Landscape dalam Perkembangan Kota Magelang Sebagai Kota Bersejarah PDF

Title Landscape dalam Perkembangan Kota Magelang Sebagai Kota Bersejarah
Author Wahyu Utami
Pages 5
File Size 100.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 345
Total Views 608

Summary

4th International Symposium of NUSANTARA URBAN RESEARCH INSTITUTE (NURI) “CHANGE + HERITAGE IN ARCHITECTURE + URBAN DEVELOPMENT” November 7th, 2009, Architecture Department of Engineering Faculty, Diponegoro University, Tembalang Campuss Jl.Prof.H.Sudharto, SH, Semarang, Central Java, Indonesia Land...


Description

4th International Symposium of NUSANTARA URBAN RESEARCH INSTITUTE (NURI) “CHANGE + HERITAGE IN ARCHITECTURE + URBAN DEVELOPMENT” November 7th, 2009, Architecture Department of Engineering Faculty, Diponegoro University, Tembalang Campuss Jl.Prof.H.Sudharto, SH, Semarang, Central Java, Indonesia

Landscape dalam Perkembangan Kota Magelang Sebagai Kota Bersejarah 1st Wahyu Utami,ST,MT, 2nd Prof.Ir.Atyanto Dharoko,M.Phil, PhD, 3rd Ir.Ikaputra, M.Eng, PhD, 4th Dr.Ir.Laretna Trisnantari, M.Arch 

Abstract— Kota Magelang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, dalam setiap perkembangannya selalu mempertimbangkan landscapenya. Pada awal pemilihan Magelang sebagai kota kebun untuk kerajaan Mataram baru didasarkankan posisi Magelang yang sangat memungkinkan sebagai ladang makanan karena subur dan posisinya dikelilingi oleh beberapa gunung sehingga menjadikan Magelang sebagai tanah yang subur. Hal ini dilanjutkan oleh pihak colonial Inggris dan Belanda yang menjadikan Magelang sebagai salah satu kota yang diperhitungkan pada masa itu. Keywords : landscape, kota, bersejarah I. PENDAHULUAN Magelang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 375 dpl dengan keunikan dikelilingi beberapa gunung dan ditengahnya terletak bukit Tidar. Ada legenda yang mengatakan bahwa Bukit Tidar sebagai pakuning jawa. Posisi goegrafis Magelang terletak ditengah-tengah pulau Jawa dan secara adminstrasi Magelang terletak di Karesidenan Kedu yang merupakan satu-satunya karesidenan yang tidak berbatasan dengan laut. Van Bemmelen dalam Moehkardi, 1988, menyebutkan bahwa daerah Magelang-Selatan di jaman purba pernah terbentuk telaga yang cukup luas. Telaga ini terbentuk sebagai akibat ledakan dahsyat gunung Merapi pada tahun 1006 yang laharnya mengalir ke barat dan menyumbat aliran sungai progo di Timur laut kaki pegunungan Menoreh. Setelah berabad sumbatan yang membendung sungai progo ini hilang termakan erosi sungai progo sehingga akhirnya kering. Dalam naskah Ardrijksundig en Statistich Woordenboek van Nederlandsch – Indie dalam Djuliati, 2000, dikatakan bahwa nama Kedu berasal dari kata kedung, yaitu tanah yang melekuk ke dalam dan berair atau palung. Karesidenan Kedu yang pada abad XIX hanya meliputi Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung memang menyerupai palung besar yang memanjang dari arah Barat Laut ke Tenggara sampai batas Daerah Istimewa Yogyakarta. Suatu hipotesa pernah dilontarkan oleh geolog 1st Wahyu Utami,ST,MT, Mahasiswa S3 Teknik Arsitektektur dan Perencanaan UGM, [email protected] 2nd Prof.Ir.Atyanto Dharoko,M.Phil, PhD, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM 3rd Ir.Ikaputra, M.Eng, PhD, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM 4th Dr.Ir.Laretna Trisnantari, M.Arch, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM

Niewenkamp bahwa sebagian dataran Kedu Selatan pernah menjadi danau yang terjadi karena aliran sungai Progo dan Elo yang bertemu di sekitar Candi Borobudur tersumbat oleh letusan gunung berapi. Tepian palung merupakan rantai pegunungan dengan beberapa buah gunung berapi yang mengelilinginya. Di batas Tenggara yang landai tak berbukit terentang jalur komunikasi utama menuju Yogyakarta yang membawahi sebagian daerah Kedu. Palung besar tersebut adalah lembah Sungai Progo dan Sungai Elo, dua sungai utama yang membelah dataran Kedu dari Utara ke Selatan. Beserta puluhan anak sungai yang bersumber di berbagai gunung berapi, kedua sungai besar tersebut mengangkut endapan lahar dan abu vulkanik yang menyuburkan lembah Kedu (Djuliati, 2000). Menurut Moordiati, 2003, selain sebagai sebuah dataran tinggi yang luas, sekitar 2054 km2, wilayah Kedu juga merupakan salah satu wilayah yang memilkiki karekteristik alam yang sangat subur. Didukung oleh kondisi ekologi, wilayah Kedu banyak dialiri sungai seperti sungai besar Progo dan Ello, Sungai Pabelan, Krasak, Kali Putri, Kali Lereng, Kali Luk Ula dan Kali Jatinegara. II. MAGELANG ERA PRA KOLONIAL Magelang yang pada saat itu lebih dikenal dengan bukit Tidar yang ada di tengah kota telah berkembang jauh sebelum kolonial datang pada tahun 1810. Bahkan pada bukunya yang berjudul The History of Jave, Raffles menceritakan adanya Magelang tahun 88 M yang diperkuat dengan artikel-artikel lepas sejarawan yang menguak kemunculan Kota Megelang. Bukit Tidar menjadi salah satu simbol bagi kota Magelang. Pada masa itu Bukit Tidar menjadi salah satu tujuan para pembuka lahan untuk mempertahankan kehidupan di Pulau Jawa umumnya dan di Magelang pada khususnya. Hal ini juga tidak terlepas adanya sungai Progo dan sungai Elo yang pada masa Kerajaan Mataram Kuno (± 732 M) diidentikkan sebagai sungai Gangga yang ada di India dan Gunung Merapi di identikkan dengan salah satu gunung yang ada di India. Sejak tahun 88 M kawasan di sekitar bukit Tidar mulai ada kehidupan yang seiring dengan waktu mulai banyak dikunjungi orang-orang pendatang. Dari sumber sejarah yang sudah ada, terlihat bahwa pada masa Kerajaan Kalingga sudah menggunakan daerah di sekitar bukit Tidar dan gunung merapi sebagai daerah permukiman terutama pada saat terjadi perpecahan di kerajaan Kalingga.

500

Architecture Department of Engineering Faculty – Diponegoro University in colaboration with NURI University Science Malaysia, Universitas Sumatera Utara, University Kebangsaan Malaysia, Universitas Indonesia, Yala Islamic College Paramitae Thailand, King Mongkut Institute of Technology Thailand, Institut Teknologi Medan, University of Chulalongkorn, MIT Cave Murana Iniramuros Phillipines, University Puts Malaysia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Soetomo Medan, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Diponegoro, National University of Singapore

Dalam disertasi Riboet Darmosoetopo, 1998, Magelang lebih dikenal pada era Mataram Kuno dengan sebutan Mantyasih yang dijadikan sebagai daerah perdikan oleh Raja Balitung pada tahun 907 M. Pada era Raja Balitung istana Mataram Kuno berada di daerah Medang Poh Pitu (Kedu). Selain desa Mantyasih, dalam disertasi Timbul Haryono, 1994, diceritakan adanya desa Poh yang dijadikan daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima pada tahun 905 M. Kedua desa tersebut diceritakan di dua prasasti yang ada di Magelang , yaitu prasasti Mantyasih dan prasasti Poh. Prasasti Mantyasih terletak di desa Meteseh yang berada di sebelah barat kota Magelang, begitu juga dengan prasasti Poh yang terletak di desa Dumpoh yang terletak di sebelah utara desa Meteseh. Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya sedikit demi sedikit mulai ditinggal kaumnya karena sudah adanya perpindahan ibu kota Mataram Kuno ke Jawa Timur. Hal ini ditambah dengan fenomena alam yang terjadi yaitu adanya Gunung merapi yang meletus tahun 1006 yang mengakibatkan hancurnya Mataram Hindhu karena adanya gempa yang sangat besar. Djuliati,2000, Magelang baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Magelang berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi kerajaan Mataram. Menurut Nessel, 1935, setelah ada perang Jawa yang menghasilkan perjanjian Gianti, Tahun 1755 wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ditambahkan oleh Djuliati, 2000, ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan yang antara lain menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragungnya termasuk Kedu sebagai gudang beras. Kedu saat itu masuk dalam dua wilayah penguasa yaitu wilayah Surakarta dan wilayah Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram. Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja atau kebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada nama kawasan dengan kekhasan nama hasil kebun sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon), kebun bayem (Bayeman), kebun karet (Karet). Sri Sunan Pakubuwono menjadikan Magelang sebagai daerah untuk menikmati keindahan alam, hal ini didukung dengan kondisi alam yang sangat indah karena dikelilingi banyak gunung dan dialiri dua sungai. III. MAGELANG ERA KOLONIAL Dalam Nessel, 1935, diceritakan sejak 1810, Magelang yang saat itu masih gabungan antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang saat ini, dipilih oleh orang Inggris sebagai ibu kota kabupaten dengan bupati pertama

bernama Mas Ngabehi Danoekromo. Masjid dan Kadipaten dibangun tidak jauh dari kebon dalem milik Mataram Baru. Kadipaten sebagai replika penguasa lokal terletak disebelah selatan alun – alun. Inggris waktu itu memilih Magelang sebagai salah satu daerah yang dikuasai karena melihat Magelang bisa dijadikan gudang beras bagi pemerintah saat itu. Selain itu juga Magelang dengan alam yang indah dijadikan tempat peristirahatan dan daerah perkebunan. Inggris tidak lama berkuasa di Magelang, karena pada tahun 1812 Magelang sudah dikuasai Belanda. Belanda melanjutkan konsep pembangunan yang sudah dilakukan Inggris. Bahkan bupati pada jaman Belanda pun masih melanjutkan bupati pada jaman kolonial Inggris, yaitu Bupati Danoekromo. Saat diangkat menjadi bupati kembali gelarnya menjadi raden tumenggung Danoeningrat. Sejak saat itu Magelang menjadi daerah padat di wilayah kedu, seperti yang dikatakan Moordiati, 2003, bahwa selama tahun 1817 sampai dengan tahun 1867 angka kepadatan penduduk Kedu termasuk tinggi dan daerah terpadat cenderung memusat di bagian selatan seperti di kabupaten Magelang, 20168 orang per kilometer persegi. Karena selain akses jalan juga daerah-daerah pinggir lebih banyak digunakan sebagai daerah perkebunan sementara daerah pusat kota dikhususkan sebagai daerah permukiman baik untuk masyarakat pribumi maupun masyarakat pendatang. Oleh karena itu pada tahun 1818, Magelang yang ditunjuk sebagai ibu kota Karesidenan Kedu yang terbentuk tahun 1817, mendirikan Kantor Karesidenan yang letaknya berada di sebelah barat alun-alun dan tidak berbatasan langsung dengan alun-alun kota. Kantor karesidenan berada justru di dekat dengan desa Meteseh (Mantyasih) dengan view utama ke arah Barat atau ke arah Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro serta pegunungan Menoreh. Kantor karesidenan dibangun di tempat tangsi-tangsi Inggris yang sudah dibangun tahun 1810 dan dipugar pada tahun 1819 oleh JC Schultze. Bangunan ini dilengkapi dengan pendopo yang menghadap ke Barat.

Gambar 1. Kantor Karesidenan menghadap ke Barat (sumber : KITLV collection) Kantor karesidenan ini selain berfungsi sebagai kantor pemerintahan, juga berfungsi sebagai daerah pertahanan dan daerah pengawasan atas pergerakan lokal yang dilakukan masyarakat pribumi, antara lain Pangeran Diponegoro.

501

Architecture Department of Engineering Faculty – Diponegoro University in colaboration with NURI University Science Malaysia, Universitas Sumatera Utara, University Kebangsaan Malaysia, Universitas Indonesia, Yala Islamic College Paramitae Thailand, King Mongkut Institute of Technology Thailand, Institut Teknologi Medan, University of Chulalongkorn, MIT Cave Murana Iniramuros Phillipines, University Puts Malaysia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Soetomo Medan, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Diponegoro, National University of Singapore

Karisidenan

Militer Kamar Bola

Losmen

Masjid

Magelang

Kotapraja Kadipaten

Kota Jawa

U Penjara

Karesidenan

Kadipaten

Gambar 2 Pola Utama Kota Magelang dan kota Jawa (sumber : analisa, 2001)

Gambar 4 Tipologi Kota Magelang (sumber: analisa,2001, modifikasi dari Handinoto(1996))

Seiring dengan perkembangan kota Magelang yang semakin pesat, Magelang mulai dipadati oleh bangunanbangunan pendukung yang lebih bertitik pada pusat kota. Jalan-jalan utama mulai dibuat dengan orientasi UtaraSelatan yang sejajar dengan aliran Sungai Progo dan Sungai Elo. Jalan Pemuda - Ahmad Yani sebagai jalan utama berada di tengah-tangah atau di poros antara sungai Progo dan sungai Elo. Elemen-elamen bangunan maupun permukiman yang kemudian bermunculan akhirnya mengikuti pola jalan yang ada. Tanam paksa telah menjadi Magelang sebagai daerah yang cukup diperhitungkan, karena khususnya daerah hinterland Magelang dijadikan perkebunan yang sangat diharapkan oleh Belanda. Berbagai cara dilakukan agar panen tidak pernah gagal untuk daerah Magelang. Pada tahun 1845 tertanggal 17 Febuari dalam Djuliati, 2000, diceritakan tentang surat dari Bupati Danuningrat kepada residen Kedu De Bousquet perihal rencana pembuatan jalan di Kedu yang melintasi Magelang untuk mendukung transportasi perkebunan. Seiring kuatnya Magelang sebagai kota perkebunan dan kota Militer, membuat Magelang banyak didatangi oleh kaum nonpribumi. Kaum Cina banyak berdatangan dan sesuai dengan peraturan Belanda, masyarakat Cina dilokalisir di selatan alun-alun yang kemudian berkembangan menjadi daerah Pecinan yang berada di jalan utama. Fasilitas-fasilitas pendukungpun banyak bermunculan.

Magelang merupakan salah satu ibu kota pemerintahan yang menyimpang perletakan elemen kota-nya jika dikomparasikan dengan pola ibu kota yang ada di Jawa. Pola kota yang ada di Magelang mempunyai pola yang berbeda dengan kota-kota di Jawa khususnya ibu kota kadipaten dan ibu kota Karesidenan. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan penguasa lokal (berhubungan dengan kerajaan) dan kolonial dengan perletakan istana raja (kadipaten) di sebelah selatan yang berhadapan dengan kantor karesidenan atau asisten residen yang berada di sebalah utara dengan di tengahnya adalah alun-alun, namun di Magelang justru tidak menonjolkan keseimbangan penguasa lokal dan kolonial tersebut karena pertimbangan fungsi dan alam yang ada, karena perletakannya yang tidak menggunakan sumbu utara-selatan. Kadipaten sebagai replika istana raja berada di sebelah utara alun-alun sementara karesidenan berada di sebelah barat alun-alun. Sementara pada posisi selatan alun-alun digunakan sebagai sekolah Belanda dan pribumi dikenal dengan MOSVIA. Hasil dari komparasi tersebut memperlihatkan adanya penyimpangan tipologi kota di Magelang terutama aspek yang ditonjolkan saat itu yaitu penyeimbangan kekuasaan dengan perletakan kantor karesidenan atau assisten residen berhadapan dengan kadipaten. Alun-alun sebagai simbol kekuasaan pada kota-kota tradisional juga dicampur dengan elemen kolonial dengan meletakkan water torn (menara air) di dalam alun-alun.

Residen Kamar Bola

Masjid

Losmen

Poros Utara-Selatan mulai berkembang sejak Magelang dijadikan gemeente (kotapraja) pada tahun 1906. kantor gementee yang terletak di sebelah utara alun-alun telah diikuti bangunan-bangunan pendukung kota yang berkembang ke arah utara. Gedung Kawedanan, sekolahsekolah dan rumah sakit dibangun mulai menjauhi alunalun. Rumah Sakit yang sekarang menjadi RSJP dibangun setelah Magelang menjadi Gemeente. Selain karena kawasan alun-alun sudah mulai padat juga karena pertimbangan akses jalan utama.

U Penjara Militer

Kadipaten

Gambar 3 Tipologi Ibu Kota Kabupaten Jawa (sumber : analisa Kazemeir dan Tonkens, Handinoto, 1996) 502

Architecture Department of Engineering Faculty – Diponegoro University in colaboration with NURI University Science Malaysia, Universitas Sumatera Utara, University Kebangsaan Malaysia, Universitas Indonesia, Yala Islamic College Paramitae Thailand, King Mongkut Institute of Technology Thailand, Institut Teknologi Medan, University of Chulalongkorn, MIT Cave Murana Iniramuros Phillipines, University Puts Malaysia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Soetomo Medan, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Diponegoro, National University of Singapore

PERIODE AWAL PERKEMBANGAN KOTA 1. dipengaruhi lokasi yang strategis (Semarang-Yogya-Solo) sebagai jalur Utara-Selatan

Alun-alun

2.

dipengaruhi panorama alam (gunung) sebagai jalur Timur-Barat

Alun-alun karisidenan

PERIODE TAHUN 1946-2000 1.

dipengaruhi oleh pola awal

2.

dipengaruhi 2 sungai yang mengapit kota Jalur U-S menjadi akses terkuat

Kwarasan, Permukiman Pejabat Belanda Kawasan Kwarasan merupakan salah satu permukiman indis yang direncanakan oleh Karsten yang terletak di Kota Magelang. Menurut Sumalyo, 1993, tahun 1937 Karsten merencanakan pembangunan perumahan murah yang waktu itu dikenal dengan “Perumahan Rakyat” dalam rangka penyediaan kebutuhan rumah yang layak dan sehat yang terletak di bagian Selatan-Barat Kota Magelang yang kemudian dikenal sampai saat ini dengan “Kwarasan”. Kwarasan ini berasal dari kata “waras” yang dalam bahasa Jawa berarti “sehat”. Kata “sehat” tersebut bisa diartikan sebagai upaya untuk menuju rumah yang sehat atau dengan kata lain kawasan yang sehat. Karsten dalam perencanaannya menonjolkan aspek keindahan dan kenyamanannya dengan pertimbangan Magelang merupakan daerah dengan hawa cukup dingin, pemandangannya indah, didukung posisi Kwarasan berkontur dan berada di sebelah Barat Kota sehingga tingkat kesejukannya dan keindahan panorama sangat tinggi. Karsten mempertimbangkan aspek tapak (kondisi alam) dengan tetap memanfaatkan perbedaan kontur dan yang paling utama akses dengan pusat kawasan dalam hal ini alun-alun yang dikelilingi tipe besar dan sedang, sementara untuk tipe kecil di sekitar kedua tipe tersebut dengan tetap diperhatikan masalah akses ke lapangan berupa gang/jalan kecil. Pembagian antara tipe besar dan kecil berdasarkan kontur yang lebih tinggi karena viewnya lebih bagus dibandingkan kontur yang lebih rendah serta orientasi ke alam gunung sebelah Barat dan akses ke jalan raya di luar kawasan. Banyak sekali pertimbangan Karsten baik itu dari segi perletakan maupun dari orientasi bangunan yang mengacu pada pemandangan alam yang indah terutama view ke arah Barat kawasan. Terutama ini dilakukan untuk bangunan penting dan unit rumah dengan tipe besar. Apalagi didukung dengan adanya kontur tanah pada kawasan tersebut. Kontur tanah yang ada dimanfaatkan optimal melalui penonjolan fasade bangunan pada kontur tinggi agar dapat dengan mudah menikmati alam sekitar dalam hal ini gunung dan sungai progo yang ada di sebelah Barat kota. Tapak terbangun tidak mendominasi kawasan karena Karsten tetap ingin kawasan ini sebagai kawasan hijau yang tetap mempertimbangkan keselarasan terhadap lingkungannya salah satunya dengan tetap menyediakan halaman di tiap-tiap unit rumah. IV. MAGELANG ERA KOTA BERKEMBANG

Gambar 5 Pembentukan Pola Jalan di Kota Magelang (sumber: analisa,2001)

Magelang sebagai kota berkembang mempunyai pola umum yang tidak berubah sejak dibangun pada masa Mataram Baru dengan adanya deretan kebun di sepanjang jalan utama kota pada saat ini. Dua sungai mengapit kota Magelang dan menjadi elemen utama dalam pertimbangan perkembangan kota. Perkembangan kota mengarah ke Utara-Selatan. Banyak generator diletakkan untuk menghidupkan kawasan-kawasan yang awalnya tidak berkembang, misalnya terminal yang digeser dari pusat kota ke arah Timur , berpindahnya kantor kotamadya dari Utara Alun-Alun menjadi di daerah Mako, ujung selatan kota. Juga dibangunnya banyak perumahan di sebelah utara kota yang menghubungkan Magelang dengan Semarang.

503

Architecture Department of Engineering Faculty – Diponegoro University in colaboration with NURI University Science Malaysia, Universitas Sumatera Utara, University Kebangsaan Malaysia, Universitas Indonesia, Yala Islamic College Paramitae Thailand, King Mongkut Institute of Technology Thailand, Institut Teknologi Medan, University of Chulalongkorn, MIT Cave Murana Iniramuros Phillipines, University Puts Malaysia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Soetomo Medan, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Diponegoro, National University ...


Similar Free PDFs