Tafsir Al-Mishbah Jilid 01 -Quraish Shihab- uploaded by Wirlilik Gundoyo.pdf PDF

Title Tafsir Al-Mishbah Jilid 01 -Quraish Shihab- uploaded by Wirlilik Gundoyo.pdf
Author Wirlilik Gundoyo
Pages 653
File Size 22.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 150
Total Views 384

Summary

. -Tlfih Bufcu BerasaJ D ari •; P f& y Q fc --------------- - K txfe Rut v 1 v o. Register c o l tanggal 15 - 0 9 - 9C C & 0& 09 *x l Jumlah \ TA FSIR A L-M ISH BA H Pesan, Kesan dan Keserasian al-Q ur’an Oleh: M. Q U R A ISH SHIHAB Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved...


Description

.

-Tlfih Bufcu BerasaJ D ari

K txfe Rut v 0& 09

*x l

•;

P f& y Q fc

1 v o. Register

--------------- c o l

tanggal

15 - 0 9

Jumlah

\

- 9C C &

TA FSIR A L-M ISH BA H Pesan, Kesan dan Keserasian al-Q ur’an Oleh: M. Q U R A ISH SHIHAB Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan I, Sya'ban 1421 / Novem ber 2 0 0 0 Cetakan II, Ramadhan 1425 / Novem ber 2004 Cetakan III, R ab i‘ul Awal 1426 / April 2005 Cetakan IV, Rajab 1426 / Agustus 2005 Cetakan V, Dzulqa'dah 1426 / Desem ber 2005 Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati Jl. Ir. H. Juanda No. 166 Ciputat, Jakarta 15419 Telp./Fax: (0 2 1 ) 7424373 http://www.lenterahati.com e-m ail: info@ lenterahati.com K erjasam a dengan Perpustakaan Umum Islam Im an Jam a Jl. Raya Pasar Jum ’at No. 46 Telp. (0 2 1 )7 6 9 9 5 2 8 Lay Out / Arab: Wahid Hisbullah Desain Sampul: Lisa S. Bahar

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Shihab, M . Quraish Tafsir A1 Mishbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Q ur’an / M. Quraish Shihab. — Jakarta : Lentera Hati, 2002. 15 vol.; 24 cm. Diterbitkan atas kerja sama dengan perpustakaan Umum Islam Iman Jam a’. ISB N 979-9048-08-7 (no. vol. lengkap) ISBN 979-9048-09-5 (vol 1) 1. AI Quran — Tafsir. I. Judul. 7.122

Sanksi Pelanggaran Pasal 14: Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta

< ayat 1 :, Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak i f suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama V ^ 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). ■ayat 2 Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual \\ *o .kepadaumumsuatuciptaanataubaranghasilpelanggaranhakdptasebagaimanadimaksud w — ~ dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

M. Quraish Shihab

TAFSIR AL-MISHBAH

Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an

VOLUME Surah Al-Fatihah

Surah Al-Baqarah

Lentera

V

PE D O M A N T R A N S L IT E R A S I

ARAB \

V o O C c

c

LATIN ar b t

ts j

h kh d dz

ARAB J*

J? J* t i

q

k l m w h y

d* J1

sy

a*

sh

4

a (a panjang), contoh

siJJlil

i (i panjang), contoh u (u panjang), contoh

gfr

j

z s

j

r

'4

f

ii J c 0 J «

i J

LATIN dh th zh

n

: al-Malik : ar-Rahim

j

: al-Ghafur

l-hamdu lifiah segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw. .yang telah menjelaskan al-Qur’an dengan ucapan, sikap, dan keteladanan, demikian pula kepada para sahabat dan keluarga beliau. Al-Qur’an al-Karim adalah kitab yang oleh Rasul saw. dinyatakan sebagai: “Ma'dubatullah (Hidangan Ilahi).” * Hidangan ini membantu manusia untuk memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kitab suci ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nas (petunjuk bagi seluruh umat manusia), sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam al-Qur’an. Dari sini kitab suci al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat, yakni bukti kebenaran dan sekaligus kebenaran itu sendiri. Lima belas abad yang lalu ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu serta berani dan yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad saw., yakni alQur’an.” Demikian orientalis Gibb berkomentar. Bahasanya yang demikian mempesona, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walaupun nalar

A

v

Sefcapur Sirifi

sebagian mereka menolaknya. Nah, tethadap yang menolak itu al-Qur’an tampil sebagai mukjizat sedang fungsinya sebagai hudan ditujukan kepada seluruh umat manusia, namun yang memfungsikannya dengan baik hanyalah orang-orang yang bertakwa: “A lif U m Mtm, itulah (al-Qur’an) kitab yang sempuma, tiada keraguan di dalamnya, dia adalah petunjuk untuk orang-orang bertakwa” ' (QS. al-Baqarah [2]: 1-2). ' ' Masyarakat Islam dewasa ini pun mengagumi al-Qur’an. Tetapi sebagian kita hanya berhenti dalam pesona bacaan ketikaf dilantunkan, sealfaii-akan kitab suci ini hanya diturunkan untuk dibaca. Memahg, wahyu pertama memenntahkan membaca Iqra’bismi rabbika, bahkafr kata iqra ’ diulanginya dua kali, tetapi ia juga mengandung makna telitilah, dalamilah, karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat meraih kebahagiaan sebanyak mungkin. “Kitabyang telah kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar ulul albab mengingat!menarik pelajaran darinya” (QS. Shad [38]: 29). Bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan alQur’an, pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan tad^akkur dan tadabbur. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya untuk berpikir dan menghayati pesan-pesan al-Qur’an, mereka itu dinilainya telah terkunci hatinya. “Apakah mereka tidak memikirkan alQur’att, atau hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 20). Umat Nabi Musa dan ‘Isa as. pun mendapat petunjuk melalui kitab suci, tetapi, “D i antara mereka ada ummiyyun, tidak mengetahui al-Kitab kecuali amanf’ Begitu kecaman Allah yang diabadikan dalam QS. al-Baqarah [2]: 78. Ibn ‘Abbas menafsirkan kata “ummiyyun” dalam arti tidak mengetahui makna pesan-pesan kitab suci, walau boleh jadi mereka menghafalnya. Mereka hanya berangan-angan atau amant, dalam istilah ayat di atas, yang ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbas dengan “sekedar membacanya”. Itulah yang diibaratkan al-Qur’an seperti “keledaiyang memikul buku-buku” (QS. alJumu'ah [62]: 5) atau “seperti penggembala yang memanggil binataugyang tak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta (maka sebab itu) mereka tidak mengerti” (QS. al-Baqarah [2]: 171). Al-Qur’an menjelaskan bahwa di hari Kemudian nanti Rasulullah saw. akan mengadu kepada Allah swt. Beliau berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumkujumatku telah menjadikan al-Qur’an ini sebagai sesuatuyang mahjura” (QS. al Furqan [25]: 30).

vi

Sekapur Sirifi

Menurut Ibn al-Qayyim, banyak hal yang dicakup oleft kata () mahjura, antara lain: a. Tidak tekun mendengarkannya. b. Tidak mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya dan dibaca. c. Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut ushuluddin (prinsip- prinsip ajaran agama) dan rinciannya. d. Tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya. e. Tidak menjadikannya sebagai obat bagi semua penyakit-penyakit kejiwaan. Semua yang disebut di atas tercakup dalam pengaduan Nabi Muhammad saw. Tentu saja kita tidak ingin termasuk dalam kelompok yang diadukan Rasul saw. itu. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa banyak orang yang ti^iak memahami al-Qur’an dengan baik dan benar. Kendati demikian, kita harus mengakui bahwa tidak jarang orang yang berminat mengenalnya menghadapi kendala yang tidak mudah diatasi, seperti keterbatasan - dari segi waktu atau ilmu dasar - maupun kelangkaan buku rujukan yang sesuai; yakni sesuai dari segi cakupan informasi, yang jelas dan cukup, tetapi tidak berkepanjangan. Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan dan harapan itu. Memang, para pakar al-Qur’an telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara menghidangkan pesan-pesan al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah apa yang dinamai metode maudhu'i atau metode tematik. Metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara m endalam dan m enyeluruh menyangkut tem a-tem a yang dibicarakannya. Ia lahir setelah para pakar menyadari bahwa metode yang diterapkan sebelumnya sangat menyita waktu, bahkan menghidangkan aneka informasi yang tidak selalu dibutuhkan oleh pembacanya. Karena banyaknya tema yang dikandung oleh kitab suci umat Islam itu, maka tentu saja pengenalan menyeluruh tidak mungkin terpenuhi, paling tidak, hanya pada tema-tema yang dibahas itu. Dengan demikian, kesulitan atau harapan yang dikemukakan pada awal uraian, belum juga terselesaikan. Memang, telah lahir upaya-upaya yang dilakukan para pakar, katakanlah seperti Fazlurrahman dalam bukunya "Tema-tema pokok alQur'an”; atau Mahmud Syaltut dalam bukunya “Ila al-Qur’an al-Karim."

vii

Sefcapur Sind

Namun apa yang mereka kemukakan masih sangat singkat, dan dalam bahasa asing, sehingga belum memuaskan mereka yang dahaga. Al-Qur’an memiliki tiga aspek: 1) Aqidah, 2) Syariah dan 3) Akhlak. Pencapaian keriga tujuan pokok ini diusahakan oleh al-Qur’an melalui empat cara: a. Perintah memperhatikan alam raya, b. Perintah mengamati pertumbuhan dan perkembangan manusia, c. Kisah-kisah, dan d. Janji serta ancaman duniawi atau ukhrawi. Demikian kesimpulan Mahmud Syaltut ketika memperkenalkan al-Qur’an, yang dalam buku Membumikan al-Qur’dn penulis tambahkan bahwa, “Di celah-celah uraian tentang tujuan dan cara al-Qur’an itu, ditemukan pula keftiukjizatan/keistimewaan al-Qur’an, paling tidak dalam tiga aspek: a. Ketelitian dan keindahan redaksinya, b. Isyarat-isyarat ilmiahnya, dan c. Pemberitaan hal gaib masa lalu dan datang yang diungkapnya.” Apakah.hidangan ini —walau disertai dengan beberapa contoh —telah memperkenalkan al-Qur’an dengan baik? Jawaban yang menafikan lebih cenderung untuk diucapkan daripada yang mengiyakan. Pada tahun 1997 penerbit Pustaka Hidayah menerbitkan karya penulis “Tafsir al-Qur’an al-Kanm”. Ada 24 surah yang dihidangkan di sana. Uraiannya banyak merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode tahlili, yakni menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam setiap surah. Penekanan dalam uraian-uraian tafsir itu adalah pada pengertian kosa kata dan ungkapan-ungkapan alQur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan oleh alQur’an. Dalam memilih urutan surah-surah yang diuraikan di sana, penulis berupaya mendasarkannya pada urutan masa turun surah-surah tersebut. Dimulai dengan al-Fatifcah sebagai induk al-Qur’an, disusul dengan surah yang memuat wahyu pertama Iqra \ selanjutnya al-Muddatstsir, al-Mu^ammil, dan seterusnya hingga surah ath-Tbariq. Menghidangkan tafsir al-Qur’an berdasar urut-urutan turunnya diharapkan dapat mengantarkan pembaca mengetahui rentetan petunjuk Ilahi yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Di

viii

Sekapur SiriH

sisi lain, menguraikan tafsir al-Qur’an berdasarkan urutan surah-surah dalam mushhaf seringkali menimbulkan banyak pengulangan, jika kandungan kosa kata atau pesan ayat atau surahnya sama atau mirip dengan ayat atau surah yang telah ditafsirkan. Ini mengakibatkan diperlukannya waktu yang cukup banyak untuk memahami dan mempelajari kitab suci. Karena itu, dalam tafsir tersebut, penulis memaparkan makna kosa kata sebanyak mungkin dan kaidah-kaidah tafsir yang menjelaskan makna ayat yang sekaligus dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat lainnya yang tidak ditafsirkan. Rupanya, ketika itu penulis sangat terpengaruh oleh pengalaman selama belasan tahun mengajar tafsir di Perguruan Tinggi. Dalam satu semester hanya beberapa belas ayat yang dapat diselesaikan pembahasannya, karena terjadi banyak pengulangan, dan tidak terhidangkannya makna kosa kata sebagaimana yanjj digunakan al-Qur’an atau kaidah-kaidah tafsir yang dapat ditarik dari Kitab Suci itu. Hal ini menjadikan mahasiswa tidak dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi apa yang penulis hidangkan di sana kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara mereka menilainya terlalu berteletele dalam uraian tentang pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Memang, boleh jadi cara semacam itu lebih sesuai untuk dihidangkan kepada para mahasiswa yang mempelajari mata kuliah tafsir. Akhfrnya penulis tidak melanjutkan upaya itu. Tentu saja karena luasnya bahasan yang ada di sana, banyak pula uraiannya yang terhidang di sini, walau tentunya dengan gaya dan penekanan yang berbeda. Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok surah. Memang, menurut para pakar, setiap surah ada tema pokoknya. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika kita mampu memperkenalkan tema-tema pokok itu, maka secara umum kita dapat memperkenalkan pesan utama setiap surah, dan dengan memperkenalkan ke 114 surah, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah. Di sisi lain, banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti Yasin, al-Waqi'ah, ar-Kahman, dan lain-lain. Berat dan sulit bagi mereka memahami apa yang dibacanya. Bahkan boleh jadi, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya, walau telah mengkaji terjemahannya. Kesalahpahaman tentang kandungan atau pesan surah akan semakin menjadi-jadi bila membaca beberapa buku

ix

Sefcapur Sirifi

yang menjelaskan keutamaan surah-s\irah al-Qur’an atas dasar hadits-hadits lemah, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi'ah mengundang kehadiran rezeki. Nah, menjelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu, akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Selanjutnya, jangankan di tingkat awam, di kalangan kaum terpelajar pun, bahkan yang berkecimpung dalam studi Islam, masih sering timbul dugaan kerancuan sistematika penyusunan ayat dan surah-"Surah al-Qur’an. Apalagi jika mereka membandingkannya dengan karya-karya ilmiah. Banyak yang tidak mengetahui bahwa sistematika penyusunan ayat-ayat dan surahsurah yang sangat unik mengandung unsur pendidikan yang amat menyentuh. , Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat setiap surah dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang. Selanjutnya, perlu juga ditegaskan bahwa kalimat-kalimat yang tersusun dalam buku ini, yang sepintas terlihat seperti terjemahan al-Qur’an, hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan al-Qur’an, apalagi al-Qur’an. Ulama-ulama al-Qur’an mengingatkan bahwa betapapun telitinya seorang penAjemah, maka apa yang diterjemahkannya dari al-Qur’an bukanlah al-Qur’an, bahkan lebih tepat untuk tidak dinamai terjemahan al-Qur’an. Karena itu, apa yang seringkali dinamai “Terjemahan al-Qur’an” atau “alQur’an dan Terjemahnya” harus dipahami dalam arti terjemahan maknamaknanya. Karena, dengan hanya menerjemahkan redaksi atau kata-kata yang digunakan al-Qur’an, maksud kandungan al-Qur’an belum tentu terhidangkan. Ambillah sebagai contoh kalimat aqim ash-shalah yang biasa diterjemahkan dengan “dirikanlah shalat”. Terjemahan ini bukan saja keliru, karena kata aqim bukan terambil dari akar kata qama yang berarti “berdiri” tetapi dari kata qawama yang berarti “melaksanakan sesuatu dengan sempurna serta berkesinambungan.” Di sisi lain, keinginan untuk memperjelas makna-makna yang dikandung oleh suatu ayat, dan menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan kalimat-kalimat yang satu dengan lainnya dalam al-Qur’an, seringkali memerlukan penyisipan-penyisipan kata atau kalimat, apalagi karena gaya bahasa al-Qur’an lebih cenderung kepada Ija% (penyingkatan) daripada Itbnab (memperpanjang kata). Banyak sekali redaksi ayat-ayat al-

x

Se^apur Sirih

Qur’an yang menggunakan apa yang dikenal dengan ifatibak, yakni menghapus satu kata atau kalimat karena telah ada pada redaksinya kata atau kalimat yang dapat menunjuk kepadanya. Sebagai contoh, “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu gelap supaya kamu beristirahat padanya dan menjadikan siang terang benderang supaya kamu mencari karunia Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mendengar” (QS. Yunus [10]: 67). Kata “gelap” tidak tercantum dalam redaksi ayat, karena pada penggalan berikut telah disebut kata terang benderang, demikian juga “supaya kamu mencari karunia Allah” tidak disebut dalam redaksi ayat ini, karena lawannya yaitu supaya kamu beristirahat telah dikemukakan sebelumnya. ' Selanjutnya, p«enggunaan bentuk-bentuk kata tertentu seringkali mengandung makna yang tidak dapat ditampung kecuali dengan penyisipanpenyisipan. Sebagai contoh, firman-Nya dalam QS. al-Ma’idah [5]: 78. Uj i U i

jjl

O C J Js > J ,)!’} *\ ^ 4 J * u j Jcju Ij j

jiiJl 15 J l

4

‘Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bam Isrd’il disebabkan oleh lisan Daiid dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka telah durhaka dan selalu melampaui batas. ” Ketika menafsirkan ayat ini, penulis antara lain mengemukakan pendapat pakar tafsir Thahir Ibn ‘Asyur bahwa kata ( ^ ) ‘ala pada firmanNya: ( ajb (JUJ ) ‘ala lisdni dawud berarti disebabkan, yang sekaligus mengandung makna kemantapan, sehingga kata itu mengisyaratkan bahwa kutukan itu benar-benar diucapkan oleh lidah beliau, bukan atas namanya, bukan juga dengan bahasa yang digunakannya. Mengapa mereka dikutuk? Seakan-akan ada yang bertanya demikian. Ini dijawab oleh penggalan ayat berikutnya, yakni disebabkan mereka telah durhaka dan selalu melampaui batas. Gabungan dari tiga hal yang dikandung ayat di atas, yaitu ( ^,1,1•>) dyalika/itu, ( ) ‘ala/ sebab, dan jawaban terhadap adanya pertanyaan di atas, ketiganya melahirkan pembatasan, sehingga pada akhirnya ayat ini mengandung makna bahwa kutukan tersebut tidak lain kecuali karena kedurhakaan m ereka. Pem batasan ini perlu, agar tidak timbul kesalahpahaman tentang sebab kutukan, yang seringkali disalahpahami oleh

xi

Sekapur Sirifi

orang banyak sehingga mencari sebab-sebab yang tidak jelas lagi tidak wajar, dan melupakan atau mengabaikan hal-hal yang pen ting dan yang sebenarnya. Menyadari sebab kesalahan adalah tangga pertama meraih sukses. Kekeliruan dalam mendiagnosis suatu penyakit tidak akan pernah mengantar kepada penemuan obat yang sesuai dan tidak akan menghasilkan kesembuhan. Kata durhaka dan melampaui batas seringkali dipersamakan kandungan maknanya karena melampaui batas mengakibatkan kedurhakaan, dan kedurhakaan adalah pelampauan batas. Karenanya, dua kata yang berbeda itu pada akhirnya mengandung makna yang sama. Kendati demikian, karena bentuk kata yang digunakannya berbeda, maka makna yang dikandungnya pun mengandung perbedaan. Kata ( ) 'ashau/telah durhaka, karena menggunakan bentuk l£ata kerja masa lampau maka ia menunjukkan bahwa kedurhakaan itu bukan barang baru, tetapi telah ada sejak dahulu. Dan untuk mengisyaratkan bahwa kedurhakaan itu masih berlanjut hingga kini dan masa datang, atau merupakan kebiasaan sehari-hari mereka, maka kata ( UjJUaj ) ya‘tadun/ melampaui batas dihidangkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari‘/present tense). Penyisipan-penyisipan itu jika tidak disadari, akan menimbulkan kesan bahwa,penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an. Padahal sama sekali tidak demikian. Bukankah di atas telah dikemukakan, bahwa apa yang dibaca ini bukan terjemahan al-Qur’an, tetapi terjemahan makna-makna al-Qur’an. Semoga dengan penjelasan ini tidak timbul kesalahpahaman seperti yang pemah terjadi atas penafsir Ibrahim Ibn ‘Umar al-...


Similar Free PDFs