RIAU DARATAN: dari darat sampai pesisir PDF

Title RIAU DARATAN: dari darat sampai pesisir
Author Tressi A Hendraparya
Pages 405
File Size 2.8 MB
File Type PDF
Total Downloads 215
Total Views 321

Summary

1 Tressi A.Hendraparya RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir Soreram Media, Cetakan II Pekanbaru, Tahun 2016 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya 2 Judul : RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir Penulis : Tressi A.Hendraparya Penerbit : Soreram Media - Pekanbaru Gambar Cover...


Description

1

Tressi A.Hendraparya

RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir

Soreram Media, Cetakan II Pekanbaru, Tahun 2016

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

2

Judul

:

RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir

Penulis

:

Tressi A.Hendraparya

Penerbit

:

Soreram Media - Pekanbaru

Gambar Cover Sumber

: :

Peta residensi di Sumatra Tengah era Hindia. Verslag betreffende Nederlandsch (Oost) Indie van 1909.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved

Cetakan ke-2, Tahun 2016

ISBN 978-602-99968-0-7

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

3

"Mari kita Bangun Semangat kebersamaan dalam kesatuan dan persatuan untuk mencapai cita-cita besar Provinsi Riau, Tahniah Hari Jadi ke-58 Provinsi Riau, Tanah Tumpah Darah Melayu, Takkan Melayu Hilang di Bumi," Andi Rachman, Plt.Gubernur Riau, “Homeland of Melayu,” 14 Agustus 2015

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

4

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

5

Provinsi Riau (Daratan), sumber:Wikipedia;googleweblight.com

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

6

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

7

SUATU PENGANTAR Assalaamualaikum ww. Encik-encik, Tuan-tuan dan Puan-Puan, Riau saat ini, bukanlah suatu entitas politik, budaya ataupun geografis yang muncul begitu saja di tahun 1958 sebagai tahun berdirinya Provinsi Riau, melainkan suatu hasil dari pergulatan panjang kesejarahan Masyarakat Riau yang pada saat awal mulanya, terdiri dari beragam politi dan puak. Keberagaman ini, seperti terlihat di hari ini, terwadahi dalam suatu lingkup yang terus berkembang dan berpadu dalam bingkai kemelayuan Riau Daratan. Penulisan Riau Daratan, dengan sub judul Dari Darat Sampai Pesisir dimaksudkan untuk mengenangkan kembali proses panjang Ke-Riau-an tersebut, keterpaduan Riau Daratan yang telah menjadi kesepakatan umum para pendahulu Riau hingga hari ini, untuk menuju kehidupan yang lebih baik sesuai dengan martabat Melayu – Riau. Disadari, bahwa potensi konflik selalu ada pada seluruh masyarakat ataupun politi diseluruh dunia, terutama jika dikaitkan dengan kesejarahan yang difregmentasi oleh dinginnya cengkraman kuku kolonial, sehingga terkadang air tenang pun kan beriak. Namun dengan kearifan lokal dan penggalian nilai-nilai kesejarahan yang patut dijadikan keteladanan dalam berkehidupan politik, maka akan lebih menyenangkan untuk tetap berpadu dalam bingkai ke-Riau-an(Daratan); perjalanan sang waktu yang akan memberikan jawabannya. Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya pada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, kepada pihak KITLV, National Archieve, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia(ANRI), Perpustakaan Wilayah, kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau, juga Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir atas segala kemudahan yang diperoleh selama penulisan buku ini. Hormat kami kepada para tokoh masyarakat, Budayawan, Sejarahwan, cerdik pandai, alim ulama, para dosen dan guruku-tempat ku RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

8

melihat pelita tanpa ragu, kepada rekan-rekan mitra diskusi yang telah bersusah-payah meluangkan waktu berharganya, kepada Kakekku Sang Perintis Kemerdekaan; Alm.Letkol.inf.H.Idris Sutrisna dan keluarga besar, Kakekku Alm.R.Soekabat W. dan Keluarga Besar, kepada Ayahku Alm.R.H.Soekabat juga Ibuku, Hj.Tuti Suparyati,BA, Kepada Orangtua Ku H.Sardjoko,Mpd dan Keluarga Besar, kepada Kanda Ferry H.Parya, Kakakku; Frissa Hendraparya, isteriku Agustina Sri Hastuti dan anak-anak dirumah; Mutiara Cahaya Negeri; Muhammad Bintang Cahaya Negara dan Muhammad Buminata Cahaya Negara, para kerabat, rekan sejawat, teman diskusi; juga kepada berbagai pihak atas dukungannya, yang telah banyak membantu namun tidak dapat Kami sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, kepada seluruh masyarakat Riau, kepada mereka jualah buku ini didedikasikan. Wassalaamualaikum ww. Bagansiapiapi, 21 September 2015 Hamba Allah,

Tressi A Hendraparya

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

9

Kepada Ibu dan Ayahku, isteri dan anak-anak ku, Terimakasih atas Segala dukungan dalam melewati hari-hari Hingga terbit buku ini

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

10

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

11

DAFTAR ISI Hal.

Daftar Judul

1

Kata Pengantar Penulis

9

Daftar Isi

11

Pendahuluan …………………………………………………….

13

1 Rekonseptualisasi Riau ……………..………………….

23

2 Menghulu – Menghilir …………………………………….

55

3 Kondisi Ekologi dan Kultural …………………………….

103

4 Dinamika Darat - Pesisir…………………………………

141

5 Pesan Kemandirian Negeri Daratan ………………

191

6 Aneksasi Pesisir ………………………………………………

211

7 Perluasan Otoritas Hindia Di Pedalaman ………

277

8 Negeri Dalam Transisi ……………………………….

351

9 Penutup ………………………………………………………

385

Daftar Pustaka ……….………………………………………

393

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

12

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

13

PENDAHULUAN Riau Daratan, penyebutannya tidak hanya untuk memudahkan penyampaian maksud atas wilayah Provinsi Riau pada bahagian daratan Sumatra; hal ini juga berarti, bahwa Riau meliputi wilayah diluar daratan, tepatnya Kepulauan. Dua entitas yang seringkali dikatakan sebagai berbeda, dan benar-benar terpisah melalui pemekaran provinsi di tahun 2002, wilayah Kepulauan berdiri sendiri dengan menggunakan nama Provinsi Kepulauan Riau, dan Riau (Daratan), merupakan bahagian kawasan daratan timur Sumatra dengan beberapa area pulau di seberang muara sungai, sebagai yang lazim ditemui di Pantai Timur. Berbicara tentang kesejarahan dari Riau Daratan, maka tidak akan dapat diabaikan hal yang telah berlangsung di Selat Malaka, tentang kerajaan Melayu di Semenanjung, dan juga yang telah terkisah di Jantung Sumatra; pulau sebagai Bhumi-Melayu tanahnya sendiri. Kerajaan-kerajaan Melayu yang memiliki pengaruh dalam perjalanan kesejarahan Riau Daratan, tercatat tidak terlepas dari pengaruh dua peradaban tersebut, yang memberi warna pada identitas-tradisional sebagaimana terus berkembang dan bertahan hingga hari ini; bahkan, jejak kedatangan “nenek-moyang” sejak era migrasi Proto-Melayu dan DeutroMelayu,1 terlihat dalam arbitrasi keruangan yang menjadi corak khas Riau Daratan. Meskipun demikian, konsepsi ke-Riau-an dapat ditelusuri pada Kemaharajaan yang melebarkan wilayah kekuasaannya menyeberangi Selat 1

Terdapat beberapa pandangan tentang asal-usul masyarakat Asia Tenggara, seperti dari Asia Tengah ataupun India, atau juga dari daratan Yunan di China. Proto Melayu(Melayu Tua) diperkirakan bermigrasi ke Nusantara pada 2500-1500 SM, menyebar di Sulawesi dan Maluku, Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan ke Madagaskar; mereka saat ini, diantaranya dikenal sebagai Talang Mamak dipedalaman Indragiri, sementara di Kepulauan Riau dikenal sebagai Orang Laut; juga meliputi Suku Bonai dan Suku Akit. Adapun gelombang berikutnya adalah Deutro Melayu(Melayu Muda), melakukan migrasi ke Nusantara antara tahun 250-150 SM yang berasal dari Yunan menyebar di Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa; umumnya bermukim dikawasan pesisir, akan tetapi terdapat juga yang memasuki kawasan pedalaman. Selain itu, ditemukan juga bangsa Wedoid yang bermigrasi dari Srilanka yang terdesak oleh bangsa Indo-Arya pada abad ke-6 SM. Bangsa Wedoid ini, ditemui di Semenanjung sebagai Suku Senoi, di Siak sebagai Suku Sakai, Suku Mentawai di Pantai Barat Sumatra, dan di Jambi sebagai Suku Kubu. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

14

hingga dataran rendah timur Sumatra, terutama pada lima aliran sungai besar; Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Akan tetapi, kedatangan bangsa penakluk; Portugis di tahun 1511, telah merubah peta tersebut, yang juga diiringi dengan penetrasi VOC selama periode abad ke-17 sehingga negara-negara di pesisir timur lebih memilih untuk berdiri sendiri, era yang dimulai terutama sejak pendirian Siak oleh Raja Kecil tahun 1722. Sebelumnya, Raja Kecil yang mengklaim keturunan Raja Johor trah Malaka, Sultan Mahmud yang terbunuh tahun 1699, dengan dibantu Minangkabau melakukan penyerbuan ke Johor,2 mengangkat dirinya menjadi Sultan, akan tetapi, aliansi antara Sultan Sulaiman dan sekelompok Bangsawan Bugis, telah menyebabkannya meninggalkan Riau3 dan menuju Buantan-Siak. Berdirinya politi-politi di dataran rendah Timur Sumatra dengan berbasis pada eks wilayah Melaka-Johor, bagaimanapun juga “dibayangi” oleh realita darat – pesisir yang merupakan kharakter Sumatra, sebagai akibat klaim Minangkabau atas rantau di sebelah timur. Bahwa runtuhnya kerajaan Melayu Klasik Pagaruyung pada tahun 1830-an, menggeser peta politi-politi dipedalaman ranah timur, seperti rantau Kuantan, Kampar Kiri dan kanan serta Rokan. Perubahan nyata mungkin saja terlihat pada lanskap Tapung (kanan dan Kiri), yang sebelumnya berada pada tarikan kekuatan dua kutub; Johor dan Pagaruyung, menjadi benar-benar berada dibawah kekuasaan negara pesisir terutama semenjak penetrasi Belanda melalui Traktat tahun 1858 antara Siak - Belanda. Bahwa kekuasaan kolonial telah memencilkan, mereduksi kekuasaan tradisional politi-politi; seperti Siak yang pada abad ke-20 berada dalam statusnya sebagai wilayah onderafdeeling Siak, berada dibawah Afdeeling Bengkalis; kekuasaan yang dilucuti, tanpa kepemilikan militer yang memadai sebagai kekuatan utama diawal pendiriannya. Politik aneksasi yang dilancarkan, menggerogoti kekuasaan dan juga kewibawaan kepemimpinan tradisional, bahkan pada situasi tertentu menimbulkan konflik berdarah antara hulu – hilir, seperti yang terjadi antara lanskap di hulu sungai Rokan dan Siak. Bahwa Belanda, tidak memperkuat keterpaduan Riau kuno antara Kepulauan – Daratan, 2

Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74. 3 Bahwa Raja Kecil meninggalkan Riau setelah melalui pertarungan ketatnya dengan Bugis, lihat Norhalim Hj.Ibrahim, “Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan Negeri Sembilan.” Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

15

melainkan membentuk sendiri wilayah administrasi yang berbasis kepentingan khas kolonial di tanah jajahannya. Kedatangan balatentara Jepang di tahun 1942 yang mengakhiri kekuasaan Hindia Belanda, sama sekali tidak memperkuatnya. Sama dengan pendahulunya, sang penjajah Jepang nampaknya juga tidak benar-benar memahami ikatan tadisional kepulauan – daratan, dan kemudian menempatkan Kepulauan bersama-sama dengan Semenanjung, terpisah dengan daratan Sumatra yang berbasis di Singapura. Untuk Daratan, maka reorganisasi “Riau-Syu” menempatkan Kampar, Siak, Bengkalis, Indragiri dan juga Bangkinang (sebagai eks Sumatra barat) dengan berpusat di Pekanbaru. Mungkin saja reorganisasi versi Jepang telah membesarkan hati Kepulauan yang terkenang dengan kebesaran imperium Melayu Riau Johor, akan tetapi disisi lainnya telah semakin mempertajam perbedaan Kepulauan dan Daratan. Ketidakjelasan arah pembentukan administrasi kewilayahan masa awal republik, telah membawa Riau Kepulauan dan Daratan pada provinsi Sumatra Tengah bersama-sama dengan Sumatra Barat dan jambi yang beribukota di Bukit Tinggi. Pemapanan ekonomi dan juga transformasi kepemimpinan Minangkabau di wilayah Riau, jelas saja membangkitkan ketegangan antar Melayu dan Minangkabau, 4 terlebih dengan pengalaman sejarah bahwa ketegangan antara darat – pesisir selalu diwarnai dengan tingginya migrasi dari pedalaman. Bahwa hal ini nampaknya juga menyangkut pertanyaan tentang sejauh mana batas-batas provinsi dan wilayah militer harus bertepatan dengan etnisitas. Pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958 telah menginisiasi pergulatan antara Pemerintah republik di Jakarta dan pimpinan PRRI untuk kontrol atas mantan residensi Riau. Menyadari pentingnya ekonomi Sumatera daratan, pusat melakukan upaya yang kuat untuk memerangi pengaruh kaum revolusioner di Riau. Pasukan dari Jawa mendarat di Bengkalis pada bulan Maret 1958 dan tidak lama kemudian Pekanbaru pun diambil alih. Pada awal April semua Daratan Riau berada di bawah kendali pusat.5 Pusat sendiri telah merespon ketegangan di Sumatera dengan keputusan tahun 1957 untuk menarik-ulang batas Riau sekali lagi, kali ini hanya Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau dan Kotapraja Pekanbaru. Bertepatan dengan tindakan ofensif pusat melawan 4

. Lihat Taufik Ikram Jamil dkk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan Pustaka Riau, 2003, hal.30; Barbara W.Andaya, 1997. 5. Feith 1962: 520-38. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

16

PRRI, Gubernur pertama menjabat Maret 1958. Meskipun Semenanjung Malaya dan Singapura yang tentu saja dikecualikan, sebagai batas-batas baru kerajaan tua; dengan demikian dapat dikatakan batas-batas kuno itu telah terbukti sangat kuat, bahkan di masa sulitnya ekonomi dari konfrontasi dan tahun-tahun terakhir rezim Soekarno. Namun, perbedaan radikal terjadi atas lokasi pusat pemerintahan, dengan kembali pulihnya perdamaian pada tahun 1959 ibukota Riau pun dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru.6

Riau Sebagai Ruang Interaksi Geografis Riau, nampaknya sepadan dengan kondisi geopolitik yang berkembang selama hampir separuh milenium ke-2, yang merupakan eks wilayah kerajaan Malaka. Jika Riau Kepulauan mencerminkan kondisi wilayah yang terdiri dari gugusan pulau-pulau ditepi Laut Cina Selatan, maka halnya wilayah Riau daratan berada diseberang Semenanjung ditepian Selat Malaka pesisir timur Sumatra. Riau Daratan merupakan wilayah yang dialiri oleh empat sungai besar; Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri; berhulu dibarisan pegunungan yang menghilir menuju pesisir timur; kondisi yang telah menyediakan ruang-ruang pertemuan antara berbagai kelompok masyarakat pedalaman yang mendiami sepanjang tepian sungai dan anak sungai dengan suatu dunia perdagangan internasional di selat, atau telah menjadikan wilayah sepanjang “jalan-raya” sebagai basis pasar pertukaran ataupun tempat transit produk. Kondisi geografis ini juga meyakinkan untuk dapat memahami pertemuan berbagai kepentingan yang didominasi oleh negara di semenanjung dan juga dari wilayah pedalaman di Sumatra Tengah. Hal inilah yang menjadikan kawasan yang termasuk kedalam Riau Daratan berbeda, terutama dibandingkan dengan negeri-negeri Melayu lainnya, seperti Jambi, Palembang, atau kearah barat seperti Sumatra Utara. Dengan sejumlah “jalan raya” yang menghubungan pegunungan hingga semenanjung, maka dapat dipastikan bahwa interaksi akan lebih intens di sini jika dibanding tempat lainnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dinamika perkembangan negerinegeri dikawasan Pantai Timur Sumatra tepatnya di pesisir timur Sumatra Tengah, tidak terlepas dari situasi yang berkembang; baik di pedalaman

6.

Lutfi 1977: 691, 696. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

17

maupun pada wilayah Semenanjung diseberang selat dan juga gugusan pulaupulau Riau. Dari serangkaian laporan dari para observer atas kondisi wilayah pesisir hingga abad ke-19, dapat dikatakan terdapat wilayah-wilayah arbiter antara dua kekuatan kultural; Minangkabau dipegunungan dan Melayu di seberang pantai yang bertemu, terutama di wilayah pesisir. Tomi Pires dalam Suma Oriental mencatat bahwa pada awal abad ke-16, terdapat kerajaan mulai dari Arcat – sebelah barat Rokan, kemudian Siak, Kampar, Indragiri hingga perbatasan Jambi yang dikatakannya merupakan rantau Minangkabau; akan tetapi dikatakannya juga bahwa mereka adalah orang-orang Melayu.7 Anggapan ini, berkemungkinan melihat Indragiri sendiri merupakan pelabuhan utama dari kerajaan Minangkabau dalam memasarkan produk emasnya.8 Meskipun demikian, fakta lainnya mengatakan bahwa wilayah Siak, Kampar dan Indragiri merupakan bahagian dari Kerajaan Melaka, setidaknya pada era Sultan Mahmud Syah III (wafat 1477), dimana sebagai tanah lungguh Sultan Melaka, anak-anak sang Sultan kemudian dinabalkan dikerajaankerajaan tersebut. Bentuk hubungan antara Melaka dan negara pesisir timur tersebut diyakini sebagai bentuk negara vassal (bawahan). Dapat pula dipertimbangkan, bahwa pada suatu masa wilayah kekuasaan suatu kerajaan tidaklah dititikberatkan pada batas-batas wilayah melainkan pada kesetiaan rakyat yang mendiami wilayah tersebut. Kondisi ini dapat diduga telah menyebabkan loyalitas “cair” dari rakyat-hamba yang merupakan subyeklangsung Sultan. Dalam hal di bahagian timur Sumatra Tengah, maka dapat diasumsikan, terjadi loyalitas “mendua” atau kepada dua “tuan”; Melayu Semenanjung (Melaka-Johor) dan pedalaman Minangkabau.9 Secara ekologi, konsepsi ruang arbitrer ini dapat dilihat dari serangkaian alam pegunungan yang menurun menyusuri sungai melintasi lembah-lembah subur, hutan tropis perawan dan bentangan rawa-rawa, bertemu dengan milleu lautan dan hingarnya perdagangan Strait; membentuk apa yang 7

Pires, Tome, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt Society. 2 vols.1944. 8 Lihat Christine Dobbin, “Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement”, Indonesia, 23 (1977). 9 Seperti kasus Petapahan, terutama pada abad ke-17. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

18

dinamakan “wilayah perbatasan” antar dua konsepsi alam tersebut. 10 Bahwa realita menunjukkan tentang populasi yang mendiami wilayah Riau Daratan, hingga abad ke-19 terdikhotomi antara populasi dengan kharakter Minangkabau di wilayah hulu, dan Melayu di bahagian pesisir. Persoalan ini, telah menjadi sorotan para ahli terutama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menjelang berakhirnya rezim orde baru, di tahun 1997, Barbara Watson Andaya telah mengemukakan bahwa persoalan “batas-batas” Riau tidak hanya meliputi Riau Kepulauan dan daratan, melainkan juga untuk mempertimbangkan dinamika antara hulu-hilir dari Riau Dataran;11 lebih jauh bahwa kondisi latar historis dan orientasi menjadikan perlunya dilakukan penelaahan kembali atas batas-batas sebagai dampak penyatuan dalam bentuk pemerintahan Provinsi pada tahun 1958 yang terkesan “tergesa-gesa,” yang nampaknya memang terlihat dari peristiwa politik yaitu pemekaran Provinsi Riau Kepulauan pada tahun 2002. Bahwa di daratan batas-batas sebagai garis imajiner antar darat dan pesisir, sebagaimana diketahui mengerucut menjadi batas-batas etnis disebelah dataran tinggi hingga kawasan lembah, dan juga dipesisir. Jika pesisir adalah dataran rendah timur di hilir sungai, maka darat disini diartikan sebagai dataran rendah (peneplein) di hulu sungai, berbeda dengan darek sebagai dataran tinggi Padang(Padangsch Bovenlanden) yang terutama mendiami kawasan lembah subur dikaki gunung. Leonard Andaya12 yang mendalilkan terjadinya etnisisasi bermula dari persaingan antara politi Pagaruyung di pegunungan barisan dan Melaka di Semenanjung Malaya, sehingga entitas pegunungan mempertajam identitas untuk membuatnya tampil beda dan terpisah dengan wilayah pesisir yang telah id...


Similar Free PDFs