morfoligi dan patogenitas salmonella sp.pdf PDF

Title morfoligi dan patogenitas salmonella sp.pdf
Author Ria Chania Dewi
Pages 10
File Size 170 KB
File Type PDF
Total Downloads 6
Total Views 83

Summary

JUDUL RINGKASAN : MORFOLOGI DAN PATOGENITAS Salmonella sp. NAMA MAHASISWA : RIA CHANIA DEWI NIM : AK816064 SEMESTER :4 KELAS : 4A MATA KULIAH : BAKTERIOLOGI III PROGRAM STUDI : DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK DOSEN : PUTRI KARTIKA SARI, M.Si 1.1 Klasifikasi dan morfologi Bakteri Salmonella sp pert...


Description

Accelerat ing t he world's research.

morfoligi dan patogenitas salmonella sp.pdf putri kartika sari, Ria Chania Dewi

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Morfologi dan Pat ogenit as Salmonella sp.docx put ri kart ika sari, Milla Monica sari

Skenario a blok 10 Hanna Wirant i Makalah Salmonellosis Indas W Rahman

JUDUL RINGKASAN NAMA MAHASISWA NIM SEMESTER KELAS MATA KULIAH PROGRAM STUDI DOSEN

: MORFOLOGI DAN PATOGENITAS Salmonella sp. : RIA CHANIA DEWI : AK816064 :4 : 4A : BAKTERIOLOGI III : DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK : PUTRI KARTIKA SARI, M.Si

1.1 Klasifikasi dan morfologi Bakteri Salmonella sp pertama kali ditemukan tahun 1885 pada tubuh babi oleh Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis), namun Salmonella sp dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan dan Ray,2004) dalam (Masita, 2015). Taksonomi dari Salmonella sp adalah sebagai berikut (D’aoust, 2001) : Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Class : Gamma proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Family : Enterobacteriaciae Genus : Salmonella Spesies : Salmonella sp

Gambar 2.1. morfologi Sallmonella sp.(Todar, 2008) Salmonella sp. pertama ditemukan (diamati) pada penderita demam tifoid pada tahun 1880 oleh Eberth dan dibenarkan oleh Robert Koch dalam budidaya bakteri pada tahun 1881 (Todar, 2008). Salmonella sp. adalah bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merah muda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0;6 µ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora (Julius, 1990). Habitat Salmonella sp. adalah di saluran pencernaan (usus halus) manusia dan hewan. Suhu optimum pertumbuhan Salmonella sp. ialah 37oC dan pada pH 6-8 (Julius, 1990). Dalam skema kauffman dan white tatanama Salmonella sp. di kelompokkan berdasarkan antigen atau DNA yaitu kelompok I enteric, II salamae, IIIa arizonae, IIIb houtenae, IV diarizonae, V bongori, dan VI indica. Komposisi dasar DNA Salmonella sp adalah 50-52 mol% G+C, mirip dengan Escherichia, Shigella, dan Citrobacter (Todar, 2008). Namun klasifikasi atau penggunaan

tatanama yang sering dipakai pada Salmonella sp. berdasarkan epidemiologi, jenis inang, dan jenis struktur antigen (misalnya S.typhi, S .thipirium). Jenis atau spesies Salmonella sp. yang utama adalah S. typhi (satu serotipe), S. choleraesuis, dan S. enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang spesies S. paratyphi A, S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam S. enteritidis (Jawezt et al, 2008). 1.2 Struktur Antigen Salmonella sp. mempunyai tiga macam antigen utama untuk diagnostik atau mengidentifikasi yaitu : somatik antigen (O), antigen flagel (H) dan antigen Vi (kasul) (Todar, 2008). Antigen O (Cell Wall Antigens ) merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan panas (termostabil), dan alkohol asam (Julius, 1990). Antibodi yang dibentuk adalah IgM (Karsinah et al, 1994). Namun antigen O kurang imunogenik dan aglutinasi berlangsung lambat (Julius, 1990). Maka kurang bagus untuk pemeriksaan serologi karena terdapat 67 faktor antigen, tiap-tiap spesies memiliki beberapa faktor (Todar, 2008). Oleh karena itu titer antibodi O sesudah infeksi lebih rendah dari pada antibodi H (Julius, 1990). Antigen H pada Salmonella sp. dibagi dalam 2 fase yaitu fase I : spesifik dan fase II : non spesifik. Antigen H adalah protein yang tidak tahan panas (termolabil), dapat dirusak dengan pemanasan di atas 60ºC dan alkohol asam (Karsinah et al, 1994). Antigen H sangat imunogenik dan antibodi yang dibentuk adalah IgG (Julius, 1990). Sedangkan Antigen Vi adalah polimer dari polisakarida yang bersifat asam. Terdapat dibagian paling luar dari badan kuman bersifai termolabil. Dapat dirusak dengan pemanasan 60 oC selama 1 jam. Kuman yang mempunyai antigen Vi bersifat virulens pada hewan dan mausia. Antigen Vi juga menentukan kepekaan terhadap bakteriofaga dan dalam laboratorium sangat berguna untuk diagnosis cepat kuman S. typhi (Karsinah et al, 1994). Adanya antigen Vi menunjukkan individu yang bersangkutan merupakan pembawa kuman (carrier) (Julius, 1990). 1.3 Sifat Biokimia Salmonella sp. bersifat aerob dan anaerob falkultatif, pertumbuhan Salmonella sp. pada suhu 37oC dan pada pH 6-8. Salmonella sp. memiliki flagel jadi pada uji motilitas hasilnya positif , pada media BAP (Blood Agar Plate) menyebabkan hemolisis. Pada media MC (Mac Conkay) tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi glukosa , manitol dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas kecuali S. typhi yang tidak menghasikkan gas. Kemudian pada media indol negatif, MR positif, Vp negatif dan sitrat kemungkinan positif. Tidak menghidrolisiskan urea dan menghasilkan H2S (Julius,1990). 1.4 Patogenitas

Salmonellosis adalah istilah yang menunjukkan adanya infeksi Salmonella sp. Manifestasi klinik Salmonellosis pada manusia ada 4 sindrom yaitu: 1. Gastroenteritis atau keracunan makanan merupakan infeksi usus dan tidak ditemukan toksin sebelumnya (Karsinah et al, 1994). Terjadi karena menelan makanan yang tercemar Salmonella sp. misalnya daging dan telur (Julius,1990). Masa inkubasinya 8-48 jam, gejalanya mual, sakit kepala, muntah, diare hebat, dan terdapat darah dalam tinja. Terjadi demam ringan yang akan sembuh dalam 2-3 hari. Bakterimia jarang terjadi pada penderita (2-4%) kecuali pada penderita yang kekebalan tubuhnya kurang (Jawezt et al, 2008). 2. Demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi, dan demam paratifoid disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang masuk melalui mulut masuk kedalam lambung untuk mencapai usus halus, lalu ke kelenjar getah bening. Kemudian memasuki ductus thoracicus. Kemudian kuman masuk dalam saluran darah (bacterimia) timbul gejala dan sampai ke hati, limpa, sumsum tulang, ginjal dan lain-lain. Selanjutnya di organ tubuh tersebut Samonella sp. berkembang biak (Julius,1990). 3. Bakterimia (septikimia) dapat ditemukan pada demam tifoid dan infeksi Salmonella non-typhi. Adanya Salmonella dalam darah beresiko tinggi terjadinya infeksi. Gejala yang menonjol adalah panas dan bakterimia intermiten (Karsinah et al, 1994) . Dan timbul kelainan-kelainan local pada bagian tubuh misalnya osteomielitis, pneumonia, abses paru-paru, meningitis dan lain-lain. Penyakit ini tidak menyerang usus dan biakan tinjanya negatif (Julius,1990). 4. Carier yang asomatik adalah semua individu yang terinfeksi Salmonella sp. akan mengekskresi kuman dalam tinja untuk jangka waktu yang bervariasi disebut carrier convalesent, jika dalam 2-3 bulan penderita tidak lagi mengekskresi Salmonella. Dan jika dalam 1 tahun penderita masih mengekskresi Salmonella disebut carrier kronik (Karsinah et al, 1994). 1.5 Demam Tipoid Demam tipoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan disebabkan oleh S. typhi. Demam pararifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C keduanya termasuk demam enterik. Gejala keduanya sama namun demam paratifoid lebih ringan (Widoyono,2008). Sejarah demam tifoid pada tahun 1813 Breteneu pertama kali melaporkan tetang klinis dan anatomis demam tifoid. Kemudian Cornwalls Hewett (1826) melaporkan perubahan patologisnya. Selanjutnya seorang ilmuan dari prancis bernama Piere Louis (1829) memberikan nama typhos berasal dari bahasa yunani

yang artinya asap (kabut) karena penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat (Rampengan,1993). Demam tifoid penularannya melalui air dan makanan dinyatakan oleh Gaffky dan berhasil membiakan S. typhi pada media kultur pada tahun 1884 (Widoyono,2008). Selanjutnya seorang ilmuan bernama A.pfeifer berhasil menemukan Salmonella sp. di feses penderita, kemudian pada urin oleh Hueppe dan dalam darah oleh R.Neuhausss. Pada waktu bersamaan Widal (1896) berhasil memperkenalkan diagnosis demam tifoid (Rampengan,1993). 1.6 Patogenesis dan Gejala Klinik Patogenesis adalah mekanisme penyebab penyakit. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan asal usul dan perkembangan penyakit, apakah akut, kronis atau berulang. Kata ini berasal dari bahasa Yunani. Patogen Salmonella sp umumnya terkait dengan pencernaan tinja yang terdeteksi secara sporadic atau tidak sama sekali (Paola et al, 2010). Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi, dan demam paratifoid disebabkan S paratyphi A, B, dan C. Kuman yang masuk melalui mulut masuk kedalam lambung kemudian ke usus halus di bagian proksimal. Melakukan penetrasi kedalam sel epitel mukosa, selanjutnya masuk ke kelenjar getah bening regional mesentrium dan terjadi bakterimia. S. typhi sampai ke hati, limpa, sum-sum tulang dan ginjal. Di organ-organ tersebut S. typhi difagosit dan disini S. typhi memperbanyak diri tidak terpengaruh oleh antibodi pada penderita. Setelah periode multiplikasi intraseluler, organisme akan dilepaskan lagi ke aliran darah (bakterimia kedua) menyebabkan panas tinggi. S. typhi bila masuk ke kantung empedu dan plaque Peyer akan terjadi radang. Maka terjadi nekrosis jaringan secara klinik ditandai kholesistis nekrotikans dan pendarahan. Diagnosis kultur tinja akan positif dan menyababkan carrier kronik. Masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2 minggu paling singkat 3 hari dan paling lama 2 bulan. Gejalanya demam tinggi pada minggu ke-2 dan ke-3. Gejala lain yang sering ditemukan nyeri otot, sakit kepela, batuk dan lain-lain. Selain itu dapat dijumpai adanya bradikardia relatif, pembesaran hati dan limpa, bintik Rose sekitar umbilikus. Kemudian terjadi komplikasi antar lain hepatitis dan pendarahan pada usus. Terjadi setelah 1-3 minggu setelah pengobatan dihentikan (Karsinah et al, 1994). Gejala infeksi Salmonella sp atau Salmonellosis umumnya adalah demam, diare, mual, muntah dan sakit perut. Dalam beberapa kasus, Salmonellosis dapat menyebar ke aliran darah yang mengakibatkan penyakit yang lebih berat seperti infeksi arteri, Endokarditis, dan Arthritis. Strategi pencegahan penyakit Salmonellosis yang efektif adalah deteksi kasus, perbaikan sanitasi lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industry makanan, menekan angk reactor Salmonellosis, pendidikan kesehatan masyarakat serta eliminasi sumber infeksi (Sartika,2012).

1.7 Diagnosis Demam Tifoid

Diagnosis demam tifoid ada beberapa metode yaitu diagnosis klinik, diagnosis mikrobiolgik (kultur) dan diagnosis serologik. Yang merupakan pemeriksaan atau diagnosis gold standart demam tifoid dengan diagnosis mikrobiologik yaitu kultur darah, faeses, urin dan sum-sum tulang penderita demam tifoid (Karsinah et al, 1994). Berikut beberapa pemeriksaan laboratorium :

a. Pemeriksaan Mikrobiologi (kultur) Metode diagnosis mikrobiologik atau kultur merupakan gold standart untuk diagnosis demam tifoid. Spesifikasinya lebih dari 90% pada penderita yang belum diobati, kultur darahnya positif pada minngu pertama. Jika sudah diobati hasil positif menjadi 40% namun pada kultur sum-sum tulang hasil positif tinggi 90%. Pada minggu selanjutnya kultur tinja dan urin meningkat yaitu 85% dan 25%, berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Selama 3 bulan kultur tinja dapat positif kira-kira 3% karena penderita tersebut termasuk carrier kronik. Carrier kronik sering terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada laki-laki (Karsinah et al., 1994). b. Pemeriksaan Klinik (darah) a. Hitung lekosit total pada demam tifoid menunjukkan lekopenia, kemungkinan 3.000 sampai 8.000 per mm kubik. b. Hitung jenis lekosit : Kemungkinan limfositosis dan monositosis (Julius,1990) .

c. Pemeriksaan Serologi 1. 1. Widal test Merupakan uji yang medeteksi anti bodi penderita yang timbul pada minggu pertama. Uji ini mengukur adanya antibodi yang ditimbulkan oleh antigen O dan H pada Salmonella sp. (Julius, 1990). Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih (Jawezt et al, 2008). Sebagian besar rumah sakit di Indonesia menggunakan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid (Muliawan et al, 1999)

2. IDL Tubex® test Tubex®

test

pemeriksaan

yang

sederhana

dan

cepat.

Prinsip

pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita. Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit. Tabung ditempelkan pada magnet khusus. Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus (WHO, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti, T., Supar. 2005. Cemaran Salmonella Enteritidis pada Ternak dan Produknya. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. Jurnal Penelitian. D’aoust, J. V. 2001. Salmonella. Di dalam : Labbe’ RG, Garcia S, editor. Guide to Foodborne Pathogens. New York, A John Wiley & Sons, Inc., Publication. Hlm163-191. De Paola, A., J.L. Jones, J. Woods, W. Burkhardt, K.R. Calci, J.A. Krantz, J.C. Bowers, K. Kasturi, R.H. Byars, E. Jacobs, D. Williams-Hill, and K. Nabe. 2010. Bacterial and Viral Pathogens in Live Oysters, 2007 United States Market Survey. Appl Environ Microbiology. Jurnal Penelitian, 2754-2768. Jawetz ; Melnick; dan Adelberg’s. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta. Julius, E.S. 1990. Mikrobiologi Dasar. Jakarta : Binarupa Aksara Latar. Karsinah (et al). 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. EGC. Jakarta. Masita, I. A. 2015. Deteksi Salmonella sp. pada Daging Sapi Di Pasar Tradisional dan Pasar Modern Di Kota Makassar. Skripsi. Rampengan T.H., Laurentz. I. R. 1993. Penyakit Tropik Anak. EGC, Jakarta. Todar, K. 2005. Salmonella and Salmonellosis. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Departement of Bacteriology. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Semarang....


Similar Free PDFs