Title | Metodologi Ilmu Politik |
---|---|
Pages | 26 |
File Size | 584.7 KB |
File Type | |
Total Downloads | 824 |
Total Views | 895 |
METODOLOGI ILMU POLITIK Oleh: M. Rolip Saptamaji I. Pendahuluan Metodologi dalam ilmu politik merupakan sebuah cara terstruktur dan sistematis digunakan untuk mendekati, menjelaskan dan memecahkan fenomena dalam ilmu politik. Dalam penelitian ilmu politik, metodologi secara dikotomis dipisahkan menj...
Accelerat ing t he world's research.
Metodologi Ilmu Politik Rolip Saptamaji
Related papers
Download a PDF Pack of t he best relat ed papers
PARADIGMA PENELIT IAN KUANT ITAT IF DAN KUALITAT IF Goso Goso Perbedaan met ode kualit at if dan kuant it at if besert a cont ohnya bint ang pam PHILOSOPHY OF SCIENCE, LOGIC AND RESEARCH (Research Met hodology for Writ ing T hesis Fahrizal Maulana
METODOLOGI ILMU POLITIK Oleh: M. Rolip Saptamaji
I.
Pendahuluan Metodologi dalam ilmu politik merupakan sebuah cara terstruktur dan sistematis
digunakan untuk mendekati, menjelaskan dan memecahkan fenomena dalam ilmu politik. Dalam penelitian ilmu politik, metodologi secara dikotomis dipisahkan menjadi metodologi kuantitatif dan kualitatif. Namun begitu, metodologi dalam ilmu politik terus mengalami perkembangan, seperti munculnya metodologi campuran dan metodologi interpretif. Metodologi ilmu politik secara teknik tidak berbeda dengan metodologi penelitian sosial. Hal ini memang sangat membingungkan ketika metodologi ilmu politik muncul sebagai kajian tersendiri tanpa pembeda dengan kajian sebelumnya. Permasalahan kesamaan teknik dan dikotomi metode yang ada dalam metodologi ilmu politik dan metodologi penelitian sosial dapat dihindari dengan mengembalikan motif atau deduksi pemikiran mengenai metode itu sendiri. Secara khusus, metodologi keilmuan dapat dibagi dan dipisahkan sesuai dengan kajian keilmuannya. Pemisahan ini mendasarkan pendapatnya dari akar keilmuannya karena metodologi adalah cara mendekati fenomena dan cara tersebut dapat digunakan oleh berbagai disiplin keilmuan. Setiap disiplin keilmuan memiliki landasan filosofis yang membangun disiplin keilmuan. Untuk menemukan distingsi antara metodologi ilmu politik dan metode penelitian sosial, kita perlu mengulas kembali landasan filosofois dari ilmu politik tersebut. Landasan filosofis keilmuan dapat ditelusuri melalui ontology keilmuan, epistemology dan aksiologinya. Ontology berkaitan dengan makna, epistemology berkaitan dengan bagaimana
studi ilmu politik dibangun sedangkan aksiologi berkaitan dengan tujuan studi ilmu politik. Burrell dan Morgan (1979:1) berpendapat bahwa ilmu sosial dapat di konseptualisasikan dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi, epistemologi, sifat manusia (human nature), dan metodologi. Tambahan metodologi dari Burrell dan Morgan tidak dimaksudkan sebagai distingsi namun sebagai konseptualisasi keilmuan. II.
Landasan Filosofis Ilmu Politik
Ontologi Ilmu Politik Ontologi adalah ilmu tentang hakikat sesuatu atau benda/hal/aspek apa yang dikaji. Epistemologi adalah ilmu tentang bagaimana "ontologi" itu dipelajari, dibangun. Aksiologi adalah untuk apa bangunan ilmu yang dibuat diperuntukkan. Ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan aspek-aspek khas ilmu, apapun bentuknya. Secara ontologis, politik juga memiliki obyek-obyek kajian yang spesifik. Miriam Budiardjo menyebutkan sekurangkurangnya ada 5 obyek ontologis ilmu politik, yaitu : 1. Negara (state) organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. 2. Kekuasaan (power) kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. 3. Pengambilan keputusan (decision-making) keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif pengambilan keputusan (decision-making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu dicapai.
4. Kebijaksanaan umum (public policy) kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan. Pihak yang membuat kebijakan memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. Pembagian (distribution) 5. nilai adalah sesuatu yang dianggap baik atau benar, sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang berharga. Pembagian dan penjatahan dari nilai-nilai (values) dalam masyarakat. Pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik. Ontology dalam ilmu lebih utama dan dijadikan sebagai dasar utama pembentukan keilmuan karena berkaitan dengan hakikat dasar „ada‟ (being) yang secara harafiah, ontology merupakan teori tentang „ada‟. Pernyataan ontologism adalah tenang apa yang ada (what is) dan apa yang berada (what exists). Bahkan ia membahaskan pernyataan ini secara lebih jelas lagi ontology menanyakan apa yang ada untuk diketahui. Pertanyaan ontology merupakan pertanyaan mendasar yang menjadi bangunan dasar bagi sebuah disiplin ilmu. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan identifikatif sekaligus cara membedakan sebuah disiplin ilmu satu dengan disiplin ilmu lainnya. Marsh menyatakan bahwa ada dua pendekatan untuk mendefinisikan politik (Marsh&Stocker,2002;9). Yang pertama menentukan bidang penyelidikan dengan merujuk pada arena atau himpunan institusi tertentu. Pendekatan kedua untuk mendefinisikan politik memandangnya sebagai suatu proses social yang dapat diobservasi dalam berbagai setting. Politik lebih dari sekedar tentang apa yang dipilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, politik lebih luas lagi mencakup pembagian kekuasaan yang tak seimbang di
masyarakat, bagaimana perjuangan untuk mendapatka kekuasaan dan dampaknya terhadap tatanan social. Dari pertanyaan ontologism dan penentuan ontology ilmu politik, kita dapat menciptakan identitas pemahamn mengenai ilmu politik dan memulai pencarian pendekatan untuk menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan ilmu politik. Ontology merupakan kulit dari sebuah disiplin ilmu tidak dapat diganti dan dirubah seketika berdasarkan kebutuhan kita seperti sweater. Epistemologi Ilmu Politik Secara sederhana, Epistemologi berarti bagaimana suatu ilmu dibangun. Dalam membangun suatu ilmu, seseorang ahli teori dibatasi oleh periode hidup serta hal-hal lain yang mempengaruhi pikirannya saat membangun suatu ilmu. Dalam ilmu politik, epistemologi ilmu ini diterjemahkan ke dalam konsep Pendekatan. Arti dari pendekatan adalah dari sudut mana serta bagaimana seseorang melihat suatu permasalahan. Pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan mengenai cara dan sudut pandang keilmuan. Secara ringkas dapat dibedakan dari ontology, ontology merupakan pertanyaan mengenai „apa?‟ sedangkan epistemology adalah pertanyaan mengenai „bagaimana?‟. Perdebatan mengenai epistemology ilmu politik terletak pada cara pandang peneliti terhadap ilmu politik. Perdebatan ini berakar dari perdebatan antara kamum positivis dan kaum anti positivis atau sering disebut sebagai anti-fondasionalisme. Kaum positivis menganggap ilmu sosial merupakan analog dari ilmu alam sehingga dalam pendekatan keilmuan dibutuhkan penemuan hubungan kausal yang dapat memprediksi interaksi sosial. Sedangkan kaum antifondasional menentangnya dengan mengasumsikan bahwa semua kebenaran bersifat sementara
dan interaksi sosial tidak dapat diprediksi secara baku seperti dalam ilmu alam yang identitas kausalnya jelas. Perdebatan antara kedua pendeketan utama ini melahirkan pendekatan-pendekatan baru yang saling menyalahkan (falsifikatif) ataupun yang saling menguatkan (verifikatif). Stocker dan Marsh menjelaskan beberapa pendekatan dalam ilmu politik yang dibedakan melalui cakupan studi, pemahaman terhadap klaim ilmiah, sikap terhadap teori politik normative dan hubungannya dengan praktik politik. Penjelasan tersebut terdapat pada bagan berikut: Pendekatan dalam Ilmu Politik
Behavioralisme
Cakupan
Pemahaman
studi politik
terhadap
Berkonsentrasi pada
Sikap
terhadap Hubungan dengan
klaim teori
politik praktik politik
ilmiah
normative
Menghasilkan
Pada
era
awal, Mengklaim
proses hokum umum dan revolusi perilaku nilai,
netra
politik
minimalnya
giat menekankan objektif
berkaitan
mengembangkan
perbedaan antara memihak)
dengan politik pernyataan
ilmu
mainstream
teoritis yang bisa teori
pemerintah
difalsifikasi
baru
bebas dan (tidak
dan kuno.
Sekarang, mereka lebih toleran
Rational Choice
Peduli
pada Menghasilkan
Sikap yang sama Mengklaim
kondisi
hokum-hukum
dengan
menuju
umum, khususnya behavioralis
menawarkan saran yang bebas nilai
tindakan
hokum
dan
ahli
tentang
kolektif dalam dengan kekuatan
bagaimana
dunia
mengelola politik
politik prediktif
mainstream Institusionalism
umum
(peramalan)
Suatu definisi Ilmu adalah hasil Membuat
Menganggap
proses
yang dari pengetahuan hubungan antara peneliti
luas,
yang yang
analisis
bersifat pribadi terorganisasi.
empiris berdampingan
dan
teori dengan
dapat menjadi Ilmu politik yang normative. politik
bekerja
para
praktisi politik
terbaik berlandasan empiris,
cerdas
dan
reflektif
secara teoritis Feminism
Suatu definisi Berbagai proses
yang respon
luas,
yang isu
mengakui bahwa
ragam Teori normative, Pengaturan politik terhadap seperti
ini,
perlu
yang kecenderungan kea
dapat menjadi perspektif politik
namun aspek studi politik semangat feminis
dengan
bersifat pribadi kuat
semua jelas bagian dari
menganggap rah serius isu gender
anti
fondasionalis dan
realis kritis Anti
Politik adalah Klaim
fondasionalism
suatu
kontes pengetahuan
narasi dapat
terhadap Cenderung
yang adalah
memandang
dalam banyak dan diperdebatka. jenis Pemahaman
pada
teorisasi. komentar
miring
politik terhadap dasarnya pertempuran naratif
adalah adalah
niscaya
kecenderungannya
semua mengarah
Analisis
terhadap aktivitas pada manusia
respon,
ada namun
selalu percampuran
terjadi bersifat sementara antara
ragam setting
Berbagai
dunia politik
berbeda diperdebatkan,
dengan
dunia dan
fisik
memiliki
suatu
muatan
normative Marxisme
Politik adalah Realis
kritis: Teori
normative Setia untuk terlibat
perjuangan
fokus
terhadap berguna
antar
penemuan
kelompok
struktur
yang panduan
social,
tidak
dapat bertindak
khususnya
diobservasi, yang
kelas social
bisa
memberikan
memandu,
namun menentukan,
tidak
untuk dalam
perjuangan
kelompok untuk atau
kelas
tertindas
social yang
peristiwa sejarah (Marsh&Stocker,2002;8) Aksiologi Ilmu Politik Ilmu kedokteran berorientasi pada peningkatan standar kesehatan masyarakat. Ilmu ekonomi pada bagaimana seseorang dapat makmur secara material atau ilmu militer pada penciptaan prajurit-prajurit yang dapat menjamin keamanan negara. Ketiganya adalah aksiologi. Aksiologi adalah guna dari suatu ilmu atau, untuk apa ilmu tersebut diperuntukkan nantinya. Aksiologi ilmu politik adalah untuk memberi "jalan atau cara" yang lebih baik dalam hal negosiasi kepentingan antar kelompok dalam masyarakat. Ilmu politik (menurut Aristoteles) bertujuan untuk "membahagiakan hidup manusia" yang tinggal dalam suatu wilayah yang sama.
III.
Menentukan Paradigm dan Memilih Metode
PARADIGMA DALAM PENELITIAN Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan peneliti yang berisi bagaimana penelitimelihat realita (world views), bagaimana mempelajari fenomena, cara‐cara yan digunakan dalampenelitian dan cara‐cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan. Paradigma penelitianmenentukan masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa yang dapat diterimanya (Kuhn, 1970). Sarantakos (1998) mengatakan bahwa ada beberapa pandangan dalam ilmu sosial tentangbeberapa paradigma yang ada. Namun demilian, Lather (1992) berpendapat hanya ada duaparadigma, yaitu positivis dan pospositivis. Sebagai perbandingan, Lincoln dan Guba (1994)mengidentifikasi
empat
paradigma
utama,
yaitu
positivisme,
pospositivisme,
konstruksionisme dankritik teori. Sarantakos (1998) berpendapat ada tiga paradigma utama dalam ilmu sosial, yaitupositivistik, interpretif, dan critical. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihanmetodologi dan metode pengumpulan dan analisis data. Dibawah ini adalah ringkasan tigaparadigma menurut Sarantakos (1998). Paradigma positivis. Secara ringkas, positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmualam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat‐alatkuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkatdari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data‐data yangterukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistikdan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomenadapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara
variabel‐variabel yang terlibat didalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Bagi positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama,sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yangsama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi halhalyang bersifat berulang‐ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukumsebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukumuniversal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum‐hukumtersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibatumum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaikipenjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus. Paradigma
interpretif.
Pendekatan
interpretif
berasal
dari
filsafat
Jerman
yangmenitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial.Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya darikerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsimanusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka (Ghozali danChariri, 2007). Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangkaberinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekataninterpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial ituterbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk
memahami
sebuah
lingkungan
sosial
yang
spesifik,
peneliti
harus
menyelamipengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan
objektivitas sebagaihal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, makasubjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade‐offantara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004). Paradigma critical. Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untukmemperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitianbukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namunlebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arahyang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentangsuatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yangberdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas,pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan dipermukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untukmengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81). Perbedaanmasing‐masing paradigma dapat dilihat dalam ringkasan di tabel 1.
TABEL 1.PERBEDAAN PARADIGMA POSITIVISTIK, INTERPRETIF, CRITICAL
PARADIGMA DAN PERUMUSAN TEORI Perbedaan pandangan tersebut akan mempengaruhi cara‐cara yang digunakan dalampenelitian guna membangun suatu teori. Gioia dan Pitre (1990) mengatakan bahwa perbedaanparadigma akan mempengaruhi tujuan penelitian, aspek teoritis yang digunakan dan pendekatandalam membangun teori. Tabel 2 dan 3 menjelaskan pendekatan dalam pengembangan teori yangdibangun dari paradigma yang berbeda.
Paradigma positif sering dinamakan paradigma functionalist. Paradigma ini berusaha mengujkeajegan (reguralities) dan hubungan variabel sosial
yang diharapkan dapat
menghasilkangeneralisasi dan prinsip‐prinsip yang bersifat universal. Paradigma ini beriorentasi pada upaya untukmempertahankan status quo dari isu penelitian yang ada. Artinya, penelitian dilakukan denganasumsi bahwa isu sosial sudah ada di luar sana (given) tinggal diteliti/dikonfirmasi sehingga tidak adausaha untuk mengubah isu yang ada. Paradigma ini mencoba mengembangkan teori berdasarkan pendekatan deduktif dengandiawali dengan review atas literature dan mengoperasionalkannya dalam penelitian. Hipotesiskemudian dikembangkan dan diuji dengan menggunakan data yang ada berdasarkan pada analisisstatistik. Oleh karena itu, pendekatan ini cenderung mengkonfirmasi, atau merevisi ataumemperluasteori (refinement) melalui analisis hubungan sebab akibat (causal analysis).
Paradigma Interpretive Paradigma interpretive didasarkan pada keyakinan bahwa individu (manusia) merupakanmahluk yang secara sosial dan simbolik membentuk dan mempertahankan realita mereka sendiri.(Berger dan Luckmann 1967; Morgan dan Smircich 1980). Oleh karena itu, tujuan daripengembangan teori dalam paradigma ini adalah untuk menghasilkan deskripsi, pandangan-pandangandan penjelasan tentang peristiwa Politik tertentu sehingga peneliti mampu mengungkapsistem interpretasi dan pemahaman (makna) yang ada dalam lingkungan Politik. Intinya paradigma ini berusaha mengungkap bagaimana (how) realitas sosial dibentuk dandipertahankan oleh individu tertentu dan bagaimana mereka memaknainya. Paradigma Radical Humanist Paradigma ini hampir serupa dengan interpretive namun lebih bersikap kritikal dan evaluatif. Tujuandari paradigma ini adalah untuk membebaskan individu dari berbagai sumber eksploitasi, dominasi,dan tekanan yang muncul dari tatanan sosial yang ada dengan tujuan untuk mengubah tatanantersebut tidak sekedar mem...