Orientalisme oleh Edward W. Said PDF

Title Orientalisme oleh Edward W. Said
Author Benni Amor
Pages 6
File Size 79.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 96
Total Views 560

Summary

Orientalisme oleh Edward W. Said Benni Amor Pengantar Esai ini akan membahas mengenai pemahaman orientalisme menurut Edward W. Said. Pemahaman orientalisme menurut Edward W. Said akan digunakan sebagai kacamata untuk melihat salah satu kasus empiris yang dialami secara langsung oleh penulis. Akhirny...


Description

Orientalisme oleh Edward W. Said Benni Amor

Pengantar Esai ini akan membahas mengenai pemahaman orientalisme menurut Edward W. Said. Pemahaman orientalisme menurut Edward W. Said akan digunakan sebagai kacamata untuk melihat salah satu kasus empiris yang dialami secara langsung oleh penulis. Akhirnya, penulis akan memberikan suatu tanggapan kritis mengenai relevansi pemikiran Edward W. Said pada konteks Indonesia.

Orientalisme Orientalisme merujuk pada negara-negara yang berada di timur (Asia). Orientalisme berangkat dari cara negara-negara di barat (Eropa) melihat negara-negara di timur. Sedangkan, oksidentalisme (Occidentalism) merupakan cara orang-orang di negara barat melihat negara-negara barat (Said, 42). Orientalisme terkait erat dengan dua terminologi dari Francis Bacon yaitu pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power). Relasi antara negaranegara di Eropa dengan negara-negara di Asia terlihat dalam kerangka oposisi biner contohnya menguasai dan yang dikuasai, kita (we atau us) dan mereka (they), yang memerintah dan yang diperintah. Kekuasaan itu berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari negara-negara di Eropa. Pengetahuan itu memampukan negara-negara di Eropa (sebagai penguasa) untuk menentukan tolok ukur terhadap negara-negara di Asia. Tolok ukur itu secara nyata ada dalam kata “negara yang beradab atau peradaban suatu negara”. Dalam hal ini, ukurannya sangat jelas yaitu peradaban yang ada di negara-negara Eropa. Demikian juga, tolok ukur terhadap yang orien telah mendapatkan posisi yang kurang lebih berada di bawah peradaban Eropa. Hal itu nampak dalam pernyataan seorang orientalis yang bernama Sir Alfred Lyall (Said, 38): "Accuracy is abhorrent to the Oriental mind. Every Anglo-Indian should always remember that maxim." Want of accuracy, which easily degenerates into untruth-fulness, is in fact the main characteristic of the Oriental mind.

Pernyataan dari Sir Alfred Lyall memperlihatkan dengan jelas perbedaan antara cara berpikir oriental dan cara berpikir Eropa (Said, 38). Cara berpikir Eropa mempunyai ciri akurat dengan fakta-fakta berdasarkan pada premis-premis. Cara berpikir barat adalah cara berpikir yang menekankan logika. Dalam menggali sebuah fakta, cara berpikir barat berupaya menghindari berbagai ambiguitas. Sedangkan cara berpikir oriental berlawanan dengan barat. Cara berpikir oriental tidak begitu teliti dalam menggambarkan sesuatu. Cara berpikir Oriental kurang mampu untuk menarik kesimpulan dari premis-premis yang mereka akui sebagai kebenaran.

Perkembangan lebih lanjut mengenai percakapan orientalisme terdapat dalam ruang-ruang akademis. Orientalisme menjadi objek pembahasan dari berbagai aliran seperti positivisme, 1

imperialisme, utopianisme, dan lain-lain. Perkembangan itu melahirkan berbagai professor dan ahli dalam bidang orientalisme. Perkembangan itu juga menjadi tanda bahwa penyebarluasan pemikiran orientalisme atas negara-negara timur (orient). Perkembangan itu bermula dari pertemuan negara-negara di barat dengan negara-negara di timur sebagaimana digambarkan melalui pernyataan di bawah ini (Said, 41): “For much of the nineteenth century, as Lord Salisbury put it in 1881, their common view of the Orient was intricately problematic: "When you have got a ... faithful ally who is bent on meddling in a country in which you are deeply interested —you have three courses open to you. You may renounce—or monopolize—or share. Renouncing would have been to place the French across our road to India. Monopolizing would have been very near the risk of war. So we resolved to share” .

Share dalam pernyataan di atas merupakan suatu usaha untuk menyebarluaskan pengetahuanpengetahuan yang berasal dari barat kepada negara-negara di timur. Pengetahuanpengetahuan itu berasal dari pengamatan-pengamatan dari para orientalisme. Pengetahuanpengetahuan itu kemudian menjadi dasar untuk menilai peradaban di timur. Dengan banyaknya pengetahuan yang diperoleh maka itu memastikan pihak mana yang menguasai dan pihak mana yang dikuasai. Penilaian itu berguna secara efisien dan efektif untuk menjalankan kontrol negara-negara barat terhadap negara-negara di timur (terutama negaranegara koloni). Kontrol itu merupakan suatu bagian dari rantai raksasa (monstrous chain) sebagaimana diperlihat oleh Rudyard Kipling (Said, 45): Mule, horse, elephant, or bullock, he obeys his driver, and the driver his sergeant, and the sergeant his lieutenant, and the lieu-tenant his captain, and the captain his major, and the major his colonel, and the colonel his brigadier commanding three regiments, and the brigadier his general, who obeys the Viceroy, who is the servant of the Empress

Rantai raksasa itu merupakan suatu dominasi dari negara-negara barat terhadap negaranegara di timur. Dominasi itu bahkan tampak dalam pemahaman orientalisme yang memperlihatkan kekuatan dari barat dari kelemahan dari timur (Said, 45). Tidak hanya itu, Said pun memperlihatkan permasalahan utama dari Orientalisme (Said, 46): Can one divide human reality, as indeed human reality seems to be genuinely divided, into clearly different cultures, histories, traditions, societies, even races, and survive the consequences humanly?

Bagi Said, pembedaan antara negara-negara di barat dan negara-negara di timur sangat jelas dalam orientalisme. Pembedaan itu pun nampak dalam penggunaan terminologi kita (us) dan mereka (mereka). Tentu pembedaan itu mempunyai konsekuensi lanjut yaitu pengambilan jarak antara satu dengan yang lain. Bahkan lebih jauh lagi pembedaan itu mempunyai dampak permusuhan dan kekerasan. Seperti pemaparan di atas, pembedaan itu pun nampak dalam ruang-ruang akademis melalui karya-karya kaum intelektual yang berupaya membangun jembatan antara negara-negara barat dan timur. Namun demikian, upaya untuk membangun jembatan itu merupakan upaya kaum intelektual barat untuk melihat dan memahami negara-negara di timur berdasarkan perspektif dan cara berpikir barat. Said memperlihatkan permasalahan itu pada beberapa karya tulis dan pemikiran-pemikiran (seperti Domestic Structure and Foreign Policy oleh Henry Kissinger, The Arab World oleh 2

Harold W. Glidden, Harmonious Working oleh Cromer, juga pemikiran Arthur James Balfour mengenai relasi Inggris dan Mesir). Said menyatakan bahwa kaum intelektual justru semakin menekankan pembedaan itu sebagai suatu hirarki yang menekankan superioritas dari barat dan inferioritas dari timur.

Geografi Imajinatif dan representasinya Said berupaya untuk melihat akar permasalahan dari pembedaan antara barat dan timur. Upaya itu nampak dalam pertanyaan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang mendasari kesamaan dari pernyataan-pernyataan kaum intelektual mengenai orientalisme. Bagi Said, permasalahan utama dari orientalisme adalah penentuan batas. Orientalisme memahami batas sebagai suatu syarat untuk menunjuk secara spesifik pada negara-negara di timur yang pada dasarnya adalah batas geografis. Said memaparkan bahwa penentuan akan batas merupakan suatu yang merupakan produk dari pikiran. Itu sejalan dengan pendapat Levi Strauss bahwa (Said, 53): that mind requires order, and order is achieved by discriminating and taking note of everything, placing everything of which the mind is aware in a secure, refindable place, therefore giving things some role to play in the economy of objects and identities that make up an environment.

Penentuan batas merupakan suatu cara berpikir yang menuntut adanya kontrol dan juga pemberian peran. Batas berarti bahwa segala sesuatu yang kita kenali berdasarkan pengetahuan, sesuatu yang kita kontrol, dan kita berikan peran. Itu merupakan dasar untuk menentukan wilayah dari kita (our land). Segala sesuatu yang berada di luar dari wilayah itu muncul sebagai suatu wilayah yang asing (unfamiliar space). Terkait dengan hal itu, Said juga memaparkan bahwa penentuan batas secara geografis (sebagaimana orientalisme memahami mengenai batas) bersifat arbitrer (Said, 54). "arbitrary" here because imaginative geography of the "our land—barbarian land" variety does not require that the barbarians acknowledge the distinction. It is enough for "us" to set up these boundaries in our own minds; "they" become "they" accordingly, and both their territory and their mentality are designated as different from "ours."

Fokus penentuan batas itu adalah kita sebagai penentu tanpa peduli apakah yang berada di luar batas-batas itu mengetahui atau tidak. Cukup bagi kita untuk membedakan untuk merancang batas itu dalam pikiran kita. Rancangan itu menentukan pembedaan (baik secara wilayah maupun mentalitas) antara kita dan mereka (they). Setelah penentuan batas, Said memaparkan bahwa pemahaman mengenai ruang mempunyai makna puitis. Berangkat dari pemikiran Gaston Bachelard bahwa ruang memperoleh suatu arti akan keamanan, keintiman, kerahasiaan, sesuatu yang nyata atau sesuatu imajinatif (Said, 54). Bagian-bagian dari suatu ruang tidak lebih penting daripada makna-makna puitis yang melekat pada ruang itu. Maknamakna puitis itu merujuk pada kualitas dengan nilai-nilai yang imajinatif. Said kemudian menyatakan bahwa kedua pemikiran di atas (penentuan batas dan makna puitis) merupakan dramatisasi jarak dan pembedaan dari apa yang jauh dan apa yang dekat (Said, 55). Itu nampak dalam bagaimana orientalisme melihat orien sebagai subjek dari orientalisme. 3

Said memaparkan lebih jauh mengenai bagaimana orientalisme melihat orien dari secara geografis. Berangkat dari pemahaman bahwa orien adalah suatu wilayah yang asing (unfamiliar space), bangsa barat melakukan berbagai ekspedisi untuk memperluas dan mempertajam pengetahuan mereka mengenai orien. Berbagai laporan-laporan dari ekspedisi dan penemuan-penemuan literatur dari orien membantu negara-negara di barat untuk mengklasifikasi bagian-bagian dari orien. Klasfisikasi itu nampak dalam Bibiliotheque Orientale oleh Barthelemy d’Herbelot’s. Said menjelaskan bahwa klasifikasi akan orien disusun berdasarkan penilaian-penilaian barat terhadap orien itu sendiri. Said memperlihatkan salah satu contoh yaitu gambaran Muhammad sebagaimana dipaparkan dalam Bibiliotheque Orientale (Said, 66): This is the famous imposter Mahomet, Author and Founder of a heresy, which has taken on the name of religion, which we call Mohammedan. See entry under Islam.

Melalui klasifikasi, Said memperlihatkan bahwa klasifikasi terhadap gambaran Muhammad merupakan pengaruh dari cara pandang barat terhadap realitas-realitas di timur. Said menjelaskan bahwa Muhammad dipandang sebagai seorang pemberontak (imposter) oleh dunia barat. Seorang pemberontak yang berupaya untuk menciptakan peradaban yang berbeda dari peradaban yang dipahami oleh barat. Tidak hanya itu, Said juga menjelaskan bahwa gambaran mengenai Muhammad juga mengalami degradasi dengan mengarahkan gambaran Muhammad ke dalam Islam. Gambaran mengenai Muhammad ini merupakan salah satu contoh dari berbagai klasifikasi dan kodifikasi akan orien. Orien teralienasi dalam jajaran alphabet yang dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan berdasarkan nilai-nilai ideologis barat. Said menjelaskan bahwa penilaian-penilaian itu membawa orientalisme kepada suatu sistem moral dan epistemologis yang keras (rigor). Said memperlihatkan tiga jalan yang memperkuat hal itu dalam cara pandang orientalisme yaitu jalan pada orien, jalan pada orientalis, dan jalan pada barat sebagai “konsumer” dari Orientalisme (Said, 67). Ketiga jalan ini saling berelasi satu dengan yang lain lalu membangun suatu cara pandang tertentu dalam Orientalisme. Jalan pada orien nampak sebagai sesuatu yang mengarah pada timur yang dikoreksi karena berada di luar batas dari masyarakat barat. Jalan pada orientalis adalah upaya orientalisasi terhadap orien sebagai wilayah dari orientalis, tetapi juga merupakan upaya untuk menguatkan pengetahuan pada pembaca dari dunia barat bahwa kodifikasi dan klasifikasi dari orien sebagai orien yang sebenarnya (Said, 67). Itu merupakan jalan ketiga. Melalui pemaparan itu, Said memperlihatkan bahwa orien nampak seolah-olah tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai yang ada pada orien merupakan representasi dari serangkaian penilaian-penilaian barat berdasarkan perjalanan historis juga cara berpikir barat terhadap orien.

Relevansi Orientalisme Berangkat dari pengalaman kehidupan sehari-hari, pemahaman orientalisme yang dikemukakan oleh Edward W. Said sesungguhnya dapat ditemukan dalam kehidupan sehari4

hari. Perkembangan teknologi dan industri memperlihatkan bagaimana kehidupan sehari-hari yang dijalani di Indonesia terarah kepada suatu pembangunan mode barat. Pembangunan mode barat itu ditandai dengan tolok ukur yang menjadi haluan dari arah pembangunan tersebut. Tolok ukur itu tentu adalah suatu negara moderen yang terdapat di belahan dunia yang dianggap sebagai dunia pertama. Padahal, tidaklah begitu jelas siapa yang menetapkan ukuran tersebut. Begitu juga dengan tidak begitu jelas apa ukuran dari suatu negara dapat dikategorikan sebagai dunia ketiga. Said memperlihatkan kepada kita bahwa upaya untuk memberikan suatu label kepada negara-negara orien merupakan suatu kontrol dari negara barat, terutama eropa. Permasalahan yang lebih konkret sesungguhnya tidak hanya berada pada tataran pembangunan atau pun soal penggunaan suatu terminologi. Tetapi, permasalahan yang lebih konkret juga dapat ditemukan melalui hal-hal yang nampak sehari-hari. Berangkat dari pengalaman empiris penulis sebagai seorang beragama Kristen Protestan, orientalisme nampak jelas dalam mode berpakaian. Dalam lingkungan gereja, mode berpakaian yang dianggap layak dan patut dikenakan adalah setelan jas dan celana bahan. Pemahaman ini penulis dapat dari suatu pengalaman ketika melakukan pelayanan rohani ke salah satu daerah di pedalaman Sulawesi. Penulis menemukan suatu fenomena di mana suatu keluarga mempersiapkan suatu pakaian khusus untuk pergi ke gereja yang diadakan setiap minggu. Kenyataan bahwa keluarga itu mengalami permasalahan ekonomi dalam kehidupan seharihari adalah sesuatu yang cukup memprihatinkan bagi penulis. keluarga itu menceritakan bahwa mereka tetap mengupayakan pakaian terbaik untuk pergi ke gereja. Pakain terbaik itu adalah setelan jas beserta celana bahan. Tentu, sebagian besar umat Kristen mungkin menganggap itu sebagai hal yang lumrah. Dengan suatu pengandaian bahwa saat beribadah (berhadapan dengan Tuhan), seseorang harus memberikan yang terbaik dari dirinya. Namun, penulis melihat dalam lingkup yang lebih luas daripada semata-mata suatu asumsi teologis. Mengapa harus setelan jas dan celana bahan? Mengapa tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan kebutuhan mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini memancing penulis untuk melihat kembali kembali apa yang menyebabkan terciptanya kondisi demikian. Kondisi yang menentukan seseorang layak atau tidak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sosial seperti ibadah? Apa yang memungkinkan kondisi-kondisi demikian tercipta? Juga apa yang membuat kondisi-kondisi demikian terus dipertahankan sehingga kemudian menjadi suatu ukuran? Penulis berupaya untuk melihat kasus ini dari sudut pandang orientalisme oleh Said. Tentu, setelan jas dan celana bahan itu bukan merupakan pakaian yang datang dari daerah pedalaman Sulawesi. Pakaian demikian merupakan pakaian yang umumnya dipakai oleh orang-orang eropa dalam menghadiri acara-acara resmi. Secara garis besar, agama Kristen masuk bersama dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang dari negeri barat (terutama eropa). Ekspedisi mereka mempunyai tujuan berbeda-beda, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa mereka tidak melihat daerah yang mereka jelajah mempunyai posisi yang setara dengan mereka. Para penjelajah itu membagikan berbagai pengetahuan-pengetahuan kepada para penduduk yang sudah lebih dahulu berada di daerah itu. Pengetahuanpengetahuan itu kemudian menjadi sesuatu yang tertanam. Seiring berjalannya waktu, 5

pengetahuan-pengetahuan itu bisa mengalami perubahan menjadi nilai-nilai tersendiri. Nilainilai yang pada akhirnya menjadi tolok ukur terhadap orang-orang yang berada di daerah tersebut. Ini merupakan ciri khas orientalisme sebagaimana dikemukakan oleh Said. Setelan jas dan celana bahan itu mungkin adalah soal yang sederhan, namun nilai yang menopang hal yang sederhana itulah justru yang menjadi persoalan. Tolok ukur yang dikenakan kepada satu orang bahkan lebih luas lagi kepada satu komunitas bisa jadi merupakan suatu tolok ukur yang datang dari luar komunitas itu sendiri. Mereka nampak seolah-olah tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan ukuran bagi diri mereka sendiri. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa orientalisme berujung pada kolonialisme dalam bentuk yang lebih halus. Penulis pun melihat bahwa melalui orientalisme masih tetap mempunyai relevansi dalam konteksi Indonesia. Sumber Said, Edward. 1997. Orientalism. London: Penguin.

6...


Similar Free PDFs