Tipologi Fasade Bangunan Kolonial di Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang PDF

Title Tipologi Fasade Bangunan Kolonial di Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang
Author Antariksa Sudikno
Pages 13
File Size 1 MB
File Type PDF
Total Downloads 302
Total Views 750

Summary

TIPOLOGI FASADE BANGUNAN KOLONIAL DI KORIDOR JALAN LETNAN JENDERAL SOEPRAPTO KOTA SEMARANG Bunga Indra Megawati, Antariksa, Noviani Suryasari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp.0341-567486 e-mail: [email protected] ABSTRAK Bangunan ...


Description

TIPOLOGI FASADE BANGUNAN KOLONIAL DI KORIDOR JALAN LETNAN JENDERAL SOEPRAPTO KOTA SEMARANG Bunga Indra Megawati, Antariksa, Noviani Suryasari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Telp.0341-567486 e-mail: [email protected]

ABSTRAK Bangunan kolonial Belanda menjadi titik awal dari studi yang dapat memberikan pengetahuan tentang tipologi fasade dan perkembangan bentuk arsitektur kolonial berlandaskan kebudayaan lokal dan iklim tropis. Bentuk–bentuk arsitektur tersebut dapat menjadikan cermin bangunanbangunan kolonial di Indonesia. Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif-eksploratif, dan pemilihan sampelnya digunakan purpossive sampling, kemudian dilanjutkan dengan metode deskriptif-kualitatif dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan. Hasil studi ditemukan empat periode pembangunan, yaitu pada abad ke-18, abad ke-19, abad ke-20 serta setalah abad ke-20, dan disetiap periode memiliki tipe fasade bangunan kolonial (elemen kepala bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan). Selain perbedaan periodesasi juga terdapat perbedaan fungsi–fungsi yang berbeda, yaitu sebagai tempat ibadah, perkantoran, perdagangan dan hunian. Tipologi berdasarkan elemen fasade bangunan mampu memberikan hasil visual terhadap kasus terpilih, yaitu 18 buah bangunan diketahui mempunyai morfologi elemen bangunan terhadap iklim. Secara umum disebutkan bahwa karakter visual dan tipe setiap tipologi fasade bangunan memiliki beberapa jenis atap, yaitu atap perisai, pelana, kubah serta kombinasi pada bentuk gable dan tower. Berdasarkan komposisi bangunan memiliki tipologi yang berbeda di setiap kasus bangunan antara lain memiliki sumbu yang simetris, dengan ritme atau perulangan pada elemen pembentuk fasade seperti pintu dan jendela yang dinamis, serta hirarki terpusat dengan nilai yang tinggi pada ukuran dan peletakkan entrance. Kata kunci: tipologi, fasade, kolonial

ABSTRACT The Dutch colonial buildings to be the first point of study which can given a knowledge relating to façade typologies, and the development of colonial architecture form is based on local culture and tropical climate. The architectural forms can construct a reflection of colonial buildings in Indonesia. This study used descriptive-exploratory methods, and the selection of the sample used purposive sampling methods, and then to analysis is used descriptive-qualitative method, which assisted with quantitative methods. Variables are used as aspect among others, is the era of development, building facade elements, and the composition of the building facade. The results study show four th th th th periods construction as in 18 , 19 , 20 and after 20 centuries, and each period had its own façade typology type (the head of the building element, body of the building, and foot of the building). Besides the different periods is found different functions, as place for pray, office, commerce and dwellings. Typology based on building façade elements be able to give visual result concerning selected cases, it results 18 buildings known have morphologies building elements toward climates. Generally, as is mention that visual character and every typology building façade types have several kind of roof shapes, which are angular roof (perisai), domes (pelana kubah), and combine gable and tower. Based on building compositions is have typology which different in every building cases, such as symmetric axes with its rhythm or repetition on its façade elements; as doors, windows which dynamic, and centralized hierarchy with high values on the sizes and entrance positioning. Keywords: typology, façade, colonial

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

143

Pendahuluan Pandangan masyarakat menyatakan bahwa kekuatan sejarah sangatlah besar sehingga tidak mungkin dapat diubah oleh usaha manusia. Walaupun mungkin ada yang dapat mengubah jalannya sejarah, sehingga nantinya penerus bangsa tidak bisa melihat gambaran secara keseluruhan mengenai sejarah dan peninggalan-peninggalannya. Masih ada pandangan lain lagi yang menyatakan bahwa sejarah tidak pernah berulang, karena setiap kejadian sejarah merupakan sesuatu yang telah lampau. Dalam hal ini, ada banyak faktor yang menyebabkan berlangsungnya suatu kejadian sejarah yang tidak mungkin seluruh faktor ini muncul dan terulang lagi. Maka, pengetahuan yang telah dimiliki mengenai suatu kejadian di masa lampau tidak dapat secara sempurna diterapkan untuk kejadian di masa sekarang. Banyak yang menganggap bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena pelajaran sejarah tetap dapat dan harus diambil dari setiap kejadian bersejarah. Sejarah yang terjadi mengakibatkan munculnya arsitektur yang semakin berkembang dan memperkaya arsitektur Indonesia yang nantinya mampu mempertinggi derajat manusia dan nilai historis bangsa Indonesia. Sejarah pada suatu kawasan akan membentuk arsitektur baru. Dengan begitu kekayaan bangsa Indonesia akan arsitektur semakin banyak dan hal tersebut berkaitan dengan bagaimana tipologi fasade pada arsitektur tersebut. Fasade bangunan yang beragam dan memiliki ciri khas pada zaman bersejarah memunculkan tipologi pada bangunan, dengan begitu bangunan kolonial peninggalan belanda akan dijaga keaslian arsitekturnya. Kehidupan sebuah kota akan berjalan dan berkembang menurut putaran waktu, tidak akan terlepas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Rentang waktu yang saling terkait mampu memberikan suatu refleksi bagi perjalanan kehidupan sebuah kota. Perkembangan Kota Semarang saat ini menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Sebagai kota yang berkembang, Semarang banyak mengalami pahit getirnya setiap kejadian sebagai suatu rangkaian sejarah. Bertumbuhnya Kota Semarang tentunya meninggalkan cerita dan peninggalan bersejarah yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan sebagai kebanggaan kota, sehingga memperkaya dan menunjukkan identitas diri Kota Semarang. Arsitektur kolonial Belanda di Kota Lama Semarang, yaitu arsitektur dengan beraneka ragam fasade bangunan yang mampu memberikan ciri khas arsitektur atau tipologi bangunan tersebut, dengan demikian suatu kawasan akan muncul tipologi bangunannya. Jika dilihat dari tipologi fasade bangunan yang terdiri dari elemen–elemen bangunan seperti bentuk, detail, tekstur dan bahan materialnya dapat dilihat pada kepala bangunan, tubuh bangunan, hingga kaki bangunan. Hal tersebut memperlihatkan bagaimana arsitek Belanda pada masa itu berusaha menerapkan bangunan tersebut di kawasan yang beriklim tropis. Keistimewaan pada tipologi fasade bangunan kolonial mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan karena bangsa Indonesia memiliki arsitektur yang beragam. Studi ini dilakukan, untuk dapat menggali lebih dalam lagi mengenai tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. Pemilihan objek dalam studi ini didasarkan dengan beberapa alasan di antaranya, objek ini memeliki bentuk arsitektur yang beragam serta beberapa permasalahan yang menarik untuk dilakukan studi. Hasil studi diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana tipologi fasade bangunan colonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. Kemudian tujuan studi ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis tipologi fasade bangunan kolonial dalam upaya untuk menggali data historis Kota Lama Semarang, dalam upaya mengembangkan bentuk–bentuk arsitektur kolonial yang menjadi kekayaan arsitektur nusantara.

144

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

Metode Penelitian Dalam studi ini, digunakan metode deskriptif dan eksploratif, dan pemilihan sampelnya digunakan metode purpossive sampling, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang dibantu dengan metode kuantitatif. Variabel yang dijadikan bahan antara lain adalah era pembangunan, elemen fasade bangunan, dan komposisi fasade bangunan. Data didapatkan melalui survey data primer, dan kegiatan observasi langsung ke lapangan, serta interview dengan beberapa pihak yang dianggap dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi studi dan survey data sekunder, melalui literatur-literatur, dan melalui survey ke beberapa instansi, seperti badan pertanahan nasional Kota Semarang, BAPEDA dan lain sebagainya. Proses pemilihan sampel bangunan menggunakan purpossive sampling, sesuai dengan kriteria yang ditentukan dari 18 sampel bangunan, sebagai kasus studi. Kriteria pemilhan sampel berdasarkan aspek keaslian fasade bangunan berkaitan dengan tingkat keaslian fasade bangunan yang tidak memiliki perubahan pada fasade dan kondisi dalam bangunan yang masih asli. Aspek keaslian fasade bangunan, dengan tingkat keaslian pada fasade bangunan namun di dalam isi bangunan telah mengalami perubahan pola ruang, aspek estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektonis keragaman fasade bangunan dilihat dari style, periodesasi, bentuk, motif, pola, warna, material, perletakan, dan fungsi, aspek pembangunan, berkaitan dengan tipologi dan keunikan pada fasade bangunan yang mewakili pada zamannya dan tidak terdapat pada daerah atau kawasan lain di Indonesia khususnya Kota Semarang. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. memiliki sasaran studi mengenai bagaimana elemen-elemen yang digunakan pada bagian fasade bangunan kolonial rakyat di kawasan studi. Analisis data dan penarikan kesimpulan berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah. Parameter yang dijadikan acuan penilaian adalah kesesuaian antara teori dengan objek yang ada di lapangan. Langkah awal adalah dengan mengumpulkan data di lapangan, lalu menyesuaikan dengan teori yang berkaitan dengan bentuk fasade bangunan. Langkah kedua, yaitu mencari tahu detail dari setiap elemen yang terdapat pada fasade bangunan. Hasil dari kedua langkah tersebut kemudian dijadikan acuan untuk membuat kesimpulan tentang tipologi fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang.

Hasil dan Pembahasan 1. Tipologi berdasarkan bentukan atap Bagian paling atas pada fasade bangunan adalah atap, sesuai dengan teori atap adalah mahkota bangunan sebagai bukti dari fungsinya sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan tersebut yang di sangga oleh badan bangunan. Secara visual atap merupakan sebuah akhiran yang paling sering dikorbankan demi eksploitasi volume bangunan. Kasus yang ditemukan pada bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang ini justru berbanding terbalik dengan teori yang menganggap atap sering dikorbankan, pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang atap merupakan bagian fasade bangunan yang masih dipertahankan keaslian bentuknya. Pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang serta kasus terpilih, mayoritas atap yang digunakan terbagi menjadi tiga, yaitu 1. Pelana; 2. Perisai (kombinasi gable dan tower pada bagian titik entrance); dan 3. Kubah dengan kombinasi tower di setiap sisi–sisi kubah. Kasus yang banyak ditemukan adalah pemakaian atap pelana pada fasade bangunan. Atap pelana pada kasus tersebut menggunakan bahan penutup berupa genteng tanah liat berwarna coklat. Atap pelana cenderung digunakan pada kasus yang

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

145

di bangun pada tahun 1920, tepatnya pada masa kependudukan Belanda berlangsung, sehingga pada perkembangannya bentuk atap tersebut menjadi bentuk yang mayoritas digunakan pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. (Gambar 1)

Bentuk atap pelana dengan bahan material genteng tanah liat digunakan untuk bahan utama atap pada tahun 1920 tanpa adanya elemen–elemen kepala bangunan, yang disebabkan oleh penyesuaian iklim dan budaya lokal.

Gambar.1. Bentuk atap pelana pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.37.

Penggunaan atap perisai pada fasade bangunan kolonial di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto ditemukan empat (4) bangunan, yaitu pada kasus 8 terdapat kombinasi dengan gable berbentuk segitiga sebagai penanda entrance pada bangunan, kasus 9 terdapat atap perisai dengan kombinasi gable yang runcing menyerupai kubah menggunakan bahan material dari semen dengan ornamen garis–garis geometri, kasus 15 bentuk atap perisai polos tanpa ada tambahan variasi terkesan tradisional dan sederhana, dan kasus 16 memeiliki bentuk atap perisai dengan kombinasi tower dan kubah yang ada pada atap bangunan. Atap perisai digunakan pada tahun yang sama seperti atap pelana tahun 1920 namun, disetiap penggunaan atap perisai memiliki fungsi sebagai bangunan perkantoran. (Gambar 2)

Selain atap pelana, penggunaan atap perisai juga merupakan atap yang yang digunakan pada tahun 1920 sebagai atap yang bias beradaptasi dengan iklim dan budaya.

Gambar 2. Bentuk atap perisai pada kasus tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.1.

Atap kubah ditemukan pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprpato Kota Semarang berjumlah satu kasus saja, yaitu pada kasus satu. Atap kubah digunakan pada kasus yang di bangun pada abad ke-18. Fungsi dari bangunan beratap kubah yakni sebagai tempat beribadah. Bentuk kubah pada atap bangunan mampu memberikan

146

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

bentuk dan ciri khas tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, sehingga fasade bangunan pada abad ke-18 mampu memberikan identitas, karakter, dan tipe tersendiri pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang. (Gambar 3 dan Tabel 1)

Penggunaan atap kubah disebabkan oleh pengaruh dari fungsi bangunan serta status sosial pemilik bangunan. Atap kubah melambangkan kekuatan dan keselamatan.

Gambar. 3. Bentuk atap kubah pada kasus 1 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.32. Tabel.1. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Atap Bangunan Jenis Atap Pelana

Kombinasi Polos

Pelana Perisai Perisai Kubah

Gable Gable Tower Tower

Kasus kasus 3, kasus 4, kasus 5, kasus 6, kasus 7, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 14, kasus 17. kasus 2 dan kasus 18 kasus 8, kasus 9, kasus 15 kasus 16. kasus 1

Tipologi listplank pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang hanya memiliki dua bentuk, yaitu polos dan permainan ornamen. Dua belas kasus menggunakan listplank polos, enam kasus tidak menggunakan listplank di karenakan memiliki bentuk fasade yang massif dan satu kasus menggunakan listplank dengan ornament (Gambar 4)

Listplank dengan motif pada kasus 12 menggunakan bentuk tradisional dengan bahan dari kayu memberikan warna dan variasi yang baru pada adaptasi bangunan kolonial terhadap budaya Indonesia

Gambar 4. Bentuk listplank berornamen pada kasus 12 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.9.

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

147

Tipologi berdasarkan bentuk–bentuk dari karakteristik bangunan kolonial pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, keberadaan gable, dormer, dan nok acroterie hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan pada abad ke-18, abad ke19 serta setelah tahun 1920. Bentuk gable mayoritas menggunakan bentuk segitiga dengan permainan garis–garis geometri serta menggunakan bahan material dari semen. Fungsi dari gable merupakan hiasan puncak atap yang mampu mewakili letak entrance pada suatu bangunan. Keberadaan dormer hanya terdapat pada beberapa kasus bangunan yang fungsinya merupakan bangunan rumah tinggal dikarenakan fungsi dormer sebagai sirkulasi udara pada perapian, bentuk dormer mayoritas menggunakan bentuk persegi dengan motif krepyak dan berbahan material dari semen. Nok acroterie merupakan hiasan puncak atap yang paling tinggi letaknya. Bentuknya yang runcing berbahan material dari besi memberikan simbol keselamatan dan kemakmuran pemilik bangunan tersebut. Keberadaan bentuk fasade bangunan kolonial mampu menyiratkan kondisi arsitektur di Belanda dengan penerapan ini, maka arsitektur kolonial di Indonesia akan beragam, tidak seluruh bangunan kolonial menggunakan karakteristik tersebut melainkan penyesuaian terhadap status sosial pemiliki, iklim, budaya, serta fungsi bangunan menjadi perhatian penting dalam menentukan bentuk fasade bangunan, begitu juga pada koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto disesuaikan dengan fungsi pada bangunan. 1.

Tipologi berdasar elemen pada dinding Ditinjau dari tekstur dinding pada kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi menjadi dua, yaitu bertekstur halus dan bertekstur kasar. Hal ini dikarenakan pada 17 kasus bangunan menggunakan dinding polos bertekstur halus dan 1 kasus bangunan menggunakan permainan ornamen bata klinker pada bidang dinding. Terlihat pada kasus 2 menggunakan bata klinker sebagai bagian fasade bangunan. (Gambar 5)

Gambar 5. Bentuk dinding dengan bata klinker pada kasus 2 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.29.

Teritisan pada kasus yang ada di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang letak teritisan sepanjang lebar fasade bangunan. (Gambar 6)

Gambar 6. Bentuk teritisan pada tahun 1920 kasus 14 dan kasus 17 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.

148

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

Lubang angin untuk kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto terbagi atas dua jenis, yaitu berbentuk persegi dan berbentuk lengkung. Bentuk lubang angin lengkung hanya ditemukan pada kasus 4 dan kasus 16, sedangkan enam belas kasus yang lain menggunakan bentuk persegi pada lubang angin. Lubang angin pada kasus di Koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang mayoritas berbentuk persegi dengan permainan aksen garis. (Gambar 7)

Bentuk bouvenlicth menyesuaikan dengan bentuk dan ukuran dari bukaan pada fasade bangunan.

Gambar 7. Bentuk lubang angin pada kasus 13 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.23-25.

Bentuk bouvenlicth memberikan kesan yang monoton, sehingga permainan garis–garis geometri akan membuat bouvenlicth sebagai elemn fasade yang juga penting bagi bangunan.

Gambar 8. Bentuk lubang angin pada kasus 5 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto No.19.

Jenis pintu pada pada delapan belas kasus yang ditemukan di koridor Jalan Letnan Jederal Soeprapto, keseluruhan pintu pada fasade utama terbagi atas beberapa bentuk, antara lain: 1. Pintu rangkap ganda; dan 2. Pintu ganda. (Gambar 9)

Tipologi bentuk pintu ganda

Gambar 9. Tipologi pintu pada kasus Jenderal Soeprapto No.19.

Tipologi bentuk pintu rangkap ganda

5 di koridor Jalan Letnan

arsitektur e-Journal, Volume 4 Nomor 3, November 2011

149

Bahan material yang digunakan pada pintu rangkap ganda adalah lapis terluar berupa besi dengan permainan garis–garis, sedang lapis terdalam berupa kayu massif dengan permainan ornamen kaca. Bahan material pintu jenis ganda yaitu berupa kusen kayu dan kaca. (Tabel.2) Tabel 2. Klasifikasi Tipologi Berdasarkan Pintu Jenis Pintu Pintu ganda

Pintu rangkap ganda

Kasus Kasus 1, kasus 2, kasus 3, kasus 4, kasus 7, kasus 9, kasus 10, kasus 11, kasus 12, kasus 13, kasus 14, kasus 15, kasus 16, kasus 17, kasus 18 Kasus 5, kasus 6, kasus 8

Jenis jendela pada delapan belas kasus di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto Kota Semarang, terbagi atas beberap bentuk, antara lain: 1. Jendela rangkap ganda; 2. Jendela ganda; dan 3. Jendela tunggal. (Gambar 10)

Tipologi bentuk jendela tunggal

Tipologi bentuk jendela rangkap ganda

Tipologi bentuk jendela ganda

Gambar 10. Tipologi jendela pada kasus di tahun 1920 di koridor Jalan Letnan Jenderal Soeprapto.

Jenis jendela yang ditemukan pada kasus 1 semua menggunakan bentuk jendela tunggal dengan motif krepyak dan permainan garis- garis. Bahan material yang digunakan pada jendela rangkap ga...


Similar Free PDFs