KEADILAN GENDER DALAM AL-QUR'AN PDF

Title KEADILAN GENDER DALAM AL-QUR'AN
Author Fatkhur Rozi
Pages 23
File Size 2 MB
File Type PDF
Total Downloads 239
Total Views 767

Summary

KEADILAN GENDER DALAM AL-QUR’AN Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah : Studi al-Qur‟an Dosen Pengampu : Ust. Ahmad Kholil, M.Fil. Disusun Oleh : Fatkhur Rozi (11310096) BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

KEADILAN GENDER DALAM ALQUR'AN Fatkhur Rozi

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

JILBAB DALAM PANDANGAN ISLAM (Analisis Tafsir al-Qur’an Surat al- Ahzab (33): 59. sulassri mulyani

Pemikiran Muhammad Sharur.docx achmad amin Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh t ent ang Hukum Keluarga: St udi Analisis Perspekt if Jender Muhammad Munawir

KEADILAN GENDER DALAM AL-QUR’AN Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah : Studi al-Qur‟an Dosen Pengampu : Ust. Ahmad Kholil, M.Fil.

Disusun Oleh : Fatkhur Rozi (11310096)

BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULTAS HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perempuan, di berbagai belahan dunia mana pun, ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksplorasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang, walaupun cantik tidak diakui eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, di antara para filosof pun ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki. Aristoteles1 menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitaskualitas tertentu. St. Thomas Aquinas juga mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna.2 Kondisi semacam ini tidak hanya berjalan di kebudayaan barat saja, akan tetapi juga berkembang di wilayah-wilayah yang notabenenya beragama Islam yang sering mengklaim dirinya sebagai agamah yang Rahmatan Lil Alamin. Hal ini dikarenakan sejak awal mula pembentukan ilmu tafsir hingga saat ini, ilmu tafsir masih terus didominasi oleh kalangan laki-laki yang cenderung untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan persepsi “kelelakiannya” hingga wanita masih saja diskreditkan di masyarakat Islam berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut. Al-Qur‟an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, al-Qur‟an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.3 Selama dua puluh tiga tahun, kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.

1

. Raman Salden. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Djoko Pradopo. (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991). Hal. 135. 2 . Sugihastuti dan Suharto. Kritik sastra Feminis : Teori dan Aplikasinya. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002). Hal. 32. Lihat Juga, Raman Salden, Ibid. 3 Al-Qur‟an berkali-kali menyebut dirinya sebagai huda (petunjuk). Misalnya saja, ayat kedua surat al-Baqarah berbunyi: “Kitab (al-Qur‟an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. 1

Kini, al-Qur‟an sebagai teks wahyu sudah berhenti seiring dengan meninggalnya nabi Muhammad. Umat islam tidak bisa menyapa lagi beliau sebagai sang pembawa al-Qur‟an. Sekarang, umat islam hanya bisa membaca dan memahami al-Qur‟an sebagai teks bahasa (mushaf Utsmani) dengan tanpa bisa bertanya langsung kepada nabi Muhammad sebagai sang penjelas paling otoritatif. Ada sebuah kenyataan tidak bisa dipungkiri, yaitu bahwa al-Qur‟an telah menjadi teks bahasa yang hidup. Proses berdialog dengan al-Qur‟an, yang dilakukan oleh umat islam pasca meninggalnya nabi Muhammad sampai sekarang, benar-benar telah menjadikan ekistensi alQur‟an itu sendiri maujud dari waktu ke waktu. Al-Qur‟an menjadi teks bacaan yang dinamis dan kaya akan makna. Hal itu dapat dilihat dengan jelas melalui berbagai ragam tafsir yang ditorehkan oleh para ilmuan muslim. Bagi umat islam, kegiatan interpretasi terhadap al-Qur‟an adalah menjadi tugas yang tak kenal henti. Karena, ia merupakan usaha untuk memahami pesan ilahi. Namun demikian, sehebat apapun manusia, ia hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif, dan kebenarannya pun tidak dapat mencapai derajat absolut. Wahyu Tuhan dipahami secara variatif dari satu waktu ke waktu yang lain. Ini berarti kegiatan menafsirkan wahyu Tuhan (exegesis) telah menjadi disiplin keilmuan yang selalu hidup seiring dengan perkembangan teori pengetahuan para pengimannya.4 Al-Qur‟an sebagai teks merupakan korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, penafsiran, hingga pengambilannya sebagai sumber rujukan. Kehadirannya telah memberikan inspirasi dan bahkan melahirkan pusat pusaran wacana bagi pembangunan peradaban dan kebudayaan. Al-Qur‟an menjadi core text di tengah peradaban umat islam. Mengingat al-Qur‟an sebagai teks bahasa memiliki peran nyata dalam terbentuknya peradaban umat islam, maka tak mengherankan jika Nasr Hamid Abu Zaid menyebut peradaban islam-Arab sebagai hadlarah al-nash (peradaban teks). Teks al-Qur‟an itu sendiri tidak bisa membangun dan melahirkan peradaban. Tetapi, peradaban itu terbangun melalui dialog yang dilakukan oleh manusia dengan teks pada satu sisi, dan berinteraksi dengan realitas di sisi lain.5

4

M. Nur Kholis Setiawan. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). Hal. 1.

5

Nasr Hamid Abu Zaid. Mafhum al-Nash (Beirut: al-markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1996). Hal. 9.

2

Studi-studi mengenai al-Qur‟an di era sekarang ini semakin menemukan urgensitasnya. Dalam sejarah kemanusiaan, keyakinan para pemeluk islam dan perspepsi etisnya tentu semakin berarti. Ketika islam semakin penting dalam kerangka dunia agamaagama, maka peran al-Qur‟an sebagai dokumen relegius semakin tak terbantahkan. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur‟an sejatinya ditelusuri dan dikaji untuk dapat menguak misteri kebesaran yang terselubung di dalamnya, dengan tetap membiarkan al-Qur‟an berbicara dengan sendirinya. Karena dengan membiarkan al-Qur‟an berbicara sendiri, maka akan didapat gambaran mengenai kebesaran dan keagungan al-Qur‟an yang sesungguhnya. Mengkaji al-Qur‟an dengan membiarkan dirinya untuk berbicara sendiri, berarti mengembalikan al-Qur‟an ke watak aslinya sebagai teks bahasa, bukan diseret ke dalam perspektif teologis, sufistik, politik dan atau yang lainnya. Al-Qur‟an tidak disusun menurut tema dan persoalan tertentu. Ia tidak disusun seperti susunan buku teologi yang membicarakan dasar-dasar akidah. Ia tidak disusun menurut sistem buku-buku etika, sejarah dan atau cerita. Namun, al-Qur‟an adalah kitab hidayah dan rahmat. Ini merupakan tujuan agung yang harus diwujudkan oleh umat islam. Mengembalikan kajian al-Qur‟an kepada wataknya yang hakiki, yakni sebagai Buku Agung berbahasa Arab, merupakan tujuan utama dan sasaran paling jauh yang harus mendahului semua bentuk tujuan yang lain.6 Atas dasar pemikiran tersebut, maka penulis berinisiatif untuk menyusun sebuah makalah sederhana berjudul “Keadilan dalam Al-Qur’an”. Penyusunan makalah ini bertujuan agar umat islam mau membuka mata kepada kenyataan bahwa mereka diciptakan berpasang-pasangan dan tidak diperkenankan bagi salah satu jenis kelamin menguasai jenis kelamin lainnya.

6

Amin al-Khuli. Manahij Tajdid. hal. 230-233.

3

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyusun makalah ini berdasarkan beberapa rumusan masalah guna pembahasan ini dapat terfokus dan tidak terlalu melebar. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 1. Bagaimana definisi Gender? 2. Bagaimana Konsep Keadilan Gender dalam al-Qur‟an? 3. Bagaimana tafsir gender atas beberapa isu isu-isu yang berkaitan dengan wanita?

C. Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui definisi Gender. 2. Untuk memahami Konsep Keadilan Gender dalam al-Qur‟an. 3. Untuk menerapkan tafsir gender atas beberapa isu isu-isu yang berkaitan dengan wanita.

4

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Gender Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”. Akan tetapi pemahaman secara menyeluruh tentang makna dan arti sesungguhnya tentang Gender, Sampai dengan saat ini istilah gender masih dipahami secara sederhana dengan kata “Jenis Kelamin”. Pemaknaan Gender yang disepadankan dengan kata jenis kelamin tentu saja merupakan kesalahan karena kata jenis kelamin dalam bahasa Inggris disepadankan dengan kata Sex, sedangkan gender memiliki cakupan lebih luas dari hanya sekedar Sex.7 Meskipun demikian, Secara etimologis sebagaimana dijelaskan oleh Echol dan Shadily kata „gender‟ berasal dari bahasa Inggris yang memang berarti „jenis kelamin‟.8 Sedangkan Neufeldt menjelaskan bahwa kata „gender‟ bisa diartikan sebagai „perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.9 Jika kita menilik lebih dalam mengenai kedua pendapat tersebut, maka akan kita dapati perbedaan mendasar dari kedua pendapat tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada faktor yang membedakan antara laki-laki dan Perempuan, Echol dan Shadily beranggapan bahwa faktor pembeda dari kedua makhluk tersebut adalah Sex yang bersifat kodrati, sedangkan Neufeldt lebih condong pada konstruksi sosial dan masyarakat yang menjadikannya berbeda. Secara terminologis, „gender‟ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.10 Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, „gender‟ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya.11 Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.12 Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women‟s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan

7

. Elaine Showalter. Speaking of Gender. (New York & London: Routledge, 1989). Hal. 3 . John M Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XII. (Jakarta: Gramedia, 1983). Hal. 265 9 . Victoria Neufeldt. Webster’s New World Dictionary. (New York: Webster‟s New World Clevenland, 1984). Hal. 561 10 . Hilary M.Lips. Sex and Gender: An Introduction. (London: Myfield Publishing Company, 1993). Hal. 4 11 . Elaine Showalter. Op.Cit. 12 . Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta: Paramadina, 1999). Hal. 34

8

5

peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.13 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama yaitu sex, yaitu jenis kelamin. Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Dengan pemahaman definisi yang lebih matang maka kita akan dengan mudah untuk membincangkan lebih lanjut mengenai gender dan keadilan gender, dan kita tidak akan mudah terjebak dengan pemahaman sempit ketika kita membincangkan permasalahan gender. Terutama jika kita membincangkan mengenai ketidakadilan gender yang banyak terjadi di masyarakat yang notabenenya hal tersebut merupakan hasil konstruksi sosial yang telah sedemikian lamanya diterapkan di masyarakat. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang Perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.14 B. Keadilan Gender Dalam Al-Qur’an Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik lakilaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Dalam al-Qur‟an diceritakan bahwa manusia secara Kodrati memang akan selalu berbeda dengan yang lainnya hal tersebut ditujukan agar manusia saling mengenal satu tengan yang lainnya, hal tersebut tercermin dalam ayat :

13 14

. Siti Musdah Mulia. Islam Menggugat Poligami. (Jakarta: Gradedia Pustaka Utama,2004). Hal. 4 . Ratna Megawangi. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.( Bandung: Mizan. 1999). Hal. 32

6

ُ َ َ َ َ َ َ َ ً ُ ُ ْ ُ َْ َ َ َ َٰ َُ َ َ ّ ‫ِن ذك ٍر وأنَ وجع نا‬ ۚ ‫شع با و بائِل ِِ عارف ا‬

ُ

ُ ‫يَا َأي َ ا ان‬ َ‫اس إنا َخ َ ْقنا‬ ِ

َ ٌ َ ُ ََْ ُ ََْ َ َ ْ ْ ٌ 3 ‫ۚ إِن اه ع ِي خبِر‬ ‫عِند اه أتقا‬ ‫إِن أ ر‬

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat : 13). Secara eksplisit dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tidak ada yang membedakan semua manusia baik itu dari jenis kelamin, suku bangsa, maupun suku. Yang sanggup membedakan manusia satu dengan lainnya adalah kadar ketakwaan dan keimanannya kepada Allah. Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam aktivitas sosial (urusan karier profesional). Ayat tersebut juga sekaligus mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara keduanya. persamaan tersebut meliputi berbagai hal misalnya dalam bidang ibadah. Siapa yang rajin ibadah, maka akan mendapat pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Perbedaan kemudian ada disebabkan kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt., Ayat ini juga mempertegas misi pokok al-Qur‟an diturunkan adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Ar-Razi secara spesifik menjelaskan penyandingan lafadz laki-laki (Dzakarin) dan Perempuan (Untsa) dalam ayat tersebut berarti pada dua hal. Yang pertama, ayat tersebut mengisyaratkan kepada larangan untuk berbangga diri sebab jenis kelaminnya. Yang kedua, Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa setiap manusia diciptakan melalui proses yang sama yaitu melalui ayah dan ibunya, sedangkan perbedaan pada jenis kelamin tersebut merupakan bagian dari sunatullah yang seyogyanya tidak perlu dipermasalahkan. Perbedaan yang dipandang oleh Allah hanya berkisar pada tahap keimanan, apakah dia kafir ataukah mu‟min.

7

Manusia dianggap berbeda karena perbuatannya bukan karena jenis kelaminnya. 15 Sehingga tidak pantas satu jenis merendahkan jenis lainnya hanya karena hal-hal yang bersifat kodrati. Tafsiran ar-Razi atas ayat tersebut setidaknya telah memberikan kita gambaran betapa Islam pada dasarnya menjunjung tinggi keadilan pada semua lini kehidupan tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa, ras maupun Agama. Akan tetapi pada praktiknya, tafsiran-tafsiran semacam ini jarang muncul di masyarakat, terutama pada masyarakat yang bercirikan masyarakat Patriarkhat sehingga dalam masyarakat patriarkat, Islam selalu ditafsirkan sebagai agama yang berdimensi maskulin,dan secara sepintas menyorot masalah misogoni. Sementara ajaran Islam, diyakini sebagai rahmat untuk semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Perspektif gender dalam al-Qur‟an tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-Qur‟an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur‟an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS. al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan

sufi

menganggap

makhluk-makhluk

juga

berpasang-pasangan.16

Langit

diumpamakan dengan suami yang menyimpan air QS. al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuhtumbuhan QS. al- Thariq: 12. Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa QS. al-Ikhlas: 14. Secara umum tampaknya al-Qur‟an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang memiliki berbagai hak di samping kewajiban. Hal semacam ini dapat kita lihat dari pendapat al-kurdi yang menjelaskan bahwa di kalangan bangsa Arab sendiri – sebelum Islam datang – kondisi perempuan sangat memprihatinkan. Digambarkan bahwa kondisi perempuan pada masa Jahiliah dengan panjang lebar seperti berikut: perempuan terhalang dari hak mewarisi; suami berhak menceraikan isterinya seenaknya dan dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi sebaliknya si isteri sama .Fakhruddin Ar-Razi. Mafatikh al-Ghaib. Jilid XXVIII. (Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-„Araby, 1420 H). Hal. 112 16 . Lihat Muhyiddin Ibn „Arabi. Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dar al- Kitab al-Arabi, 1980). Hal. 297-298.

15

8

sekali pasif dalam masalah ini; tidak ada batasan dalam masalah jumlah isteri; isteri merupakan bagian dari harta peninggalan suami; menanam hidup-hidup anak perempuan suadah menjadi tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah; dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab Jahiliah menghalalkan perkawinan istibda‟ (maksudnya seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya, dan akhlaknya supaya isterinya bisa mengandung dari orang tersebut dan setalah itu ia kembali kepada suaminya lagi); dan adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang berarti pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum kawin, mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan itu sehingga mahar bagi seorang anak perempuan dianggap telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan yang lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah tangan kepada ayah dari anak perempuan yang lain, dan sebaliknya) di antara mereka.17 Studi yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap al-Quran menunjukkan adanya kesetaraan gender. Dia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni 18: 1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam surat al-Hujurat : 13 dan al-Nahl : 97; 2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam surat alBaqarah : 30 dan al-An‟am : 165; 3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti terlihat dalam surat al-A‟raf : 172; 4. Adam dan Hawa terlibat secara aktif...


Similar Free PDFs