Konsep Pengembangan Wilayah Perdesaan Studi Kasus : Agropolitan Kecamatan membalong Kabupaten Belitung PDF

Title Konsep Pengembangan Wilayah Perdesaan Studi Kasus : Agropolitan Kecamatan membalong Kabupaten Belitung
Author Desy D.S
Pages 31
File Size 1.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 388
Total Views 474

Summary

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan yang berjudul “Pengembangan Wilayah Perdesaan: Studi Kasus Agropolitan Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung” dapat tersusun dengan baik. Laporan ini merupakan pemenuhan t...


Description

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan yang berjudul “Pengembangan Wilayah Perdesaan: Studi Kasus Agropolitan Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung” dapat tersusun dengan baik. Laporan ini merupakan pemenuhan tugas IV mata kuliah Perencanaan Wilayah Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Penulis menyadari bahwa laporan ini dapat tersusun berkat peran serta dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu Ketut Dewi Martha Erli.H, ST.MT dan Ibu Ema Umilia, ST.MT. selaku dosen mata kuliah Perencanaan Wilayah kelas C, atas arahan dan bimbingan beliau yang sangat membantu dalam penyusunan laporan. 2. Kedua orang tua dan keluarga yang telah mendukung selama masa studi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 3. Rekan-rekan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam laporan ini. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kebermanfaatan laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Surabaya, 20 Mei 2017

Penulis,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 1 DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 3 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 3 1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 4 1.3 Sistematika Penulisan ................................................................................................. 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................................... 5 2.1 Masalah Polarisasi Pembangunan Desa-Kota ............................................................. 5 2.2 Perspektif Keterkaitan Desa-Kota ................................................................................ 5 2.3 Konsep Agropolitan ..................................................................................................... 8 2.3 Analisis SWOT .......................................................................................................... 10 BAB III GAMBARAN UMUM ............................................................................................... 12 3.1 Gambaran Umum Kawasan Agropolitan Membalong ................................................ 12 3.2 Gambaran Umum Desa Prepat Sebagai Pusat Pertumbuhan ................................... 13 3.3 Identifikasi Potensi dan Masalah ............................................................................... 14 BAB IV ANALISIS ............................................................................................................... 17 4.1 Analisis Persoalan Pengembangan Wilayah .............................................................. 17 4.1.1 Analisa Keterkaitan antar daerah dalam Kawasan Agropolitan Perpat ................ 17 4.1.2 Analisa SWOT .................................................................................................... 19 4.2 Konsep Penanganan Persoalan Pengembangan Wilayah ......................................... 24 4.3 Upaya dan Rekomendasi .......................................................................................... 26 BAB V PENUTUP ............................................................................................................... 29 5.1 Kesimpulan................................................................................................................ 29 5.2 Lesson Learned ......................................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dialami oleh Indonesia adalah permasalahan kesenjangan antara masyarakat perdesaan dengan masyarakat perkotaan. Kesenjangan antara desa-kota dapat terjadi karena adanya dampak backwash effect oleh kota terhadap perdesaan. Back wash effect merupakan fenomena penyerapan sumber daya berlebih oleh perkotaan terhadap perdesaan. Dampak backwash effect tersebut sudah banyak terjadi di perkotaan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan faktor penarik dari perkotaan yang semakin kuat dan didukung oleh faktor pendorong dari desa. Pembangunan fisik maupun non fisik yang terus berkembang di perkotaan tidak diimbangi dengan pembangunan yang terjadi di perdesaan. Hal tersebut memicu fenomena migrasi berlebihan dari perdesaan ke perkotaan. Migrasi merupakan bentuk respon dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Fenomena migrasi menjadi salah satu bentuk keterkaitan desakota yang dapat ditemui di Indonesia dengan mudah. Keterkaitan desa-kota dapat menyebabkan dua effect yang sangat bertolak belakang tergantung hubungan antara perdesaan dengan perkotaan yang terjadi. Effect tersebut yaitu backwash effect dan spread effect. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa backwash effect merupakan dampak negatid terhadap perdesaan (daerah hinterland) akibat perkembangan perkotaan (daerah inti). Backwash effect merupakan bentuk keterkaitan desa-kota yang eksploitatif karena hanya memberikan surplus kepada salah satu wilayah, yang umumnya berupa aliran dari desa ke kota. Kemudian, spread effect merupakan dampak yang terjadi karena kawasan inti (perkotaan) mendukung dan mendorong perkembangan wilayah hinterlandnya (perdesaan). Spread effect merupakan dampak positif yang dapat terjadi dalam hubungan perkotaan dengan perdesaan. Spread effect merupakan bentuk hubungan desa-kota yang generatif yaitu mendorong perkembangan secara berimbang antara perdesaan dengan perkotaan. Spread effect merupakan dampak positif yang diharapkan terjadi antara perkotaan dengan perdesaan di Indonesia. Namun pada kenyataannya, hubungan perkotaan dengan perdesaan malah memberikan dampak bakcwash effect hingga menyebabkan kawasan hinterland perkotaan menjadi kawasan yang tertinggal. Perlu konsep pengembangan kawasan untuk memecahkan permasalahan backwash effect yang etrjadi anatar perkotaan dengan perdesaan. Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk menanggulangi hal tersebut adalah konsep pengembangan kawasan perdesaan agropolitan. Konsep agropolitan ini sudah menjadi konsep pengembangan wilayah perdesaan yang faimiliar atau diketahui masyarakat luas. Beberapa wilayah di Indonesia juga telah menerapkan konsep agropolitan ini dalam mengembangkan perdesaan. Namun, hingga saat ini hanya beberapa wilayah yang berhasil menerapkan konsep tersebut untuk mengembangkan kawasan perdesaan. Banyak wilayah yang gagal dalam menerapkan konsep agropolitan dan masih terdapat beberapa wilayah yang belum menerapkan konsep agropolitan dalam mengembangkan wilayahnya. Kegagalan konsep agropolitan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor salah satu nya adalah hubungan kelembagaan yang kurang baik anatar perdesaan dengan perkotaan. Salah satu contoh wilayah yang menerapkan agropolitan namun masih belum berkembang adalah kawasan agropolitan Perpat yang berada di Kabupaten belitung Provinsi Bangka Belitung. Kawasan agropolitan Perpat ini sudah menjadi salah satu program pemerintah provinsi yang telah ditetapkan dan dituangkan

dalam Surat Keputusan Bupati Belitung. Hal tersebut menunjukkan bahwa kawasan Agropolitan ini mendapat dukungan dari pemerintah provinsi untuk mengembangkannya lebih lanjut. Namun, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kawasan agropolitan Perpat ini sehingga masih belum berkembang sesuai yang diharapkan. Untuk itu, perlu untuk melakukan studi lebih lanjut terhadap Kawasan Agropolitan ini agar dapat berkembang dan mampu mengurangi kesenjangan yang terjadi antara kawasan iinti (kawasan perkotaan Kabupaten Belitung) dengan kawasan hinterlandnya (kawasan perdesaan kabupaten Belitung). 1.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: 1. Memahami persoalan pengembangan wilayah meliputi faktor penyebab timbulnya persoalan, dampak dan implikasinya, serta upaya dan rekomendasi dari berbagai referensi. 2. Mampu mengidentifikasikan faktor penyebab timbulnya persoalan pengembangan wilayah dan menilai dampak atau implikasi persoalan tersebut. 3. Mampu menyusun upaya serta rekomendasi untuk mengatasi persoalan pembangunan wilayah. 4. Mampu menyusun lesson learned terkait upaya untuk mengatasi persoalan pembangunan wilayah. 1.3 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, tujuan penulisan dan sistematika penulisan laporan BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi identifikasi persoalan pengembangan wilayah dan gambaran umum persoalan pengembangan wilayah. BAB III GAMBARAN UMUM Bab ini berisi gambaran umum wilayah, gambaran umum kawasan agropolitan dan identifikasi potensi dan masalah BAB IV ANALISIS Bab ini berisi analisis persoalan pengembangan wilayah dan konsep penanganan persoalan pengembangan wilayah BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan lesson learned

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Masalah Polarisasi Pembangunan Desa-Kota Singer (1964) dalam Rustiadi menjelaskan bahwa polarisasi desa-kota telah menjadi isu pembangunan sejak tahun 1950-1960 an, terutamanya di negara-negara berkembang, dimana peran kota atas desa dipertanyakan. Pada era tersebut pandangan filosofis pembangunan masih didominasi oleh model ekonomi Lewis. Teori Lewis menjelaskan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan diperlukan adanya transfer surplus dari sektor/kawasan pertanian ke industri-industri perkotaan. Transfer surplus ini dapat terjadi dengan melalui pengambilan atau penarikan sumberdaya manusia (tenaga kerja), modal, dan sumberdaya lainnya oleh perkotaan untuk kepentingan pembangunan. Pada akhir tahun 1950-an, muncul pemahaman-pemahaman atas fakta yang terjadi, dimana kecenderungan konsentrasi manfaat pertumbuhan ekonomi hanya berpusat pada satu atau beberapa kota utama saja. Sehingga transfer surplus yang digunakan untuk kepentingan pembangunan justru menurunkan potensi desa untuk berkembang. Selain karena keterbatasan kapasitas sumberdaya, faktor lain yang menghambat dan mengakibatkan keterbelakangan kawasan desa adalah karena keterkaitan antara desa-kota memiliki hubungan yang eksploitatif, hal ini bisa dilihat dari adanya fenomena backwash effect. Dimana kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi wilayah-wilayah perdesaan. Backwash effect adalah kondisi ketidakseimbangan antar wilayah, dimana wilayah terbelakang selalu “dimanfaatkan” oleh wilayah yang lebih maju, maka perkembangan ekonomi wilayah maju semakin meningkat dan sebaliknya perkembangan ekonomi wilayah terbelakang semakin terbelakang. Kesenjangan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan dapat terjadi akibat dari hubungan yang erat antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Kondisi inilah yang memunculkan teori ketergantungan (dependency theory). Teori ini menerangkan bahwa buruknya sistem keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan merupakan masalah yang memiliki perspektif global. Kecenderungan metropolitan di negara berkembang memiliki ketergantungan yang tinggi dengan sistem ekonomi negara-negara di belahan utara. Bentuk keterkaitan antara desa dan kota salah satu diantaranya adalah adanya fenomena migrasi. Migrasi merupakan bentuk respon dari masyarakat dengan harapan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Akibat dari kesenjangan antara desa dan kota, makin memperderas arus migrasi (faktor pendorong). 2.2 Perspektif Keterkaitan Desa-Kota Dalam perspektif mengenai keterkaitan perdesaan dan perkotaan atau rural urban linkage, linkage sendiri dapat diartikan sebagai segala bentuk keterkaitan baik berupa aliran (flow) dan interaksi (interaction) yang dapat terjadi antara desa dan kota. Keterkaitan desa kota pada dasarnya bertujuan untuk membentuk kesatuan sistem yang saling menguntungkan antara desa dan kota serta elemen elemen pendukungnya. Hubungan keterkaitan ini biasanya berupa transfer hasil panen atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari perkotaan.

Douglass (1998) dalam Rustiadi menjelaskan bentuk keterkaitan antara desa-kota dengan 5 (lima) tipe aliran yaitu orang/penduduk, produksi, komoditas, modal dan informasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

KETERKAITAN ALIRAN DESA-KOTA

Struktur Perdesaan/ Perubahan Struktural • Struktur sosialekonomi/ keterkaitan

Penduduk •

Migrasi/komutasi tenaga kerja Migrasi lain (pendidikan) Belanja/kunjungan/penju alan

• •

Produksi • •

• Ekonomi (sektor) perdesaan

Keterkaitan ke hulu (input) Keterkaitan ke hilir (pemrosesan, pengolahan)

Komoditas • Produksi Perdesaan

• •

• Sumberda ya alam dan lingkungan



• Lingkunga n infrastrukt ur bangunan

Input Barang konsumsi tahan lama tak tahan lama Produk perdesaan

Modal/pendapatan • • •

Nilai tambah Tabungan/pinjaman Remiten

Informasi • • •

Produksi/jasa penjualan/hari Kesejahteraan/sosial/pol itik Tenaga kerja

Fungsi Perkotaan

• Pekerja non pertanian • Pelayanan perkotaan • Penawaran produksi • Barangbarang tahan lama dan tak tahan lama • Pasar penjualan produk • Informasi pekerjaan

INTERVENSI Agrarian reform Intensifikasi dan diversifikasi pertanian Koperasi

• Jalan/transpor tasi • Listrik • Komunikasi • Pelabuhan/ba ndara

• Pusat pasar • Outlets komersil • Perbankan/perkreditan • Infrastruktur perkotaa • Layanan komunikasi

Program-program lingkungan Irigasi, fasilitas pergudangan dan infrastruktur perdesaan lainnya

Gambar 1. Keterkaitan Aliran Desa-Kota Sumber : survey sekunder, 2017 Lebih jauh, Rondinelli (1985) dalam Rustiadi menjelaskan bahwa bentuk linkage dapat dikelompokkan menjadi hubungan fisik, ekonomi, teknologi, population movement, sosial, service delivery, dan berbagai hubungan-hubungan politik. Berikut adalah tabel yang menjelaskan. Tabel 1.Bentuk linkage Tipe Keterkaitan fisik

Elemen-elemen Jaringan jalan Jaringan transportasi sungai dan air Jaringan kereta api Ketergantungan ekologis

Keterkaitan ekonomi

Pola-pola pasar Arus bahan baku dan barang antara Arus modal, keterkaitan produksi (bacward-forward) dan lateral Ola konsumsi dan belanja Arus pendapatan Arus komoditi sektoral dan interregional “cross

linkage” Keterkaitan pergerakan penduduk

Migrasi temporer dan permanen Perjalanan kerja

Keterkaitan teknologi

Kebergantungan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi

Keterkaitan interaksi sosial

Pola visiting Pola kinship Kegiatan rites, ritual, keagamaan Interaksi kelompok sosial

Keterkaitan delivery pelayanan

Arus dan jaringan energi Jaringan kredit dan finansial Keterkaitan pendidikan, pengembangan

training,

dan

Sistem delivery pelayanan kesehatan Ola pelayanan profesional komersial dan teknik Sistem pelayanan transportasi Keterkaitan politik, administrasi dan Hubungan struktural organisasi Arus budget pemerintah Kebergantungan organisasi Pola otoritas approval supervisi Pola transaksi inter yuridiksi Rantai keputusan politik informal Sumber : Survey sekunder, 2017 2.3 Konsep Agropolitan Friedman dan Douglass (1978) mengusulkan sebuah konsep agropolitan sebagai solusi pembangunan yang tidak seimbang antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pengembangan agropolitan diciptakan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan di daerah. Teori ini mendukung paradigma pembangunan dari bawah yang muncul sebagai pendekatan pembangunan yang mengutamakan kekuatan lokal.

Rustiadi (2005) mendefinisikan agropolitan sebagai kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri atas satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis) pada wilayah produksi pertanian tertentu yang ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis, yang terwujud baik melalui ataupun tanpa melalui perencanaan formal. Rustiadi (2009) menjelaskan bahwa pengembangan agropolitan merupakan suatu upaya memperendek jarak antara masyarakat di kawasan sentra pertanian dengan pusat-pusat pelayanan konvensional (yang berkembang tanpa orientasi kuat pada pengembangan kegiatan pertanian). Tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep pembangunan wilayah perdesaan adalah untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ertanian, baik yang dibutuhkan sebelum proses produksi, dalam proses produksi maupun setelah proses produksi. Upaya tersebut dilakukan dengan melalui pengaturan lokasi permukiman penduduk, lokasi kegiatan produksi, lokasi pusat pelayanan dan peletakan jaringan prasarana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Kawasan agropolitan adalah kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk sedang dengan karakteristik sebgai berikut: (1) Peran sektor pertanian sampai ke tingkat agro-processing dan jasa perdagangan (agribisnis) tetap dominan; (2) Sistem permukiman tidak selalu memusat, tetapi tersebar pada skala minimal sehingga dapat dilayani oleh pelayanan infrastruktur seperti listrik, air minum, ataupun telekomunikasi. Infrastruktur yang tersedia dapat melayani keperluan masyarakat untuk pengembangan usaha pertaniannya sampai ke aktivitas pengelolaannya. (3) Aksesibilitas yang baik dengan pengaturan pembangunan jalan sesuai dengan kelas jalan yang dibutuhkan dari jalan usaha tani sampai ke jalan kolektor dan jalan arteri primer.

Gambar 2. Ilustrasi Kawasan Agropolitan Sumber: Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan, 2002

2.3 Analisis SWOT David (2004) mengemukakan bahwa analisa SWOT adalah perangkat pencocokan terhadap kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dengan peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Dalam melakukan analisa SWOT sendiri, faktor-faktor yang harus diidentifikasi yaitu dari faktor internal yang meliputi strength dan weakness serta faktor eksternal yang meliputi opportunities dan threats. 1) Kekuatan (strength) Kekuatan menurut adalah potensi yang berasal dari faktor-faktor internal yang menjadi keunggulan. 2) Kelemahan (weakness) Kelemahan adalah masalah yang ada dalam internal yang merugikan. 3) Peluang (opportunities) Peluang mengacu kepada faktor-faktor eksternal yang menguntungkan yang dapat menjadi keunggulan. 4) Ancaman (threats) Ancaman mengacu pada faktor-faktor eksternal yang berpotensi merugikan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan. Faktor internal dimasukkan kedalam matriks IFAS

atau internal strategic factor analsis summary, dan faktor eksternal dimasukkan kedalam matriks EFAS atau eksternal strategic factor analisis summary. Kekuatan (Strenght)

Kelemahan (Weakness)

Peluang (Opportunity)

Strategi ini memanfaatkan kekuatan Strategi ini memanfaatkan atas peluang yang telah peluang untuk mengurangi diidentifikasikan kelemahan

Ancaman (Threat)

Strategi ini mencoba mencari kekuatan Strategi ini mencoba ...


Similar Free PDFs