan para pegiat feminisme. Pergerakan mereka untuk melegalkan LGBT tidak hanya bergerak dalam ranah politik, namun juga sampai kepada ranah agama. Dalam ranah politik, mereka berusaha untuk meloloskan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. 1

Dosen Bimbingan dan Konseling Islam Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Adzkia

Padang 2

Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterj oleh Ninik Rochani Sjams, (Bantul: Kreasi Wacana, 2011), cet ke-2, hlm. 447. 3 Joanne Myers, Historical Dictionary of the Lesbian Liberation Movement Still the Rage, (USA: Scarecrow Press, 2003), hlm. 1.

127

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

Sedangkan dari ranah agama mereka berupaya membongkar ajaran agama yang selama ini menjadikan heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia. Dalam jurnal Justisia edisi 25, Th. XI 2004, yang dipublikasikan oleh Fakultas Syari`ah IAIN Wali Songo, seorang akademisi Muslim liberal menulis dan menyatakan dukungannya terhadap semua jenis ekspresi seksual dan mengajak semua masyarakat untuk menerima legalisasi perkawinan sejenis dan pengakuan untuk para penyimpang lainnya.4 Pergerakan inilah yang selalu berkembang dan merasuki pemikiran para ahli medis, akademisi, neurologi, maupun agama sampai sekarang. Sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat mengenai status jenis penyakit ini, faktor penyebab sampai kepada bisa atau tidaknya penyakit ini disembuhkan. Sebagian menyatakan bahwa LGBT, bukanlah penyakit sebagian yang lain menyatakan bahwa LGBT adalah bentuk penyakit penyimpangan. Sebagian menyatakan penyebab dari LGBT adalah faktor keturunan, sedangkan sebagian lain membatah bahwa LGBT bukanlah turunan. Dari aspek bisa atau tidaknya LGBT disembuhkan, sebagian dari mereka menyatakan bahwa oleh karena LGBT bukanlah gangguan, maka LGBT tidak bisa disembuhkan, namun sebagian yang lain menyatakan bahwa penyakit ini bisa disembuhkan. Jika ditilik dari sisi agama (teologi), khususnya Islam, maka jelas LGBT adalah sebuah penyakit. Suatu penyakit biasanya akan membawa efek keburukan, baik bagi pelaku LGBT sendiri maupun peradaban manusia. Penyakit ini telah pernah melanda kaum nabi Luth A.S, yang akhirnya kemudian dimusnahkan oleh Allah SWT., karena mereka menantang ajakan untuk bertobat. Oleh karena Islam melihat bahwa LGBT adalah sebuah penyakit, maka dalam Islam menyakini bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Dengan demikian, dalam konsep Islam penyakit LGBT adalah bukanlah suatu yang mustahil untuk bisa disembuhkan. Salah satu metode Islam dalam psikoterapi adalah dengan menggunakan pendekatan kognitif (akal) dan tingkahlaku (amal). Pendekatan ini populer digunakan dalam kalangan psikologis (klinis) yang dikenal dengan Cognitive Behavior Theraphy, baik yang berlandaskan sekuler maupun dengan cara mengikutsertakan agama di dalamnya. Penulis meyakini bahwa Islam memiliki konsep yang unik mengenai terapi pendekatan kognitif (akal) dan tingkah laku (amal) ini dalam menangani penyakit LGBT. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji psikoterapi dalam Islam, khusus pendekatan kognitif dan tingkah laku dalam menangani penyakit LGBT. B. Metodologi Kajian ini menggunakan metodologi analisis kandungan (content analysis). Analisis (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Fokus kajian analisis kandungan adalah pada isu-isu terkini, fenomena-fenomena pada masa tertentu yang bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dalam penyelesaian masalah dan menjelaskan persoalan sosial yang berkaitan dengan analisa yang dilakukan.5 Kaitannya dengan kajian ini adalah menganalisis psikoterapi Islam pendekatan kognitif dan tingkah laku dalam menangani penyakit LGBT. Fokus kajian adalah pada pendekatan kognitif dan tingkah laku dalam Islam. C. Hasil Kajian 1. Pikoterapi dalam Islam Secara etimologis psikoterapi mempunyai arti sederhana, yakni “psyche” yang artinya jelas, yaitu “mind” atau sederhanya: jiwa dan “Therapy” dari bahasa Yunani yang berarti “merawat” atau “mengasuh’. Sehingga Psikoterapi dalam arti sempitnya adalah “perawatan terhadap aspek kejiwaan” seseorang.6 Dalam bahasa Arab, “psyche” dapat dipadankan dengan “nafs”, yang memiliki bentuk jamaknya “anfus” atau “nufus” yang mempunyai mkana; jiwa, ruh, darah, jasad, orang, diri dan sendiri.7 Dengan demikian, psikoterapi (psychotherapy) adalah 4

Lihat Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, edisi 25, Th. XI 2004 Ahmad Sunawari Long, Metodologi Peneyelidikan Pengajian Islam (Bangi Malaysia: UKM, 2008), hlm. 26. 6 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 85-86. 7 Ahwan Warsan Munawir, Kamus Arab-Indonesia (tt, tp, tk, ), hlm. 1545. 5

128

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

pengobatan alam pikiran, atau atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Lewis R. Woberg. MO (1997) dalam bukunya yang berjudul The Technique of Psychotherapy mengatakan bahwa: “Psikoterapi adalah perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologis terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional di mana seorang ahli secara sengaja menciptakan hubungan profesional dengan pasien, yang bertujuan: (1) menghilangkan, mengubah atau menemukan gelaja-gelaja yang ada, (2) memperantarai (perbaikan) pola tingkah laku yang rusak, dan (3) mningkatkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian yang positif.8 Dalam Islam, psikoterapi memiliki makna proses penyembuhan dan pengobatan suatu penyakit, apakah mental, spritual, moral maupun fisik melalui bimbingan al-Qur`an dan as-Sunnah SAW., secara adalah melalui bimbingan dan pengajaran Allah SWT., Malaikat-malaikat-Nya, Nabi dan Rasul-Nya atau ahli waris para Nabi-Nya.9 Bentuk-bentuk psikoterapi dalam Islam Muhammad Abd al-`Aziz al-Khalidi membagi obat (syifa`) dengan dua bagian: Pertama, obat hissi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, seperti berobat dengan air, madu, buah-buahan yang disebutkan dalam al-Qur`an. Kedua, obat ma`nawi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruh dan qalbu manusia, seperti do`a-do`a dan isi kandungan dalam al-Qur`an.10 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam “Ighaatsah al-Lahfaan” lebih spesifik membagi Psikoterapi dalam dua kategori, yaitu Tabi`iyyah dan Syar`iyyah. Psikoterapi Tabi`yyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakit yang gejalanya dapat diamati dan dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, seperti penyakit kecemasan, kegelisahan, kesedihan, dan amarah. Penyembuhannya adalah dengan cara menghilangkan sebab-sebabnya. Sedangkan Psikoterapi Syar`iyyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakit yang gejalanya tidak dapat diamati dan tidak dapat dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, tetapi ia benarbenar penyakit yang berbahaya, sebab dapat merusak Qalbu seseorang, seperti penyakit yang ditimbulkan dari kebodohan, syubhat, keragu-raguan dan syahwat. Pengobatannya adalah dengan penanaman syariah yang datannya dari Tuhan (QS. al-An`am: 125).11 Muhammad Mahmud Mahmud, seorang Psikolog Muslim ternama, dalam Abdul membagi Psikoterapi Islam dalam dua kategori; Pertama, bersifat duniawi; berupa pendekatan dan teknikteknik pengobatan psikis setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata. Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan mengenai nilai-nilai moral, spritual, dan agama. Lebih lanjut Mujib & Jusuf Mudzakir menghuraikan bahwa model psikoterapi yang pertama adalah model yang lebih banyak digunakan untuk penyembuhan dan pengobatan psikoterapi yang biasa menimpah pada sistem kehidupan duniawi manusia, seperti neurasthenia, histeria, psychasthenia, schizophrenia, manic depressive psychosis, kelainan seks, paranoia, psychosomatik, dan sebagainya.12 Adapun fungsi dari psikoterapi menurut Carl Gustav Jung yaitu dapat berfungsi penyembuhan (kuratif), fungsi pencegahan ( preventif), dan fungsi pemeliharaan dan pengembangan jiwa yang sehat ( konstruktif). Dalam kajian ini fungsi psikoterapi lebih difokuskan kepada fungsi penyembuhan (kuratif), yakni fungsi penyembuhan dari penyakit LGBT dengan pendekatan kognitif (akal) dan tingkah laku (amal) dalam Islam.13 Pendekatan Kognitif dan Tingah Laku dalam Terapi 8

Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling & Psikoterapi Islam Penerapan Metode Sufistik ( Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 222. 9 Ibid, hlm. 222 10 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 209. 11 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ibid, hlm. 211. 12 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ibid, hlm. 212. 13 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ibid, hlm. 208.

129

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

Dalam bukunya tentang Keperawatan Jiwa, Yosep I (2008) menuliskan bahwa secara garis besar gejala gangguan jiwa dikelompokan menjadi empat kelompok besar, yiatu: Gangguan Kognitif (cognitive), Gangguan Kemauan (volition), Gangguan Emosi dan Afek (emotion and affect), serta Gangguan Psikomotor (psychomotor). Masing-masing kelompok gangguan dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yang sangat rumit dan kompleks. Gangguan kognitif adalah adanya masalah dalam proses mental yang dengannya seorang individu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal).14 Prinsip dasar dari terapi pendekatan kognitif (cogntive) dan tingkah laku (behavior) adalah kognitif merupakan proses yang menjembatani sesorang dalam proses belajar. Pikiran, perasaan, dan tingkah laku adalah saling berhubungan secara kausal aktivitas seprti harapan (expectation), pendapat pribadi (self statement), di mana hal tersebut merupakan hal yang penting dalam memahami dan memprediksikan psikopatologi dan perubahan terapi. Proses kognitif dapat diinterpretasikan ke dalam paradigma perilaku dan teknik kognitif yang dapat dikombinasikan dengan prosedur perlakuan. Seorang terapis Cognitive behavior Therapy (CBT) bekerja sama dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognitif yang mengganggu dan merencanakan pengalaman belajar untuk memperbaiki kognitif, perilaku, dan pola afektif.15 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Singgih D. Gunarsa (2001), bahwa terapi kognitifbehavioristik hadir berdasarkan pada tiga dasar pokok, yakni: 1. Aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku. 2. Aktivitas kognitif dapat dipantau dan diubah-ubah. 3. Perubahan perilaku yang dikehendaki dapat dilakukan melalui perubahan kognitif.16 Hubungan antara kognitif dan tingkah laku bisa saja terjadi secara hubungan timbal balik. Pola pikir (cognitive) yang salah bisa mempengaruhi perilaku seseorang, sehingga memunculkan perilaku (behavior) yang salah pula, dan sebaliknya. Perilaku (behavior) yang salah yang diperankan secara berulang-ulang juga bisa mempengaruhi pola pikir (cognitive) seseorang, sehingga akan mengarah kepada pola pikir (cognitive) yang salah pula, dan sebaliknya. Dengan demikian, pasien akan dapat berubah tingkah lakunya ke arah yang positif, jika pola pikirnya dapat ia ubah ke arah berfikir positif. Perubahan perilaku terjadi melalui proses yang melibatkan interaksi dari berbicara dalam pikiran (inner speech), struktur kognitif dan perilaku dengan sebab-akibatnya. Sedangkan proses terapi bisa di jalankan secara bersama-sama, penekanan kepada kognitif dan tingkah laku pasien. Adapun tujuan utama dari Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah sebagai berikut: 1. Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau bicara kepada diri sendiri (self-talk), dan interpretasi terhadap kejadian yang dialami. 2. Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis sering didasarkan atas kesalahan logika, maka program CBT di arahkan untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien dilatih mengenali pikirannya dan mendorong menggunakan keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur kognitif yang maladaptif. 3. Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi di dalam proses terapi.17 Menurut Meichenbaum ada tiga tahap dalam proses perubahan perilaku yang terjadi saling berkaitan, yakni:18 14

Badul Nasir & Abdul Muhith, Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori (Jakarta: Salemba Medika, 2011), hlm. 298. 15 Ibid, hlm. 299. 16 Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 228. 17 Ibid, hlm. 303. 18 Ibid, h. 229.

130

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

Tahap pertama, adalah pengamatan terhadap diri sendiri. Tahap ini di mana pasien belajar bagaimana melihat perilakunya sendiri. Dialog internal yang terjadi ditandai oleh penilaian negatif terhadap keadaannya. Kesulitan bisa saja terjadi, jika pasien tidak mau mendengarkan apa yang ada sebagai kenyataan dan mendengarkannya sendiri. Untuk menghindari hal ini, perlu melepaskan diri dari pikiran-pikiran negatif. Tahap kedua, ditandai dengan dimulainya dialog internal yang baru. Melalui hubungannya dengan terapis, pasien menyadari akan perilakunya yang malasuai dan mulai melihat kemungkinan-kemungkinan perubahan pada aspek perilakunya, baik yang kognitif maupun yang afektif. Tahap ketiga, pasien diajarkan bagaimana ia mempergunakan keterampilannya secara lebih efektif yang diperlukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pada pasien akan terjadi proses penstrukturan kembali, menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan dengan bantuan yang dibentuk oleh terapis, sedikit demi sedikit menstruktur pola kognitif yang baru yang sesuai dengan lingkungannya dan tidak menimbulkan kegoncangan atau persoalan. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Cognitive Bahavior Therapy (CBT), sangat menitik beratkan pada perubahan yang terjadi pada aspek kognitif (cognitive), dengan keyakinan akan diikuti oleh perubahan pada perlakunya. Perubahan akan semakin mudah, jika seandainya dalam diri pasien ada kesadaran untuk memperbaiki perilakunya yang malasuai (inner speech), kemudian ditopang proses terapi yang penuh kenyamanan. Oleh karena itu, pasien perlu dibekali dengan ilmu-ilmu (kognitif) mengenai tingkahlaku yang malasuai yang ia perankan sekarang, sebab dan akibat yang akan terjadi (baik bagi diri sendiri maupun bagi peradaban manusia) jika ia masih terus mempertahankan perilaku malasuai tersebut. Kemudian pasien juga perlu di dorong dengan motivasi-motivasi (keagamaan) jika seandainya ia kembali kepada fitrahnya. 2. LGBT perspektif Islam LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan empat istilah dari penyakit penyimpangan (four in one) yang disebut dalam satu istilah gangguan identitas gender (gender identity disorder). Walaupun ada juga pakar yang mengatakan bahwa LGBT bukanlah penyakit, hal itu adalah wajar, karena melihat dari sejarah pergerakan orang-orang yang pro dengan pegiat LGBT. Rata-rata jika dilihat, orang menyuarakan hal itu adalah juga pelaku LGBT yang dalam aktivitas sehari-harinya ada yang berprofesi sebagai ahli hukum (sehingga mudah menyuarakan hukum bahwa LGBT tidak salah dari HAM), ada yang berprofesi sebagai politikus (untuk menarik simpatisan dari masa kelompok LGBT dengan cara memperjuangkan nasib mereka atau bahkan politikus itu sendiri adalah pelaku LGBT), demikian juga dari kelompok akademisi, medis, psikolog maupun agama. Dahulu homoseksual di pandang sebagai dosa oleh pihak Geraja di Barat.19 Kemudian terjadilah pertentangan antara otoritas Gereja dan Raja Henry VIII. Henry VII kemudian mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk menandingi kekuasaan Paus.20 Sejak itu homoseksualpun berubah menjadi larangan hukum dan penyimpangan seksual. Kemudian gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual darai kaca mata ilmu pengetahuan, dalam hal ini adalah ilmu psikologi. Penelitian-penelitian itu bermula pada abad ke-19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiah yang sudah barang tentu ingin terlepas dari campur tangan agama. Peneliti pertama adalah seksolog pertama yang berkebangsaan Jerman (juga merupakan Gay), Karl Heinrich Ulrich (1825-1895), ia mengarahkan penelitiannya untuk melawan

19

Dasar larangan homoseksual terdapat dalam Genesis (Kejadian) 19:1-8 tentang penghacuran kaum Sodom dan Gomarah. Juga pada Leviticus (Imamat) 20:13 yang lebih eksplisit melarang kegiatan homoseksual. 20 Louis Crompton, Homosexuality and Civilization (London: The Belknap Press Of Harvard University Press, 2003), hlm. 363.

131

ISBN : 978-602-6377-00-5

PROCEEDING Bukittinggi Counseling Conference (BCC) Bukittinggi, 28-29 Mei 2016

kriminalisasi terhadap tindakan sodomi di dalam hukum Jerman. Dari tangannya, ia menghasilkan bahwa homoseksual adalah pengaruh faktor bilogis.21 Bangkitnya intelektual liberal radikal pada peralihan abad XIX ke XX di Eropa membawa angin segar bagi perkembangan pejuang LGBT. Havelock Ellis (1859-1939), seorang intele...


Similar Free PDFs