Sistem pertanian terpadu PDF

Title Sistem pertanian terpadu
Author Nur Sakinah
Pages 36
File Size 344.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 476
Total Views 525

Summary

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara inte...


Description

I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Permasalahan Pemerintah di masa Orde Baru sangat banyak memberikan perhatian pada

pembangunan lahan-lahan beririgasi. Teknologi mendukung penuh peran tersebut dalam setiap tahap pembangunan pertanian, seperti menggunakan benih unggul dan pupuk kimia yang secara intensif telah diterapkan sejak REPELITA I pada tahun 70-an dan berhasil memacu produksi cukup tinggi, namun juga menyebabkan merosotnya kualitas dan kesuburan lahan. Atas dasar Pertimbangan mengejar swasembada beras, disain kebijakan pengembangan pertanian Orde Baru sangat bias ke usahatani padi. Terkonsentrasinya pengembangan teknologi pangan pada lahan sawah menyebabkan kurang berkembangnya teknologi pada ekosistem lainnya seperti pada lahan-lahan kering. Perhatian terhadap perkembangan pertanian pada agroekosistem lahan kering (kecuali perkebunan skala besar) menjadi sangat kurang. Sebagai ilustrasi, perkembangan teknologi dan produktivitas tanaman pangan pada agroekosistem lahan kering (kecuali beberapa komoditas tertentu) menjadi sangat lamban jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada agroekosistemn persawahan. Pada saat teknologi lahan sawah mencapai tahap levelling off, teknologi lahan kering maupun agroekosistem lainnya belum mampu meningkatkan produktifitas tanaman secara signifikan Sama halnya peternakan, berbagai terobosan yang memungkinkan terjadinya lompatan produktivitas dan usahatani juga kurang terfasilitasi. Kebijakan pengembangan komoditas pangan yang terfokus pada padi secara monokultur telah mengabaikan potensi pengembangan sumberdaya lainnya terutama di lahan-lahan kering. Menurut data BPS tahun 2004 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar 73.4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 65.7 juta hektar (90.5 %) adalah lahan kering dan sekitar 7.7 juta hektar (10.5 %) lahan sawah. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar 1

daripada lahan basah/sawah yang hanya 7.7 juta ha, dan separuh areal luasannya 3.24 juta ha berada di Jawa (Minardi, 2009). Survei Pertanian-BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat (16.5%), perkebunan (15.8%), tegalan (15%), ladang (5.7%), padang rumput (4%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan Selama ini makna tentang agoekosistem lahan kering tidak berkonotasi tunggal. Pertama, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah atau kawasan pertanian yang usahataninya berbasis komoditas lahan kering dalam hal ini adalah komoditas selain padi sawah. Kedua, agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai wilayah beriklim kering yang basis ekonominya adalah pertanian. Ketiga, dimaknai sebagai kawasan pertanian di wilayah hulu dari suatu Daerah Aliran Sungai (Upland Agriculture) (Notohadiprawiro, 1989). Dalam makalah ini makna agroekosistem lahan kering yang diacu adalah pada konotasi kedua yaitu wilayah yang beriklim kering. Dengan mengambil posisi ini maka sistem usahatani sawah (yang secara teoritis semestinya minoritas) tercakup pula didalamnya

karena

merupakan

bagian

integral

dari

sistem

pertanian

agroekosistem lahan kering. Secara normatif, kinerja pertanian pada wilayah tersebut didominasi oleh komoditas pertanian pangan non padi, tanaman perkebunan, sayuran dan peternakan.

1.2 Perumusan Masalah Tujuan pembangunan pertanian bersifat multi dimensi dan multi tujuan. Secara agregat, yang terpenting adalah peningkatan produksi, peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan tenaga kerja. Bahkan sesungguhnya dimensi keberlanjutan (sustainability) juga harus menjadi bagian integral dari pembangunan pertanian. Hal ini berlaku umum, termasuk pula pada pembangunan pertanian pada agroekosistem lahan kering.

2

Urgensi Peningkatan skala prioritas pembangunan pertanian lahan kering terkait dengan beberapa hal berikut. Pertama, akselerasi pembangunan pertanian agroekosistem lahan kering dapat berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung adalah peningkatan produksi pertanian di daerah itu sendiri, sedangkan yang sifatnya tidak langsung adalah kaitan kedepan dan kebelakangnya. Kedua, berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Ketiga, berkontribusi pada peningkatan manfaat dalam perdagangan baik melalui penciptaan devisa (ekspor) maupun penghematan devisa (mengurangi impor). Keempat, realisasi dan komitmen untuk mewujudkan keadilan. Kelima, pengembangan basis-basis pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa, karena secara empiris sebagian besar sumberdaya pertanian lahan kering dominan di wilayah tersebut. Keenam, berkontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pengembangan sistem pertanian terpadu berbasis prinsip konservasi dan keberlanjutan (Kadekoh, 2010). Melihat peranan lahan kering sangat penting dalam menunjang kegiatan pertanian maka sangat penting pula untuk menelaah yang terkait dengan pengembangannya secara ramah lingkungan, menata pengembangan sumberdaya yang berkelanjutan, kesejahteraan petani serta penciptaan lapangan kerja. Struktur pertanian lahan kering ini umumnya didominasi oleh usaha pertanian yang berskala kecil oleh karenanya sangat membutuhkan sentuhan teknologi tepat guna spesifik lokasi agar terjadi peningkatan nilai tambah. Secara umum pemanfaatan lahan kering baik dataran rendah maupun dataran tinggi telah menerapkan konsep pengembangan pertanian terpadu dimana terdapat komponen pemeliharaan tanaman, komponen pemeliharaan ternak serta penanganan limbahnya walaupun sering teknologi yang diterapkan masih bersifat tradisional. Pada aspek pemeliharaan tanaman, komponen produksi masih sering dilaporkan rendah, peningkatan bobot ternak misalnya sapi juga rendah yang berkisar 250-350 gram per ekor per hari serta limbah ternak dan tanaman sering tidak dimanfaatkan (Kariada, et. al. 2002). Realita dan permasalahan di atas melatarbelakangi munculnya konsep sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pada optimalisasi potensi sumber daya secara bijaksana dan lebih

3

alamiah

agar

mampu

diberdayakan

secara

berkelanjutan

(sustainable

development) dengan mengedepankan aspek pengembangan pertanian berjangka panjang. Konsep pertanian terpadu mengharapkan agar terjadi suatu keseimbangan alamiah yang menekankan pada aspek konservasi sumberdaya, menekan dampak negatif, memelihara keseimbangan lingkungan, meningkatkan efisiensi dengan pemanfaatan/mengembalikan bahan organik ke dalam tanah serta meningkatkan rasa percaya diri petani terhadap profesinya bahwa pertanian adalah sumber pendapatan yang sarat dengan makna kehidupan (Kariada, et. al., 2004).

1.3.

Tujuan Makalah ini bertujuan untuk menyajikan :

1.

Analisis pemanfaatan potensi agroekosistem lahan kering.

2.

Konsep pertanian terpadu pada lahan kering.

3.

Strategi pengembangan sistem pertanian terpadu yang ramah lingkungan dengan menekankan pada optimalisasi pemanfataan potensi sumberdaya pertanian lokal pada wilayah dominan agroekosistem lahan kering.

4

II. ANALISIS PEMANFAATAN POTENSI DARI AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI INDONESIA

2.1 Agroekosistem Lahan Kering Penggunaan istilah lahan kering di Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Definisi lahan kering menurut Direktorat perluasan areal (2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran rendah, dan lahan kering dataran tinggi. Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1) lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai diwilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan (2) lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia berdasarkan dua kategori tersebut diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.

2.2. Pemanfaatan Potensi Lahan Kering Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan dapat dikembangkan padi gogo, padi legowo, jagung, sorghum, kedele dan palawija lainnya. Ketersediaan lahan ini cukup luas terutama di luar P. Jawa. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 provinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau (291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075 ha) Lampung (802 341 ha), Jawa Barat (184 160 ha), 5

Banten (36 631 ha), NTT (550 075 ha) dan Kalimantan Barat (2 211 632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009). Untuk

pengembangan

komoditas

perkebunan, dapat dinyatakan bahwa hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya berorientasi ekspor dihasilkan dari usahatani lahan kering. Kontribusinya terhadap devisa dan pendapatan petani serta dalam penyerapan tenaga kerja sangat berarti bagi pertumbuhan sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir ini. Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas masih akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata yang revolusioner. Ternak ruminasia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan nonlandbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari lahan penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak dibawah pohon kelapa (coco-beaf), usaha ternak dibawah kebun kelapa sawit (palm-oilbeef), dan kombinasi tanamn pangan dengan ternak (Crops Livestock SystemCLS). Usaha ternak ruminansia dengan sistem landbase dilakukan pada padang penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan IV yang banyak terdapat di KTI. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti NTB, NTT dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan. Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi petani, terutama jika tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al., 2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are,

6

pendapatan rumah tangga petani di NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan kering mencapai Rp 3.24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari kacang tanah dan ubi kayu pada MK II 31.4%, ternak sapi 25.5 %, kelapa dan kopi 19.9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan usahatani padi pada MK 6.2%. Terlihat bahwa peran sapi cukup tinggi. Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan ruminasia dilahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditingkatkan dengan adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7.5 ton per tahun yang mengandung sekitar 15 kg N, 15 kh P2O5 dan 20kg K2O (Hasnudi dan Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara, kotoran ternak mampu memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pengembangan

peternakan

dilahan

kering

membutuhkan hijauan pakan. Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa) dan ada pepohonan. Tanaman rerumputan dapat ditanam di lahan-lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui rhizobium yang terdapat pada bintil akar.

7

III. KONSEP PERTANIAN TERPADU PADA LAHAN KERING

3.1

Konsep Pertanian Terpadu Sistem pertanian lahan kering pada umumnya belum dipahami secara

mendalam, sementara keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala lingkungan, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta keterbatasan sentuhan teknologi yang adaptif mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem usahatani yang ada masih terbatas. Kerusakan fungsi lahan sebagai media tumbuh, seperti pekanya tanah terhadap erosi, unsur hara yang minim, terbatasnya kandungan bahan organik merupakan permasalahan biofisik. Sementara itu pihak petani lahan kering merupakan petani yang tergolong marjinal ditandai dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas serta terbatasnya pelaksanaan konservasi pada lahan usahataninya (Sholahuddin et al., dalam Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah masalah klasik di kalangan petani lahan kering yang memerlukan penanganan yang optimal, terencana dan berkelanjutan. Teknologi sepadan diperlukan untuk menciptakan prospek cerah, khususnya bagi lahan kering baik bagi lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Teknologi yang dipandang tepat adalah teknologi yang berasaskan intergrated farming system (pertanian terpadu) yaitu suatu sistem pertanian yang efisien dan berwawasan lingkungan, yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya

lokal secara optimal bagi tujuan pembangunan pertanian

berkelanjutan. Pengertian usahatani integrasi menurut Suwandi dalam Kariada (2004) adalah suatu kegiatan petani dalam memanfaatkan secara optimal dan terpadu lebih dari satu komoditas pertanian, baik komponen usahatani pangan, palawija, hortikultura, ternak, dan ikan selama setahun. Sedangkan usahatani tidak terintegrasi hanya dengan satu komoditas selama setahun. Sistem Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan

8

produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian ini. Solusi yang dapat diberikan kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau menurut Artaji (2011) adalah pengelolaan usahatani dengan model intergrated farming system yang mencakup: (1) Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll. (2) Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal. (3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit. (4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi. (5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan. (6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste management).

9

Rural Industries Research and Development Corporation (RIRDC) (2002) menyebut sistem usahatani integrasi dengan bio-cyclo farming atau integrated biosystems yang didefinisikan sebagai sistem yang menghubungkan beberapa aktivitas produksi pangan yang berbeda, dengan aktivitas lain seperti pengolahan limbah dan pembuatan bahan bakar. Integrated biosystems adalah sistem pertanian dimana produksi dan konsumsi berlangsung pada suatu siklus tertutup, output

dari suatu operasi

menjadi

input

untuk

yang lainnya

secara

berkesinambungan. Sistem ini memungkinkan adanya hubungan fungsional antara aktivitas produksi pangan yang berbeda, seperti pertanian, perikanan, dan industri pangan, dengan aktivitas lainnya seperti pengelolaan limbah, penggunaan air dan degenerasi bahan bakar. Pangan, pupuk, pakan ternak dan bahan bakar dapat diproduksi dengan input atau sumberdaya minimum, seperti yang terlihat pada bagan aliran bahan dalam sistem pertanian terpadu berikut (Gambar 1).

Gambar 1. Aliran Bahan Dalam Sistem Pertanian Terpadu Salah satu bentuk pertanian terpadu yang telah dilakukan pada agroekosistem lahan kering di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT) atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-ternak-ikan (ITTI). Semua integrasi tersebut termasuk dalam model pertanian terpadu dalam satu

10

siklus biologi (Integrated Bio Cycle Farming) karena tidak ada limbah terbuang, semua bermanfaat. Tanaman dapat berupa tanaman pangan atau tanaman perkebunan yang kemudian diintegrasikan dengan ternak sapi, domba, kambing, dan berbagai jenis ikan. Memadukan tanaman, ternak dan ikan pada sistem Integrated Bio Cycle Farming mempunyai kelebihan ditinjau dari ekologi dan ekonomi. Ditinjau dari ekologi Sistem pertanian terpadu bersifat produktif dan menguntungkan karena melaksanakan daur ulang secara intensif. Limbah dari satu kegiatan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara kegiatan yang lain. Selain itu ikan merupakan sumber protein hewani untuk rumah tangga petani (Sutanto 2002).

Limbah

pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas. Sistem ini secara kondusif telah melaksanakan konservasi sumberdaya alam, karena mendorong stabilitas habitat dan keanekaragaman kehidupan alami di lingkungan pertanian dan sekitarnya. Sistem terpadu ini mengoptimumkan penggunaan sumberdaya yang berasal dari usahatani itu sendiri maupun yang ada di sekitarnya, dan mendorong konservasi habitat daripada merusaknya. Adapun keuntungan atau manfaat ekonomi atas penyelenggaraan usahatani terpadu bagi petani dan keluarga adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan kebutuhan pangan dan gizi yang bervariasi bagi keluarga petani. 2. Memberikan pendapatan yang tidak tergantung kepada musim. Pendapatan itu dapat diperoleh secara bersinambung dari waktu ke waktu dengan jarak yang tidak begitu lama. Hasil pertanian dan perikanan diharapkan mampu mencukupi kehidupan jangka pendek, sedangkan hasil peternakan dan perkebunan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan jangka menengah Selain itu usahatani tersebut dapat mengurangi resiko kegagalan hasil. 3. Mengefektifkan

tenaga

kerja

keluarga.


Similar Free PDFs