ARGUMEN TENTANG TUHAN Sebuah tinjauan Filsafat Ketuhanan (Teologi Metafisik) PDF

Title ARGUMEN TENTANG TUHAN Sebuah tinjauan Filsafat Ketuhanan (Teologi Metafisik)
Author Syafieh Syafieh
Pages 29
File Size 148.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 66
Total Views 274

Summary

ARGUMEN TENTANG TUHAN1 Sebuah tinjauan Filsafat Ketuhanan (Teologi Metafisik) Oleh : Syafieh A. Pendahuluan Dalam diskursus wacana filsafat agama, muncul beberapa proposisi argumentatif dengan beberapa karakteristik dalam upaya membuktikan keberadaan Tuhan, di antaranya argumen ontologis, kosmologis...


Description

ARGUMEN TENTANG TUHAN1 Sebuah tinjauan Filsafat Ketuhanan (Teologi Metafisik) Oleh : Syafieh

A. Pendahuluan Dalam diskursus wacana filsafat agama, muncul beberapa proposisi argumentatif

dengan

beberapa

karakteristik

dalam

upaya

membuktikan

keberadaan Tuhan, di antaranya argumen ontologis, kosmologis, teleologis dan argumen moral. Beberapa preposisi yang dibangun secara argumentative untuk membuktikan keberadaan tuhan dapat dilihat dari beberapa postulat seperti: “Moralitas menjadi benar apabila adanya unsur kepercayaan akan adanya Tuhan,” atau “kepercayaan akan adanya Tuhan dan posisi agama akan membuktikan secara jelas fakta pengalaman kemanusian.”2 Sebahagian besar para filosof lebih fokus dalam menggunakan tiga argumen: Ontologi, kosmologi dan teleologi. Argumen ontologis mencoba membuktikan bahwa “ketiadaan” Tuhan merupakan sesuatu yang mustahil, sebaliknya keberadaannya menjadi niscaya. Adapun argumen kosmologis membuktikan batasan antara yang general dan yang spasial-temporal dalam alam semesta sebagai sesuatu yang ada dan mengalami perubahan, dan itu menunjukkan keharusan postulasi adanya Tuhan untuk menerangkannya. Sedangkan argumen teleologis atau juga disebut design argument membuktikan bahwa keberadaan dunia, keindahan dan keberangkaiannya, menunjukkan adanya proses pemikiran tentang suatu rancangan.Argumen ini berakhir dengan kesimpulan bahwa ada “sesuatu” yang merancangnya.3 Menurut Wainwrigh, argumen kosmologis dan argumen teleologis hanya diekspresikan secara terbatas dalam pendirian mazhab atau kelompok pemikiran agama. Seseorang dapat berpikir bahwa Tuhan sendirilah yang bisa menerangkan

Makalah di sampaikan pada Mata Kuliah Filsafat Agama UIN Sumatera Utara, Email: [email protected] 2 William J Wainwright, Philosophy of Religion, 2nd ed., (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm.35 3 Ibid 1

1

2 mengapa ada alam semesta, yang secara implisit memunculkan argumen kosmologis. Seseorang juga dapat percaya bahwa dunia, keindahan, dan kebajikan merupakan indikasi adanya aktivitas ketuhanan yang digunakan dalam argumen “perancangan”. Sedangkan argumen ontologis sering dimunculkan oleh pemikir atau intelektual yang memiliki basis relegiusitas dan cenderung berlandaskan agama, yang secara umum dapat menjadi lorong atau bahkan penguatan keimanan kepada Tuhan, “Tuhan yang Mutlak” dan seterusnya, dan sampai pada kesimpulan bahwa ketiadaan eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dan tak dapat dibayangkan.4 B. Kajian Metafisika Kata “meta” bagi orang Yunani mempunyai arti “sesudah atau di belakang”. Kata metafisika dipakai sekali untuk mengungkapkan isi pandangan mengenai, “hal-hal di belakang gejala fisik”.5 Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun karya-karya Aristoteles, ia menemukan 14 buku tanpa nama sesudah seluruh karya-karya mengenai fisika tersusun. Ia menyebut ke- 14 buku tersebut dengan nama “buku-buku yang datang sesudah fisika” (ta meta ta physica). H. Reiner memperkirakan nama metafisika yang juga dikenal dengan istilah ontologi, ini telah muncul sejak era pertama Aristoteles. Aristoteles sendiri menggunakan beberapa nama untuk menunjukkan nama metafisika. Tetapi kesulitannya ialah, bahwa nama-nama ini tidak selalu diterangkan oleh Aristoteles. Dapat dinyatakan, apakah Aristoteles memaksudkan hal yang sama dengan memakai nama-nama yang berlainan itu. Ada yang mengatakan, bahwa Aristoteles sendiri tidak konsisten dengan keterangan-keterangan ilmu ini, karena banyak nama yang dipakai oleh Aristoteles tanpa ada penjelasan lebih lanjut.6

4

Ibid Harus Hadiwijono, Sari Sejarah, (Jogjakarta: Kanisius, 1980), hlm. 47. Baca pula Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 4. 6 Istilah ontologi lebih populer dibandingkan dengan metafisika, karena nama ini dianggap lebih umum. Secara prinsip tidak ada perbedaan anatara ontologi dan metafisika, bahkan ada yang menganggap sama. Ontologi berasal dari bahasa Yunani ‘ta onta” yang berarti “berada” dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi ontologi ilmu mempelajari yang berada. Katsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 119. 5

3 Menurut Bertens, yang mengutip buku Aristoteles Metaphysica, bahwa dalam buku I, metafisika dinamakan “kebijakan” (sophia). Karena ilmu kebajikan merupakan ilmu yang tertinggi, maka ilmu-ilmu ini membicarakan hal-hal yang fundamental. Dalam buku IV disebutkan, ada ilmu yang disebut “to on hei on”, “being qua being”, atau “yang ada sejauh ada”. Maksudnya adalah metafisika, meskipun tidak menyebut langsung tentang ilmu ini. Mempelajari “yang ada sejauh ada” artinya mempelajari ilmu seluruhnya, mulai objek yang paling umum sampai yang paling khusus.7 Dalam buku IV disebutkan, bahwa ilmu yang tertinggi mempunyai objek yang paling luhur dan paling sempurna. Karena itu, kalau tidak ada substansi yang terubahkan dan abadi, maka ilmu yang menyelidiki substansi itu dinamakan “ilmu pertama” atau filsafat pertama dengan suatu nama lain yang disebut teologia.8 Pada abad pertengahan, istilah metafisika ini kemudian mendapatkan arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti sebagai ilmu tentang yang ada karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika. Istilah “sesudah” di sini tidak dalam arti temporal, tetapi bahwa objek metafisika berada pada abstraksi ketiga, yaitu setelah fisika dan matematika. Demikian juga dengan kata “melebihi”, ia tidak menunjukkan unsur spasial, melainkan bahwa metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan abstraksi karena menempati jenjang abstraksi paling akhir. Istilah ini menunjukkan bagian filsafat yang perlu diajarkan sesudah fisika. Menurut Anton Bakker, setidak-tidaknya istilah metafisika telah dipakai pada abad ke- 3 SM.9 Wilayah kajian metafisika, sebagaimana diintrodusir oleh seorang filsuf Jerman, Christian Wolff, pada abad ke- 18 adalah ontologi di samping teologi metafisik, antropologi dan kosmologi. Ontologi berkaitan dengan filsafat tentang yang ada (being); teologi berkaitan dengan problematika filsafat ketuhanan; kosmologi berkaitan dengan filsafat alam; dan psikologi berhubungan dengan

7

Bertens, Sejarah Filsafat, hlm. 114. Ibid. Memang banyak berpandangan, bahwa istilah metafisika sudah dipakai sejaka abad 3 SM. Lihat Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum;Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta;Kanisius, 1992), hlm.15. 9 Ibid.hlm., 19. 8

4 filsafat manusia dengan problematikanya (mind). Kattsoff membagi metafisika menjadi dua: ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam dari yang ada, sedang kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban serta susunannya.10 Ontologi merupakan istilah lain dari metafisika. Hal ini bisa dilihat dari definisi ontologi itu sendiri. Ontologi berasal dari bahasa Latin: “ontos” (being atau ada) dan “logos” (knowledge atau pengetahuan).11 ontologi sama dengan metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakekat yang ada yang terdalam atau esensi terdalam dari yang ada. Oleh karenanya, ontologi sama dengan metafisika.12 C. Munculnya Skeptisisme tentang Tuhan Istilah Skeptisisme diambil dari bahasa Yunani “Skeptomai” yang secara harfiah berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau saya lihat dengan teliti”. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya meragukan”. Menurut redaksi lain, asal kata Skeptisisme memiliki arti pemeriksaan dengan seksama atau penelitian dan eksplorasi. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman, kata Skeptisisme memiliki makna yang berbeda, yakni seseorang yang mengambil posisi kognitif (pengetahuan faktual yang empiris) dan memiliki batasan dalam penolakan ilmu pengetahuan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia skep-tis berarti kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb). Sedangkan skeptis-isme yaitu aliran (paham) yang memandang sesutau selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang terhadap sesuatu yang belum tentu kebenarannya.13 Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke 17 mulai meragukan keTuhanan. Reformasi Protestan abad ke 16 sudah menolak 10

Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hlm. 76. 11 Samuel Enoch Stumpf, Phylosophical Problems (New York: McGraw-Hill, Inc., 1994), hlm.129. Lihat juga Warren E. Preece, et, al. (ed.) “ontology,” Encyclopaedia Britanica, vol. 16 (Chicago: Encyclopaedia Britanica Inc., 1965), hlm. 97 12 Warren E. Preece, et, al. (ed.) “ontology,” Encyclopaedia Britanica, vol. 16 (Chicago: Encyclopaedia Britanica Inc., 1965), hlm. 97 13 Ichwan Hakiem, Aliran Skeptisisme, diakses pada 29 Juni 2015, dari http://elmuzer.blogspot.com/2013/07/masisir-bersiap-sambut-pemilu-raya.html

5 banyak klaim Gereja. Dalam abad ke 17 empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhirya abad ke 18 muncul filosof-filosof matrealis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi duniawi. Pada abad ke 19 dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feuerbach, Marx, Nietzsche dan dari sudut psikologi, Freud. Pada abad ke 20 filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali sebagai mitos. Berikut perjalanan ke permulaan modernisasi; perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Modernitas dalam arti melalui rasionalisme dan masa pencerahan yang akhirnya disusul oleh penolakan terhadap ketuhanan atas nama kemajuan yang sendiri dikaitkan dengan kemenangan pandangan dunia ilmiah.14 Pada abad ke 13 di Eropa, manusia memandang segala sesuatu dari sudut Allah. – Dimana saat itu raja seolah diperlakukan seperti Paus –Tapi 400 tahun kemudian manusia menjadi titik acuan manusia. Apapun dipertanyakan dari sudut pandang manusia – Pada abad ke 14 Eropa yang bermula dari Italia menemukan kembali cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani pra Kristen. Eropa mulai mampu berpikir sendiri, Eropa juga membebaskan diri dari perspektif budaya yang secara eksklusif ditentukan oleh agama. Karena itu gerakan kembali ke warisan budaya Romawi dan Yunani pra Kristiani ini disebut Humanisme. Humanisme yang paling mencolok adalah pada zaman renaisance. Zaman pencerahan dan saintisme merupakan zaman revolusi intelektual, politik, dan sosial. Pada zaman ini manusia menghilangkan kepercayaankepercayaan irasional. Manusia dituntut untuk berani berpikir sendiri dan tidak percaya sesuatu yang tidak dapat di nalar. Pencerahan itu akibat dari empirisme yang melahirkan rasionalisme. Pada abad ke 19 dianggap sebagai puncak dari zaman pencerahan. Ciri dari zaman ini adalah kepercayaan manusia terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. 14

Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta: 2006, Kanisius), hlm. 44-45

6 Ilmu pengetahuan dianggap sebagai pemecah dari segala masalah manusia. David Hume juga mengkritik mengenai ajaran agama tentang mukjizat. Ada lima argumen yang dilontarkan. Pertama, sepanjang sejarah tak pernah ada mukizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua, adalah kecenderugan macam ini tidak membuktikan kebenaran adanya mukjizat. Ketiga, dalam sejarah mujizat hanya terjadi ketika manusia ini belum maju dalam ilmu pengetahuan, dan setelah ada kemajuan, ajaran tentang mukjizat justru dipersoalkan, maka sebetulnya mukjizat hanya diyakini oleh mereka yang berpikir infantil dan picik. Keempat, segala agama wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing, maka tidak pernah ada kesepakatan empiris tentang mukjizat yang benar. Kelima, semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan akan menemukan bahwa mukjizat adalah tafsiran para nabi belaka untuk memperkenalkan ajaran iman yang baru.15 D. Wacana Transendensi dan Imanensi Tuhan Upaya untuk mengenal Tuhan pada akhirnya bermuara pada pemahaman posisi Tuhan sebagai sesuatu yang transenden atau yang imanen atau yang Iainnya. Pengertian transenden pada pokoknya adalah menyatakan hubungan antara Tuhan di satu pihak yang dihayati dan manusia di pihak lain sebagai penghayat Tuhan. Di sini antara keduanya terdapat jarak. Transenden dalam artian ini

dilepaskan

atau

dibebaskan

(dengan

bahsa

kaum

Mu’tazilah

“ditanzihkan”disucikan) dari sifat-sifat duniawi yang terbatas. Tuhan sebagai Yang Transenden dan dinyatakan berada jauh di luar alam adalah Dzat Yang Maha Suci dan sering mengambil bentuk dalam pemikiran manusia sebagai sesuatu yang impersonal. Adapun pengertian Tuhan sebagai Yang Imanen adalah bahwa Tuhan berada dalam alam, berkebalikan dari yang pertama tadi. Dalam artian ini maka antara Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaan-Nya berada dalam satu kesatuan. Antara Tuhan dengan alam tidak terpisah. Tuhan adalah kosmos ini 15

F. Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, 2004, Gramedia Pustaka), hlm. 92

7 dalam keseluruhan dan kesatuan yang tidak pernah berubah. Ajaran ini dekat pada aliran panteisme. Sementara Tuhan sebagai yang transenden sekaligus imanen merupakan dua konsep yang saling menyempurnakan. Tuhan sebagai

Yang Transenden

berada jauh di luar jangkauan manusia sehingga dirasakan tidak lagi berhubungan dengan ciptaan-Nya, tidak lagi mengasihi hamba-Nya. Ini membuat posisi Tuhan seperti yang digambarkan pengikut Deisme, Tuhan tidak campur tangan dan tidak peduli dengan alam ini. Sementara itu Tuhan sebagai yang Imanen memang menempatkan Tuhan dekat dengan ciptaan-Nya, bahkan bisa dipahami sebagai semua Tuhan, sebagaimana yang dilkuti kaum panteisme. Yang ingin diraih dan cara melihat Tuhan baik sebagai Yang Transenden maupun yang Imanen adalah kedekatan manusia dengan penciptanya sehingga Tuhan bukan lagi sesuatu yang asing dan jauh dari hamba-Nya, tetapi juga diharapkan tidak sampai pada personifikasi dan materialisasi wujud Tuhan. Untuk itu digunakanlah alam sebagai sarana-Nya. E. Pembuktian Adanya Tuhan Dalam Filosof Barat Teologi

metafisik

merupakan

wilayah

kajian

metafisika

yang

membicarakan tentang Tuhan. Tuhan sebagai obyek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua obyek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat ditangkap indera. Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu memandang Tuhan sebagai titik awal pembahasannya. Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi, moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat dibanding dari pendekatan agama maupun ilmu di

8 atas. Ilmu terbatas pada pembuatan deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari keyakinan terhadap satu dokrin. a. Argumen Ontologis Argumen ontologis tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi argumen ini berdasarkan pada logika semata-mata. Argumen ontologis ini pertama kali dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teori alam idenya. Alam semesta ini merupakan memesis dari alam ide. Alam ide berada di luar alam nyata dan ide-ide itu kekal. Benda-benda yang tampak di alam nyata dan senantiasa berubah, bukanlah sebuah hakikat tetapi hanya bayangan. Yang mutlak baik (the absolute good) itu adalah sumber, tujuan dan sebab dari segala yang ada. Yang mutlak baik itu disebut Tuhan. Argumen ontologis juga dikembangkan oleh Agustinus (354430 M). Menurut Agustinus manusia mengetahui dari pengalamannya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Akal manusia mampu mengetahui adanya kebenaran. Dengan kata lain, akal manusia mengetahui bahwa diatasnya masih ada suatu kebenaran tetap. Kebenaran yang tidak berubah-ubah itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam mengetahui apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itu merupakan kebenaran mutlak dan kebenaran mutlak itu yang disebut dengan Tuhan. Anselmus dari Canterbury (1033-1109 M) juga mengembangkan argumen ontologis. Ia lahir di Italia pada tahun 1093 menjadi uskup agung Canterbury. Menurut Anselmus, manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesarannya tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu yang Maha Besar, Maha Sempurna, sesuatu yang tidak terbatas. Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalam hakikat, sebab kalau ia tidak memiliki wujud dalam hakikat dan hanya mempunyai wujud dalam pikiran, zat itu tidak mempunyai zat lebih besar dan sempurna daripada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam alam hakikatnya lebih besar dan sempurna daripada mempunyai wujud dalam alam pikiran saja. Anselmus beranggapan untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh

9 manusia. Anselmus menginginkan kepercayaan atau keyakinan yang ditimbulkan oleh agama tumbuh menjadi pengertian dalam sebuah landasan keilmuan. Untuk memperoleh pendasaran epistemologis mengenai kepercayaan (intelectus Fidei) ini, Anselmus mulai dengan satu pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap orang Tuhan itu berarti Yang Maha Tinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia.16 Menurut Anselmus yang Maha Besar (Maha Tinggi) dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu mustahil hanya terdapat di dalam alam pikiran saja, sebab andai kata demikian halnya, sudah barang tentu dapat dipikirkan pula bahwa yang Maha Besar itu juga terdapat di dalam alam kenyataan, hingga dengan demikian yang Maha Besar itu makin menjadi yang terbesar. Jadi tidak boleh tidak yang Maha Besar dan Maha Tinggi itu harus ada pula di dalam kenyataan. Dari hal inilah titik tolak argumen Anselmus melalui jalan ontologis untuk menuju Tuhan. Dalam pernyataan Allah itu ada, subjeknya: Allah atau eksistensi substansial Ilahi, sudah memuat predikat ada, karena disitu termuat totalitas kesempurnaan-kesempurnaan; tidak seorangpun menyangkal bahwa eksistensi Tuhan sungguh-sungguh identik dengan essensi-Nya, bahkan lebih lagi eksistensi itu adalah secara formal adalah esensinya. Jadi nampaknya pernyataan Allah itu ada, bagi yang mengerti artinya perkataan itu mempunyai kejelasan langsung yang sama dengan pernyataan ini, kuadrat itu mempunyai empat sudut atau lingkaran itu bulat. Hanya saja esensi Tuhan, pada diri-Nya sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita. Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap sendiri tidak dapat ditangkap oleh roh kita, Akibatnya kebenaran dari adanya itu tetap tinggal tidak 16

Dalam tinjauan historis, pembuktian Anselmus yang terkenal itu dapat dijumpai untuk pertama kali dalam karyanya Proslogion. Pada waktu itu, ia menjabat sebagai kepala biara di Bec. Dalam suatu karya yang mendahuluinya Monologion, Anselmus telah menunjukkan bagaimana refleksi rasional dapat menemukan kebenaran-kebenaran iman. Buku itu memuat sejumlah besar argumen, apakah tidak mungkin menemukan satu argumen yang memadai untuk membuktikan, eksistensi Tuhan, ciri ke-Maha Kuasa-annya, kebutuhan setiap makhluk akan Dia, sehingga Anselmus menerbitkan Proslogion, yaitu sebuah argumen yang menggantikan argumen-argumen lain yang tersebar-sebar merupakan sebuah inti masalah yang dikembangkan oleh seluruh teologi. Eksistensi Tuhan itu sedemikian niscaya adanya, sehingga pengingkarannya pun bahkan tak te...


Similar Free PDFs