Pelestarian dan Perlindungan Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang PDF

Title Pelestarian dan Perlindungan Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang
Author Antariksa Sudikno
Pages 20
File Size 527.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 738
Total Views 769

Summary

Telah dimuat dalam Jurnal ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia), Volume 3 Nomor 2 April 2004, hlm. 107-123. ISSN: 1412-2067. Pelestarian dan Perlindungan Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang Antariksa, Rusdi Tjahjono, dan Sigmawan Tri Pamungkas Staf Pengajar Juru...


Description

Telah dimuat dalam Jurnal ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia), Volume 3 Nomor 2 April 2004, hlm. 107-123. ISSN: 1412-2067.

Pelestarian dan Perlindungan Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang Antariksa, Rusdi Tjahjono, dan Sigmawan Tri Pamungkas Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145 [email protected]

Abstract In addition bringing the positive impact, the development can also construct a negative impact to the natural environment in spite of evolving culture and society itself. The development is disposed in give emphasis to the economic side apprehensive will be increasingly condemnation of historical buildings. The historical buildings in the area used of the street with mountains name are is a part of an ancient history which reflects societies of Malang city. If we pay close attention to historical buildings create sources for planning in the future which have identity, character or authenticity and appropriate with the environment. Because of the above mention, the historical buildings in the street with mountains name are need to conserved and protected which consist of important meaning as a trip of historical-culture-architecture of a nation. Especially for cultivate a feeling proud of nationality along with a consciousness authenticity. The government of Malang city has the duty of protecting historical buildings in the street with mountains name are in order that the cultural heritage can be conserved.

Pendahuluan Pelestarian dan perlindungan bangunan kuno-bersejarah merupakan langkah yang sangat tepat bagi kawasan-kawasan yang terdapat di Kota Malang. Pelestarian bangunan kuno-bersejarah mempunyai maksud untuk menyelamatkan kelestarian objek. Di samping itu juga diharapkan dapat meningkatkan mutu lingkungan dan kawasan sekitar, yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat serta dapat menjadi wahana bagi wisata pendidikan dan mendukung perkembangan pariwisata. Asal mula sejarah terbentuknya Kota Malang dimulai sejak jaman kerajaan Kanjuruhan dan Singosari, yaitu berkembang dari sebuah kerajaan yang berpusat di kawasan Dinoyo. Pada tahun 1824 Pemerintah Belanda menetapkan Karesidenan Malang. Bersamaan dengan itu, dibangun kantor-kantor pemerintah dan daerah permukiman untuk pegawai-pegawai pemerintah di daerah Alun-alun, Terminal Patimura, dan sekitarnya. Kota Malang dikembangkan sebagai daerah peristirahatan bagi orang-orang Belanda dan kaum ningrat Jawa.

1

Di beberapa kawasan Kota Malang masih banyak terdapat bangunan kunobersejarah yang memiliki nilai sejarah, antara lain bangunan-bangunan rumah tinggal yang ada di kawasan Ijen, Kantor PLN, kawasan Splendid, kawasan Alun-alun, dan sebagainya. Pada kenyataannya banyak bangunan lama dirobohkan untuk diganti dengan bangunan-bangunan baru. Seperti yang terjadi pada bangunan-bangunan rumah tinggal di kawasan yang menggunakan nama jalan gunung-gunung, dan telah banyak mengalami perubahan, dengan munculnya bangunan-bangunan baru. Untuk mengantisipasi semakin berkurangnya bangunan kuno-bersejarah baik bangunan rumah tinggal, kantor, toko, hotel, dan sebagainya serta memperhatikan halhal tersebut di atas, dipandang perlu untuk melestarikan dan melindungi bangunan kuno-bersejarah yang masih bertahan sampai saat ini. Dengan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan pelestarian dan perlindungan bangunan kuno-bersejarah terutama di kawasan yang menggunakan nama jalan gunung-gunung.

Perkembangan Tata Ruang Kota Pada rencana perluasan kota berdasar Bouwplan V, dengan luas 16.768 m², dimulai sekitar tahun 1924/1925. Hal ini dilakukan karena pada waktu itu penduduk di Kota Malang terutama bangsa Eropa meningkat pesat, sehingga perluasan tersebut diperuntukkan bagi bangsa Eropa. Kemudian yang menjadi terkenal dalam perluasan ini adalah pembangunan taman olah raga di sekitar Jl. Semeru yang sampai sekarang masih ada dan berfungsi sebagai sarana olah raga masyarakat Malang. Daerah tersebut merupakan permukiman yang letak dan pola bangunannya masih bertahan sampai sekarang. Jalan utama pada perencanaan ini adalah, Jl. Ijen yang membujur ke arah utara-selatan yang di tengahnya terdapat taman. Kawasan Ijen Boulevard masih bertahan sampai saat ini dengan pohon palemnya, hanya rumah tinggal yang terdapat dikawasan itu sudah banyak mengalami perubahan besar terutama dalam bentuknya. Pada perkembangan berikutnya, adalah Bouwplan VII, dengan luas 252.948 m², merupakan perkembangan permukiman yang berdasar pada rencana sebelumnya. Bouwplan VII, dimaksudkan sebagai lanjutan perluasan bagian barat kota setelah Bouwplan V. Selain daerah perumahan elit, dengan jenis Villa (dengan kaveling besar serta bentuk rumah tinggal yang luas dan ukuran yang besar pula). Perkembangan permukiman yang dahulu diperuntukkan bagi pendatang dalam hal ini orang Belanda masih bertahan sampai sekarang.

Kebijakan Pemerintah Kota Terhadap Kawasan Bersejarah di Jalan Gununggunung Pemerintah Kota Malang sendiri telah telah memiliki perangkat hukum untuk menjaga bangunan-bangunan kuno-bersejarah di Kota Malang terutama di kawasan yang menggunakan jalan dengan nama gunung-gunung, yaitu dengan adanya SK Walikotamadya Kepala Dati II Malang Nomor SK/104/U/II/’80, yang dalam diktum kedua dari SK tersebut menggariskan sebagai berikut: “Lingkungan perumahan yang perlu dipertahankan bentuk keasliannya adalah Jl. Ijen, Jl. Semeru, Jl. Bromo, Jl. Arjuno, Jl. Tangkubanperahu, Jl. Tennes, Jl. Sumbing, Jl. Sindoro, Jl. Taman slamet, Jl. Welirang, Jl. Buring, Jl. Lawu, Jl. Argopuro, Jl. Lamongan, Jl. Merapi, Jl. Muria, Jl. Cerme, Jl.

2

Ungaran, Jl. Baluran, Jl. Guntur, Jl. Anjasmoro, Jl. Raung, Jl. Simpang Balapan, Jl. Merbabu, Jl. Tampomas, Jl. Lasem, Jl.Ringgit, Jl. Papandayan, Jl. Cikurai, Jl. Jakarta, Jl. Pahlawan Trip, Jl. Rinjani, Jl. Dempo, Jl. Kerinci, Jl. Tanggamus, Jl. Retawu, Jl. Wilis, Jl. Panderman, Jl. Telomoyo, Jl. Pandan, Jl. Kawi, Jl. Gede, dan sekitarnya.” Kemudian SK ini diperkuat menjadi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1986, yang selanjutnya dilakukan perubahan menjadi Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1989, isinya antara lain bahwa dalam rangka usaha terciptanya salah satu citra Kota Malang sebagai Kota Pariwisata, perlu mempertahankan kelestarian bangunan yang dapat menunjang kepariwisataan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah melarang perubahan atau pembongkaran bangunan yang oleh Pemerintah Daerah dianggap memiliki nilai sejarah, kebudayaan khusus, atau guna kepentingan pariwisata, kecuali apabila mendapatkan ijin dari Kepala daerah setelah mendapatkan pertimbangan dari Bappeda Kota Malang. Namun, pada kenyataannya, Perda ini ternyata tidak efektif dan banyak bangunan baru tumbuh menggantikan bangunan-bangunan lama di kawasan studi yang hendak dilestarikan dan dilindungi tersebut.

Karakteristik Kecamatan Klojen Kedudukan kawasan studi dalam konstelasi tata ruang kota Secara administratif sebagai kawasan studi Kecamatan Klojen berada dalam pengembangan sistem struktur pelayanan Kota Malang merupakan BWK Kecamatan Klojen sekaligus sebagai BWK Pusat Kota. Sebagai BWK Pusat Kota tentunya kedudukan Kecamatan Klojen memiliki peran dan fungsi wilayah yang sangat penting dan strategis, yaitu sebagai pusat pelayanan utama (sosial-ekonomi masyarakat) Kota Malang dan sekitarnya. Khusus pada kawasan studi, merupakan kawasan dengan nama jalan gununggunung, yang dalam pembagian unit pelayanan di dalam BWK Kecamatan Klojen, termasuk dalam SBWK A dan SBWK C. SBWK A, yang berpusat di sekitar Pasar Orooro Dowo, kegiatan yang dikembangkan meliputi permukiman, pendidikan, perdagangan, jasa, penggunaan campuran, fasilitas umum, dan fasilitas olah raga. Untuk SBWK C, yang berpusat di sekitar Pasar Bareng, kegiatan yang dikembangkan meliputi permukiman, pendidikan, perdagangan, jasa, penggunan campuran, fasilitas umum dan olah raga, serta kawasan khusus (konservasi). Pola penggunaan lahan Pola penggunaan lahan merupakan salah satu aspek yang akan menjadi pertimbangan dalam proses pengembangan kota. Dominasi penggunaan tanah di kecamatan Klojen adalah permukiman/pekarangan dengan luas 477,044 Ha dari total luas wilayah kecamatan 882,50 Ha. Untuk penggunaan tanah yang paling sedikit berupa fasilitas militer dengan luas 6,41 Ha. Dari total luas wilayah kecamatan tersebut dimanfaatkan untuk penggunaan tanah baik terbangun atau pun tidak terbangun, yang secara rinci adalah sebagai berikut: Permukiman seluas 477,044 Ha; Perkantoran seluas 41,141 Ha; Militer seluas 6,410 Ha; Perdagangan dan Jasa seluas 114,256 Ha; Fasilitas pendidikan seluas 36,902 Ha; Fasilitas kesehatan seluas 28,871 Ha; Setasiun Kereta Api seluas 7,387 Ha; Jalur hijau seluas 18,438 Ha; tanah terbuka seluas 49,660 Ha; dan lain-lain seluas 102,391 Ha. Dari uraian di atas nampak bahwa selain

3

menampung kegiatan permukiman, Kecamatan Klojen penggunaan tanahnya juga didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa dengan komposisi 12,95% dari jumlah total keseluruhan. Dengan demikian, fungsi kecamatan pada saat ini terkait dengan kegiatan perdagangan dan jasa. Pola permukiman di Kecamatan Klojen adalah memusat dan padat. (Tabel 1 dan Tabel 2)

Arsitektur dan Tata Bangunan di Kawasan Studi Populasi bangunan di kawasan studi mencapai jumlah 1.434 unit yang berada pada 57 koridor jalan. Dari hasil observasi, data arsitektur dan tata bangunan di kawasan studi diklasifikasikan berdasar fungsi, sempadan dan tinggi bangunan, struktur dan konstruksi, serta arsitektoniknya. Fungsi bangunan Fungsi bangunan berkaitan dengan jenis aktivitas utama yang bertempat di dalam bangunan tersebut. Untuk itu fungsi bangunan ini dibedakan fungsi perdagangan dan jasa, kantor dan fasilitas umum lainnya, rumah usaha dan rumah tinggal. Dengan dasar tersebut, hasil observasi menunjukkan bahwa di kawasan studi didominasi fungsi bangunan rumah tinggal yang mencapai 1.007 unit, atau 72,24% dari populasi. Dominasi fungsi ini hampir merata di seluruh ruas jalan, kecuali di Jalan Kawi yang lebih dominant fungsi perdagangan dan jasa dibandingkan fungsi lainnya. Untuk fungsi bangunan rumah yang sekaligus digunakan untuk aktivitas usaha (Rumah Usaha) ada 10,83% (151 unit). Kemudian untuk dua fungsi lainnya mempunyai jumlah setara, yaitu 119 unit (8,54%) fungsi perdagangan dan jasa, dan 117 unit (8,39%) fungsi kantor dan fasilitas umum. (Tabel 3) Jarak dan jumlah lantai bangunan Jarak bangunan diidentifikasi dengan mengukur jarak bangunan dari batas kavling/pagar bangunan, yang meliputi jarak depan, samping kiri dan kanan bangunan. Jumlah lantai bangunan sekaligus dimungkinkan untuk dapat memberi gambaran ketinggian bangunannya. Jarak bangunan di setiap ruas jalan berbeda-beda dengan kisaran 2 hingga 15 m untuk jarak depan bangunan, dan 0 hingga 3 m untuk jarak samping. Jarak bangunan panjang berada pada ruas jalan Ijen dan Jl. Slamet, sedangkan jarak bangunan pendek berada di Jl. Kawi dan Jl.Simpang Ijen. Bangunan di kawasan studi rata-rata berlantai 1 dengan ketinggian antara 5 hingga 7 m (termasuk ketinggian atap) dari muka tanah. Dari 1.434 unit bangunan, yang berlantai 1 ada 1.032 unit, atau 71,96% dari populasi bangunan. Bangunan yang berlantai 2 ada 392 unit (27,34%) dan bangunan berlantai 3 ada 10 unit (0,70%). Struktur dan konstruksi Struktur dan konstruksi bangunan difokuskan pada bahan konstruksi dinding dan atap serta sistem struktur yang digunakan kemudian diidentifikasi kondisinya. Konstruksi dinding dan atap tidak sampai mengidentifikasi bahan finishingnya, melainkan bahan utama yang menunjukkan teknologi konstruksinya. Bahan konstruksi dinding dari bahan batu bata, baik sebagai komponen struktur maupun hanya sebagai dinding pengisi. Hampir tidak dijumpai bahan konstruksi dinding selain batu bata. Untuk konstruksi

4

atapnya rata-rata menggunakan bahan kayu dengan penutup atap genting. Untuk struktur utamanya digunakan sistem dinding pemikul, rangka atau kombinasi keduanya, dengan bahan batu bata atau beton. Kondisi struktur dan konstruksi bangunan rata-rata baik, hanya ada beberapa bangunan di kawasan studi adalah: 1.128 unit bangunan (78,66%) dalam kondisi baik, 279 unit bangunan (19,46%) kondisinya sedang, dan 27 unit bangunan (1,88%) dalam kondisi rusak. (Tabel 4) Arsitektur bangunan Arsitektur bangunan diidentifikasi berdasar tipe gaya bangunan kolonial Nix (1949), yaitu tipe empire, romantik, pra 1900, pasca 1900, dan periode 1915 hingga 1930. Tipe empire merupakan bentukan figur tampak yang simitris dengan kolom bulat dan besar berjajar mengapit bukaan pintu dan jendela, yang kemudian berkembang ke varianvarian lain yang nantinya dikelompokkan pada tipe pra 1900. Selanjutnya, berkembang tipe bangunan asimetri dengan atap runcing dan ornament pada fasade bangunan yang disebut gaya romantik dan berkembang pendek antar tahun 1900 hingga tahun 1920an. Periode 1915-1930 berkembang tipe bangunan kolonial yang telah mengadopsi bangunan tropis, dengan atap runcing, kantilever, teras dan ornamen pada bukaanbukaan penghawaan. Dengan menggunakan klasifikasi tersebut, nampak jelas bahwa di kawasan studi, arsitektur bangunan didominasi oleh tipe arsitektur periode tahun 1915-1930, yang jumlahnya lebih dari 90% dari bangunan kolonial yang masih tetap bertahan. Tipe arsitektur romantik dan pasca 1900-an masih ditemukan di beberapa tempat, seperti di Jl. Merbabu dan Jl. Semeru. Untuk tipe pra tahun 1900 dan tipe empire tidak terdapat di kawasan studi. Status kepemilikan Status kepemilikan bangunan kuno-bersejarah di kawasan studi terdiri atas beberapa status yang berbeda. Meskipun data yang didapatkan dari Badan pertanahan Nasional Kota malang tidak lengkap, pada umumnya status kepemilikan bangunan yang paling banyak adalah Hak Milik dan Hak Milik Eigendom.

Perlindungan dan Pelestarian di Kawasan Studi Perubahan lingkungan Pembentukan karakter kawasan banyak didominasi oleh rancangan struktur ruang kawasan, tata ruang luar, arsitektur serta tata bangunannya. Struktur ruang kawasan dibentuk oleh pola/jalur pergerakan, sedangkan tata ruang luar dibentuk oleh pola, rancangan elemen-elemen vegetasi, dan elemen-elemen buatan (Trancik, 1986). Dengan demikian, penilaian perubahan pada tingkat kawasan dapat menggunakan parameter perubahan pada pola struktur jalan, elemen vegetasi, dan elemen buatan pada ruang luarnya. Struktur ruang kawasan yang terbentuk semi grid dengan poros pada Jl. Besar Ijen merupakan struktur ruang kawasan yang masih bertahan sampai saat ini. Kawasan studi secara fungsional belum terlalu banyak berubah dari fungsi awal perencanaan, yaitu fungsi permukiman. Hal ini ditunjukkan dari hasil observasi yang mengungkapkan bahwa 72,24% dari populasi bangunan di kawasan studi berfungsi

5

sebagai bangunan rumah tinggal. Perubahan fungsi yang cukup penting, terutama adalah semakin menyempitnya area terbuka hijau kota, yang berfungsi pula sebagai daerah resapan kota, serta berubah fungsi sebagai area terbangun, seperti Smeroe Park, yang berubah menjadi bangunan Museum Brawijaya dan kompleks perumahan Indrakila; Race course menjadi Akademi Kebidanan dan perumahan, serta kawasan sepanjang DAS Brantas menjadi kawasan permukiman dan jasa. Alih fungsi dapat berawal dari berkembangnya fungsi rumah tinggal menjadi rumah usaha, kantor, atau perdagangan dan jasa. Dari data lapangan menunjukkan bangunan rumah tinggal yang menjadi rumah usaha ada 10,83% dari populasi bangunan yang ada di kawasan studi. Pola visualisasi kawasan koridor Ijen Boulevard sendiri masih cukup bertahan sampai saat ini, terutama tatanan ruang luarnya yang dicirikan dengan lebar jalan, adanya boulevard di median jalan, tatanan vegetasi utamanya (terutama pohon palem raja), serta setback deretan bangunan terhadap tepi jalan. Dalam konteks pelestarian, perubahan-perubahan fungsi dimungkinkan, sejauh tidak merusak karakter bangunan dan tergantung dari nilai kesejarahan dari bangunan tersebut. Dari identifikasi di atas menunjukkan bahwa karakter kawasan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan hanya terjadi pada elemen-elemen ruang luar yang bersifat tentatif, yang dapat dengan mudah ditata ulang, seperti elemen buatan, dan vegetasi dari tanaman hias. Perubahan bangunan Perubahan bangunan diidentifikasi dari tipologi arsitekturnya. Bila pada kawasan studi didominasi oleh fungsi permukiman, maka tipologi akan dapat memudahkan mengidentifikasi perubahan tersebut. Dengan demikian dalam menilai perubahan bangunan nantinya digunakan parameter tingkat perubahan dari sitem spasial, fisik dan ornamennya. Dari parameter tersebut menunjukkan bangunan di kawasan studi cukup banyak yang telah berubah total dibandingkan yang masih tetap bertahan. Bangunan yang berubah total mencapai 38,84% dari populasi bangunan dan yang tidak berubah 26,35%. Sisanya 222 unit (15,48%) bangunan terdapat perubahan kecil hingga sedang, dan 227 unit (19,31%) bangunan terdapat perubahan sedang hingga besar. (Tabel 5) Makna Kultural Lingkungan Bersejarah di Kawasan Studi Konsep makna kultural lingkungan (Kerr, 1982), adalah menggabungkan kepentingan pelestarian sejarah dengan penilaian-penilaian arsitektural dari suatu lingkungan bersejarah, dalam hal ini kawasan studi (daerah yang menggunakan nama jalan gunung-gunung). Konsep ini mencakup penilaian makna kultural dengan menggunakan kriteria-kriteria fisik-visual, meliputi nilai-nilai: jenis, guna lahan, intensitas, dan pola visual. Oleh karena itu, konsepsi yang diambil dari perencanaan kota, adalah yang menentukan estetika sebuah kota, baik dalam pembangunan daerah perumahan maupun dalam pembangunan jalannya. Perencanaan Kota Malang yang sangat berpengaruh saat itu terutama pembentukan dan perkembanagn kawasan studi adalah pada tahap Bouwplan V (tahun 1924/1925) dan Bouwplan VII (tahun 1930). Dalam tahap perencanaan ke V ini, lebih

6

ditekankan pada perkembangan permukiman ke arah barat kota, dan daerah ini dipilih dikarenakan daerahnya tinggi. Arahan fungsi dan kegiatan pelayanan kota yang dikembangkan di kawasan studi terutama adalah kegiatan sekunder, yaitu antara lain: kegiatan perdagangan di sekitar Pasar Oro-oro Dowo dan Pasar Bareng untuk pengembangan terpusat, dan di sepanjang koridor Jl. Kawi; kegiatan pemerintahan dan pertokoan di sepanjang koridor Jl. Kawi dan Jl. Arjuno; kegiatan pelayanan umum di sepanjang Jl. Kawi; dan kegiatan fasilitas pendidikan tersebar merata sesuai dengan skala pelayanan. Dalam Evaluasi RTRW Kota Malang Tahun 2002 dan Evaluasi RDTRK Kecamatan Klojen Tahun 2003, yang dua-duanya sedang dalam proses Perda, menunjukkan bahwa kawasan studi pada masa mendatang direncanakan tetap berfungsi sebagai area permukiman. Di dalam arahan rencana penataan ruang kota yang telah ada (Evaluasi RTRW Kota Malang Tahun 2002), yang tertuang di dalam rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung-Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan, satu-satunya kawasan/daerah yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan dilestarikan adalah kawasan permukiman Jl. Besar Ijen. Berdasarkan kriteria fisik-visual yang telah ditetapkan, tingkat perubahan lingkungan yang terjadi di masing-masing koridor jalan, nilai historis, keselarasan dengan rencana tata ruang/kawasan, serta kecenderungan perubahan yang mungkin akan terjadi, dapat ditentukan kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai berikut: nilai historis yang tinggi atau kualitas kenangan yang abadi; jiwa tempat dan karakter kawasan yang kuat; dan memiliki kontinuitas visual yang koheren. Dengan menggunakan kriteria-kriteria tersebut maka kawasan studi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: lingkungan yang bernilai makna kultural tinggi adalah koridor Jl. Besar Ijen; lingkungan yang bernilai makna kultural sedang, adalah koridor-koridor jalan selain Jl. Besar Ijen, Jl. Kawi, dan Jl. Dieng; dan lingkungan yang bernilai makna kultural rendah, adalah koridor Jl. Kawi dan Jl. Dieng. Makna Kultural Bangunan Kuno-Bersejarah Pendekatan ini mencakup dua langkah pokok, yaitu penetapan makna kultural serta pencarian cara-cara terbaik untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam penggunaan dan pengembangannya di masa depan. Pada penetapan nilai makna kultural dilakukan pemahaman dan penilaian objek-objek studi beserta nilai tempatnya dengan menggunakan b...


Similar Free PDFs