Konstruksi Gender dalam Budaya PDF

Title Konstruksi Gender dalam Budaya
Author Melda Savitri
Pages 14
File Size 302.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 210
Total Views 795

Summary

Konstruksi Gender dalam Budaya Oleh Dra. Fransiska I.R. Dewi., M.Si dan Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 1 Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sa...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Konstruksi Gender dalam Budaya Melda Savitri kajian.uii.ac.id

Related papers KONSEP DAN ANALISIS JENDER Reza Nuhuyanan

Haruskah Keset araan Gender Berlaku ? Ajat Sudrajat GENDER DAN PENDIDIKAN ISLAM Agik Kdr

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Konstruksi Gender dalam Budaya Oleh Dra. Fransiska I.R. Dewi., M.Si dan Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd 1

Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.

Gender, apa itu? dimana dia? Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan 1

Dra. Fransiska I.R. Dewii, dosen Fak. Psikologi Univ. Tarumanegara, Drs. Muhammad Idrus, M.Pd, dosen FIAI UII Yogyakarta, saat ini menempuh program doktor Psikologi UGM Yogyakarta

1

biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan. Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya menumbuhsuburkan banyak

asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub-

ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat, dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun. Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional, lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll. Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun dalam kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki-laki dan perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama), juga di kalangan perempuan. Dalam analisisnya Fakih (1999) mencatat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya penolakan penggunaan analasis tersebut. Pertama, mempertanyakan status perempauan identik dengan menggugat konsep-konsep yang telah mapan. Kedua, adanya

kesalahpahaman

tentang

mengapa

permasalahan

kaum

perempuan

dipersoalkan? Ketiga, diskursus tentang relasi laki-laki perempuan pada dasarnya membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi masingmasing serta menyangkut "hal-hal khusus" yang dinikmati oleh setiap individu.

2

Idrus (1999b) mentengarai penolakan itu terjadi salah satunya disebabkan oleh "main frame" budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan, sehingga sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang bernama

budaya.

Setidaknya

kasus

penelitian

Kohlberg

tentang

tahapan

pengembangan moral membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-posisi laki-laki lebih dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang menyatakan bahwa sulit dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip imperatif (kategoris, hipotesis) (Idrus, 1997). Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa anak perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan lain-lain permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan, atau jika ada anak laki-laki yang bermain seperti perempuan lingkungan sekitar menyebutnya (maaf) banci). Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak, anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah

--tentunya juga

mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki-- Proses pewarisan nilai ini pada akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role ideology, Matsumoto, 1996).

3

Peran Jender: Warisan Biologis atau Budaya Gender

adalah

suatu

konstruk

yang

berkembang

pada

anak-anak

sebagaimana mereka disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya usia, anak-anak mempelajari perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan tidak sesuai --dalam terminologi budaya mereka-- dengan jenis kelamin mereka, serta mengadopsi atau menolak peran-peran gender tersebut. Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin, tetapi tanpa gender. Pada saat lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada phase kehidupan selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang dewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias gender pada individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman anak laki-laki dan perempuan berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi budaya yang didasarkan pada perbedaan biologis. Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap saling tumpang tindih dalam memaknainya, yaitu peran jender dan peran jenis kelamin. Virginia Prince (dalam Matsumoto, 1996) memberi makna peran jender (gender roles) sebagai derajat dimana seseorang mengadopsi perilaku yang sesuai atau spesifik jender yang diberikan oleh budayanya. Lebih lanjut Prince memaknai peran jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku dan pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan yang secara langsung dihubungkan dengan perbedaan biologis dan proses reproduksi. Mengacu pada pendapat Prince ini, maka peran jenis kelamin merupakan satu aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Peran jenis kelamin (sex roles) yang ada dalam masyarakat misalnya laki-laki membuahi sel telur dan perempuan hamil serta melahirkan anak-anaknya. Pada giliran berikutnya perbedaan biologis dan system reproduksi ini membawa implikasi pada perbedaan jender. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan jender yang ditemukan dari banyak budaya dii seluruh dunia adalah perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan rumah

untuk

memperoleh

makanan

(Berry dan

Child;

Prince;

Low;

dalam

Matsumoto,1996).

4

Perbedaan gender tersebut membawa keuntungan khususnya bagi laki-laki yaitu (1) laki-laki dapat memberikan jaminan pada keluarga untuk tetap melangsungkan hidupnya (survive) dengan tercukupinya kebutuhan keluarga yang selanjutnya anakanak akan dapat meneruskan pekerjaan ayahnya kelak. (2) Kesempatan untuk ekspresi seksual. Bila laki-laki membangun kehidupan dengan perempuan yang diberi makanan

dan kesempatan hidup lainnya, maka laki-laki dapat mengharapkan

hubungan seksual. Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki-laki dan perempuan membawa pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda. Jika perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait ‘pengasuhan’ (nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah melahirkan membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya, perempuan mengembangkan hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara perempuannya, saudara ipar, sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini membawa trait pada ‘kepekaan hubungan’ (relatedness). Demikian mengembangkan

halnya, trait

laki-laki

tertentu

yang

yaitu

pergi

mencari

agresivitas

dan

nafkah/makanan, ketrampilan

dalam

juga hal

kepemimpinan dan tanggungjawab (diperlukan untuk melindungi keluarga) serta status dalam komunitasnya. Kombinasi hal-hal tersebut, membuat laki-laki akan nyaman dalam suatu hubungan dengan perempuan yang melibatkan dominasi daripada kesetaraan. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan satu tuntutan universal yang mendapat dukungan dalam proses sosialisasi yaitu bahwa laki-laki harus kuat, percaya diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan mempunyai sifat pengasuhan, orientasinya pada suatu hubungan. Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, seperti: 1. Agresivitas milik laki-laki. Dalam

beberapa budaya, laki-laki disosialisasikan

berperilaku lebih agresif daripada perempuan. Bobby Low (1989) meneliti tentang agresivitas laki-laki yang dihubungkan dengan kompetisi untuk menarik perhatian

5

perempuan. Agresivitas memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumbersumber dalam masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Menurut Murdock (1981) sebagian besar masyarakat di dunia menganut sistem perkawinan poligini. Dalam system ini agresivitas sangat dihargai

dan anak laki-laki

disosialisasikan untuk bereperilaku agresif. Meski demikian hasil penelitian Idrus (2000) menemukan temuan menarik yang mengindikasikan bahwa perempuan memiliki tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibanding laki-laki. 2. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan.

Bila laki-laki

agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan. Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi -terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka--. Secara eksplisit dalam budaya muncul idion swargo nunut, neroko katut (ke surga ikut, ke neraga turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami, bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi laki-laki karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-aturan umum sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari jenis kelaminnya, tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas, menghendaki tingkat kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang dimilikinya. 3. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat aktivitas yang tinggi daripada

perempuan,

sejak

kecil

disosialisasikan

dalam

bentuk-bentuk

permainannya, Mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah, macam permainannya seperti sepak bola, basket dan banyak aktivitas lainnya yang menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah. Sementara itu perempuan dicirikan dengan permainan-permainan yang sedikit sekali memerlukan tenaga, seperti bermain pasar-pasaran. Pada akhirnya jika ada anak perempuan yang melakukan

aktivitas

seperti

anak

laki-laki,

lingkungan

sekitarnya

akan

"mencibirkannya", dan kita biasa memberinya julukan sebagai tomboy.

6

4. Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan) dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan kondisi perempuan yang lemah setelah proses kelahiran anaknya dan adanya tuntutan untuk mengasuh, merawat anak-anaknya, yang pada akhirnya peempuan mengembangkan dan memelihara hubungan baik. Hal ini sangat dibutuhkan perempuan untuk ‘menjaga’ (secure) bila perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan pengasuhan anak. Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara lakilaki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya, sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum banyak. Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal. Perbedaan tersebut ditunjukan setelah melalui serangkaian tes masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan tinggi. Namun,

beberapa

kemudian

Berry (dalam Matsumoto, 1966) tidak

menemukan adanya perbedaan spasial antaar laki-laki dan perempuan dalam budaya suku bangsa Inuit di Kanada. Menurut Berry, perbedaan gender tidaklah ada karena ‘kemampuan

spasial

merupakan

adaptasi

yang

baik/tinggi

untuklaki-laki

dan

perempuan dalam budaya Inuit. Anak laki-laki dan perempuan Inuit mempunyai latihan

7

dan pengalaman yang cukup banyak untuk mengembangkan perolehan dalam hal kemampuan spasial. Dalam penelitian sebelumnya Berry dan teman-temannya (dalam Matsumoto, 1996) menemukan bahwa, superioritas laki-laki pada spasial tertentu banyak ditemukan dalam budaya yang ketat atau relatif homogen, agrikultur, sementara spasial perempuan banyak ditemukan dalam budaya terbuka, nomadic dan masyarakat pengumpul dan peramu. Dalam budaya tersebut, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi laki-laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota suatu budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kelompok. Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender antara suku bangsa yang ada.

Sebagai misal beberapa suku di tanah Sumatra

memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru sebaliknya. Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah lainnya di Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran selanjutnya, posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah konstruksi gender sebagaimana saat ini ada.

ASPEK PSIKOLOGIS PEMBEDA KONSTRUKSI GENDER Seperti telah diungkap di atas, ada beberapa perilaku psikologis yang ditengarai hanya dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, dan tentu saja kontruksi ini memiliki bias gender. Sebab, pada dasarnya jika perilaku tersebut bukan karena kondisi biologis yang memnyebabkannya harus seperti itu, maka nuansa bias gender sebagai hasil kontruksi budaya mewarnai pemikiran di atas. Beberapa aspek psikologis tersebut antara lain: perceptual/spatial/kemampuan kognitif, konformitas dan kepatuhan serta agresivitas. Kembali merujuk pada tulisan Maccoby dan Jacklin (1974) yang mengungkap bahwa laki-laki diindikasikan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam bidang

8

matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran dibandingkan perempuan, sementara kelebihan perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal. Barangkali hal inilah yang kerap menjadikan adanya ucapan verbal yang sangat khas, yaitu perempuan kerap mengungkap " saya rasa...", sementara laki-laki untuk mengungkap apa yang dirasa dengan kalimat "saya pikir...". Hingga pada akhirnya orang menyebut laki-laki lebih sering menggunakan akal dan pikirannya, sementara perempuan menggunakan rasa afeksinya. Lantas, apakah hal ini keliru? Tampaknya kita harus melirik konsep yang diajukan oleh Goleman tentang kecerdasan emosional. Jika pada beberapa dekade lalu di banyak negara, tes kecerdasan (tes IQ) menentukan mungkin tidaknya seseorang memasuki dunia pendidikan tinggi, atau dunia kerja. Namun belakangan, tes IQ ini mendapat kritik yang cukup tajam, terlebih dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, bahkan secara fantastik Goleman menyebut bahwa kecerdasan hanya menentukan 20 % dalam keberhasilan seseorang, sedangkan sisanya 80 % ditentukan oleh kelas dalam kehidupan, kecerdasan emosi, dan lain-lain. Kritik tajam ini jelas mengharuskan kalangan psikolog untuk secara cermat kembali mengevaluasi tentang alat tes IQ tersebut (Idrus, 1999a) Lalu apa kaitannya dengan tema ini, hal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan betapa kecerdasan kognitif yang dicirikan dengan tingginya skor IQ dari hasil tes IQ tidak menjamin keberhasilan kehidupan seseorang di masa datang. Justru kemampuan afeksi sebagai wujud kecerdasan emosional lebih merupakan harapan akan kesuksesan masa depan. Artinya, selama ini masyarakat kita keliru yang me...


Similar Free PDFs